Kenyataannya, hal yang ia pikirkan memang tidak pernah terjadi. Saba melarikan diri sebelum Redu sempat melakukan apa pun. Itu artinya, Redu kehilangan Saba. Ia kecewa dan merasa dikhianati. Merasa martabat keluarganya dipermalukan. Pesta berakhir dan orang-orang mulai menggunjingkan pembatalan pestanya.
Laki-laki itu memilih mabuk-mabukan dan mencari perempuan penghibur. Tentu saja, ama-nya menentangnya. Namun, Redu justru semakin menggila. Ia membawa pulang perempuan dan menjadi pembicaraan warga hampir di penjuru kampung.
“Berhentilah bersikap rendahan begini, Umbu!” pinta inna-nya sambil menyeka air mata. Sementara Redu yang berada dalam kondisi setengah sadar hanya menertawakan pinta inna-nya.
“Bersikap rendahan?” Redu tersenyum putus asa. “Siapa yang bikin saya jadi begini?” tuduhnya balik. Air matanya menetes meskipun bibirnya tertawa sangat keras. Kemudian berjalan terhuyung menuju perempuan yang menunggunya di sudut ruangan.
Inna-nya muak melihat perempuan yang tampak tidak memiliki rasa canggung dan malu itu. Entah dari mana Redu membawanya. Sepertinya bukan perempuan dari kampungnya. Inna Redu mendekati perempuan itu dengan amarah. Sebelum Redu yang berjalan terhuyung sampai di tempat perempuan itu.
“Kau, Ana!” Inna Redu mengeluarkan berlembar uang dan menggenggamkannya di tangan perempuan itu. “Pergi sana cari laki-laki lain. Jangan coba dekati Umbu Redu lagi!”
Redu tersenyum sarkas melihat inna-nya. Lantas, perempuan yang dibawanya tampak senang mendapat uang dari Inna Redu tanpa melakukan apa pun. Maka, ia bergegas pergi. Redu tidak ingin mencegahnya, karena sejak semula dirinya memang tidak bermaksud melakukan apa pun dengan perempuan yang didapatkannya di tepi jalan itu. Ia hanya ingin menunjukkan pemberontakan pada keluarganya. Karena merekalah yang membuat Saba meninggalkan dirinya.
“Bukankah ini yang Inna mau. Hancurkan hidup saya?”
“Bukan begitu, Umbu!”
“Lantas apa? Inna buat saya kehilangan Rambu Saba sudah.” Redu berjalan gontai dan terpuruk menuju kamarnya. Inna-nya bermaksud mengejar, tetapi Redu terlebih dulu menutup pintu. Tubuhnya roboh di atas tempat tidur.
⌂ Ѫ ⌂
Sejak pertengkaran tengah malam kemarin, Redu mengurung diri di kamar. Tidak berselera untuk melakukan apa pun. Inna-nya berusaha mengetuk pintu kamar berulang kali, tetapi Redu tidak berminat menyahuti. Hatinya remuk. Membayangkan Saba melarikan diri dengan laki-laki lain. Terlebih saat ia datang ke rumah orang tua Saba, mereka dengan jelas mengatakan tidak menyukai cara Redu membawa anak perempuan mereka. Makin terluka harga diri laki-laki itu.
“Ama Redu, bagaimana ini?” Terdengar suara inna-nya bersedih saat berbicara dengan ama-nya. Redu mendengar pembicaraan keduanya. Hanya, tidak lagi berminat berbicara dengan mereka.
“Tenanglah, Inna Redu. Saya coba cari jalan keluar nanti,” hibur Ama Redu.
Redu terdiam. Menatap ke tempat ia mengikat Saba. Wajah pucat Saba, tubuh lemahnya, dan kemarahan perempuan itu, masih bisa Redu lukiskan dengan sangat gamblang di benaknya. Mengapa keluarganya tega merampas kebahagiaan Redu. Jika mereka tidak sepakat dengan rencananya, seharusnya mereka diam saja. Tidak usah ikut campur.
Perlahan, ia berdiri. Hari sudah siang. Ia harus pergi ke suatu tempat untuk mengusir sesaknya. Ke pohon Kosambi tempat ia biasa menikmati tidur siang. Ia rasa bukan ide bagus. Ia hanya akan teringat dengan Saba. Membuat keributan saja kah? Ide gila itu tiba-tiba membersit di pikirannya. Benar, ia harus menunjukkan kekecewaannya pada ama inna-nya.
⌂ Ѫ ⌂
“Mau ke mana, Redu?” Ama Redu mencekal lengan putranya yang hampir turun dari uma besar mereka.
“Apa peduli Ama, saya ingin ke mana? Ke neraka pun itu urusan saya.”