Petak penginapan dengan AC yang terus menyala masih terasa pengap. Gorden, seprei, selimut yang seluruhnya berwarna putih tidak lantas menjadikan kamar tempatnya merebah jadi terang. Bahkan cahaya yang menerobos dari jendela kaca tidak serta merta mampu membuatnya melihat dengan jelas. Isi kepalanya kacau sejak pertemuannya dengan Ana kemarin sore. Perempuan itu jauh-jauh datang menemuinya ke Sumba Timur untuk menjelaskan keadaan Saba yang sedang ditawan.
Lukas ingin bertahan di penginapan seperti petuah kakak perempuannya. Namun, hatinya semakin gelisah. Ana mengatakan bahwa kakaknya akan melakukan hal buruk pada Saba. Bagaimana bisa dirinya diam saja. Sayangnya, dengan kondisinya saat ini, Lukas tidak mungkin berkelahi dengan lelaki berparang. Kakak perempuannya bahkan memarahi Lukas karena hampir membahayakan nyawanya. Ia sangat beruntung karena tidak ditebas dengan parang.
Laki-laki kota itu menghubungi kenalannya dan memintanya mengirimkan mobil. Tidak lama kemudian mobil sampai. Lukas bergegas mengendarainya menuju Sumba Tengah. Cukup jauh untuk kondisinya yang tidak baik-baik saja, tetapi dari pada tidak melakukan apa-apa, itu akan menjadi hal yang lebih buruk dan menjadi penyesalan panjang untuknya. Apa pun yang terjadi, ia harus memastikan kondisi Saba.
Sepanjang perjalanan, hati Lukas semakin gelisah. Padang sabana yang tampak indah saat ia lalui bersama Saba, mendadak tampak sangat panjang dan melelahkan. Bahkan, jalanannya seakan terus tumbuh memanjang. Beberapa kali, Lukas hampir terperosok ke tepi karena pikirannya kacau dan konsentrasinya berantakan. “Tenanglah, Lukas! Atau kau akan terlambat!” Ia terus memarahi dirinya sendiri. Entah sudah berapa banyak kemarahan ia tujukan pada dirinya sendiri. Menyesali banyak hal karena kebodohannya.
⌂ Ѫ ⌂
Isi kepala Lukas kosong. Seharusnya, Saba sudah berada di tempat ini, jika saja rencana yang ia susun dengan Ana berjalan lancar. Sayangnya, sudah dua jam sejak waktu kesepakatan ditentukan, Saba tidak juga muncul. Apakah hal buruk benar-benar terjadi pada perempuan itu. Sementara Lukas tidak bisa terlalu dekat dengan kampung tempat tinggal Ana. Ana bilang, Redu sudah memerintahkan orang-orang suruhannya menangkap dan menghabisi Lukas jika berani mendekat.
“Kamu bodoh, Lukas!” makinya. Ia mengangkat lengannya ke kepala. Melupakan ngilu yang masih ditanggung sekujur tubuhnya akibat pukulan para lelaki berparang. Ia bahkan harus menyeret kakinya untuk berjalan. Ditatapnya sekali lagi ke arah jalan yang mungkin akan memunculkan Saba. Pandangannya nanar dan hanya kekosongan yang ia dapatkan. Sementara alunan musik terdengar semakin nyaring. Pertanda bahwa pesta masih berjalan.
Bunyi gong membuat wajah Lukas membeku. “Jika gong dipukul. Ritual adat sudah dimulai.” Ia teringat ucapan Ana. Tubuhnya lemas hingga ia bersimpuh di jalanan. Berakhir sudah. Rencananya bersama Ana tidak seperti perkiraan. Ia selalu gagal menyelamatkan Saba. Rencana-rencananya tidak pernah berguna.
Lukas mengenang sejenak kebersamaannya dengan Saba, sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dan masuk ke mobil. Tidak ada gunanya lagi bertahan di tempat ini. Semuanya sudah terlambat. Ia hanya harus pergi. Menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke Jakarta. Melupakan Sumba, melupakan Saba.