“Saya tidak bermaksud merendahkan harga diri kamu. Saya hanya ingin menyelamatkan kamu sementara dari orang-orang itu. Nanti, saya akan membawa kamu ke orang tua kamu dan meminta kamu baik-baik pada mereka.”
Saba terdiam memikirkan kalimat yang diucapkan Lukas. Ia bingung sendiri dengan hatinya. Bukankah ia ingin melarikan diri sejauh mungkin. Agar terlepas dari keinginan Redu. Akan tetapi, kini hatinya justru bimbang. Ajakan Lukas membuatnya goyah, ia ingin mengamini tawaran itu. Pergi ke Jakarta yang jauh. Sayangnya, ada hal lain yang membuatnya urung dan ragu. Bagaimana dengan ama inna-nya? Meninggalkan keduanya menghadapi masalah bukan keputusan yang bijak. Itu artinya, Saba melarikan diri dari masalah, ia kalah melawan ketidakadilan.
“Inna, Ama, maafkan Saba. Kalian pasti mengkhawatirkan Saba,” desah Saba sembari menatap purnama di atas pantai Mamboro.
Dari jendela penginapan, Saba bisa melihat laki-laki dari Jakarta itu berdiri sembari mendongak ke langit. Siluet garis wajahnya dalam temaram tergambar tegas dan indah. Sepasang mata hitamnya menatap purnama yang selalu berhasil merayu air laut pasang menyambut hadirnya. Lukas sedang memikirkan kembali yang terjadi padanya beberapa hari belakangan. Sejak perempuan pemberani bermata cokelat itu masuk ke dalam kehidupannya. Menyeretnya pada petualangan yang tidak pernah Lukas perkirakan.
Ia datang ke Sumba untuk bertamu. Mampir dan menikmati keelokan Sumba sebagai pelancong. Mungkin, kelak ia akan datang lagi. Ternyata Tuhan tetap sang pemilik kehidupan. Hati Lukas tertambat, pada sepasang mata cokelat berwajah manis. Siapa kira, jatuh cinta bisa semudah itu. Sejak disibukkan dengan urusan pembuatan film, Lukas lupa bahwa ia juga memiliki hati. Kelak, pada waktu dan seseorang yang tepat, ia pun akan tertambat.
"Rambu Saba, ikutlah saya ke Jakarta!"
Lukas kembali teringat ajakannya pada Saba. Perempuan itu belum memberikan jawaban. Keduanya bahkan belum berbicara lagi setelah perempuan itu mengatakan ingin istirahat. Lukas juga tidak berani mengungkit masalah itu kembali. Terlebih dengan semua yang baru saja menimpa Saba. Luka-luka yang ditanggung tubuh Saba membuat Lukas ikut merasakan nyeri yang sama.
Napasnya mendesah. Debur pantai memenuhi dadanya yang penuh dengan gemuruh. Meburakan ketenangan di dalamnya. Dersik angin laut mengisi ruang penuh gelisah dalam kepalanya. Membuatnya semakin sesak dan berdesakan. Lukas menoleh. Menatap jendela tempat kamar penginapan Saba. Sudah tertutup rapat. Perempuan itu butuh banyak istirahat. Mungkin juga ketenangan. Entah perlakuan macam apa yang diterimanya saat disekap laki-laki itu.
“Kenapa, Umbu? Umbu ingin bertanya apakah laki-laki itu sudah meniduri saya?” perkataan Saba kembali terngiang. Gelisah menguasai ruang-ruang di kepalanya. Saba benar-benar tidak memberinya jawaban. Bagaimana jika perempuan itu berubah pikiran. Bagaimana jika Saba memilih kembali dan menerima lamaran laki-laki itu.
Lukas mengesah. Memikirkan cara untuk menyelamatkan Saba. Tidak ada jalan lain yang ia temukan selain membawanya ke Jakarta yang jauh. Laki-laki itu tidak akan mengejarnya sampai sana, bukan?
⌂ Ѫ ⌂
Semalaman, Lukas tidak bisa tidur. Khawatir jika Saba menolaknya. Pagi sekali, sebelum matahari terbit, ia mengetuk pintu kamar penginapan Saba. Tidak ada jawaban, bahkan setelah diketuk berkali-kali. Ia risau dan berpikir, mungkin saja Saba pergi diam-diam dari penginapan. Sepasang matanya bertuju pada penjaga keamanan.
“Permisi, Bapa, lihat kawan saya yang tidur di kamar itu tidak?”
“Pemuda yang datang bersama kau kemarin sore? Yang terluka kakinya?”
Lukas mengangguk membenarkan.
“Dia jalan ke sana!” Lukas mengikuti arah telunjuk si penjaga keamanan. “Lihat matahari terbit mungkin,” lanjutnya.
Lukas membeku sesaat. Mendadak ia teringat pertanyaan lain yang tidak jadi ia tuntaskan pada Saba dan tidak mendapat jawaban pula. Apakah sesuatu yang buruk telah menimpanya? Apakah ia akan mengakhiri hidupnya di pagi buta?
“Kau kejar saja, Ana. Bapa rasa pemuda itu belum pergi jauh.” Saba masih dalam penyamaran. Semua orang mengira ia laki-laki.
Lukas kembali menatap si Bapa. “Terima kasih, Bapa!” Ia mempercepat langkahnya untuk segera menemukan Saba.
Pantai yang berjarak 1 kilo dari penginapan tampak sepi. Bentang pasir tampak putih meskipun remang masih menguasai pagi. Lukas sengaja memilih penginapan dekat pantai yang sepi ini. Mereka butuh tempat persembunyian yang aman. Penginapan mereka bahkan rumah penduduk yang sengaja disewakan.
“Rambu Saba!” Lukas berteriak. Kedua matanya menatap awas ke setiap penjuru. Tubuhnya berputar-putar sementara kakinya terus melangkah. “Rambu Saba!” Ia berteriak sekali lagi. Berlarian menjejaki pasir dengan kaki telanjang. Sepasang matanya menjelajah laut lapang. Dari ujung barat ke timur. Memeriksa dengan jeli. Khawatir kalau-kalau Rambu Saba bertindak nekat. Kakinya berhenti melangkah dan berjingkat saat sesuatu seperti menusuk. Rupanya sisa-sisa karang yang terdampar. Lukas mengabaikan luka dan darah yang merembas. Bayangan Saba membuatnya tidak peduli pada rasa perih di telapak kakinya.
Kembali berjalan tergesa-gesa, berputar-putar. “Ram—” Pandangan Lukas bertuju pada seorang perempuan yang mengenakan kemeja dengan ukuran kebesaran.
Lukas diam di tempatnya. Menormalkan alir napasnya yang terengah. Menatap perempuan berkulit sawo matang yang berdiri menyamping. Mengarah pada tempat matahari terbit. Wajah Lukas menunduk sejenak. Hatinya bergemuruh. Tiba-tiba saja, ia merasa sangat takut. Tidak ingin kehilangan perempuan itu.