Sejak meninggalkan penginapan Puru Kambera dan mobil melaju menyibak panorama padang sabana yang berpadu dengan laut biru menuju Waingapu, Saba jadi pendiam. Ia bahkan terus menatap keluar. Sesekali, Lukas menjeling ke arahnya. Ingin memulai percakapan, sayangnya tidak tahu dari mana. Khawatir mengganggu Saba. Mungkin ia sedang tidak ingin diganggu.
Mereka tidak langsung ke bandara. Lukas harus mengambil barang-barang yang masih ia tinggalkan di penginapan lamanya. Serta mengembalikan mobil pinjaman
"Tunggu di sini! Saya akan berkemas dengan cepat!" janjinya sebelum pergi ke kamar dan berpapasan dengan kakaknya yang bersiap keluar untuk memulai riset thesis-nya yang sudah lama tertunda karena kesibukannya.
"Lukas!"
"Mau keluar?"
"Iya. Mau ke Waikabubak." Kakak Lukas mengikat tali botsnya lebih kuat.
"Aku mau balik ke Jakarta."
"Ha? Serius? Syukur, deh! Orang rumah nanyain terus. Udah kelamaan kamu di Sumba."
"Baru berapa hari, Kak. Aku buru-buru. Ngejar jadwal terbang. Hati-hati berangkatnya!"
"Eh, luka kam—" ucapan kakaknya menggantung karena Lukas keburu masuk ke kamar dan menutupnya.
Seperti janjinya pada Saba, ia berkemas secepat mungkin. Tidak lupa menulis surat pada kakak perempuannya bahwa ia tidak pergi sendiri. Ada seorang perempuan bersamanya. Perempuan yang telah memberikan petualangan menyenangkan selama ia tinggal di Sumba.
Lukas sengaja tidak menceritakan langsung pada kakaknya saat bertemu tadi karena khawatir urusannya semakin panjang. Laki-laki Jakarta itu tahu betul bagaimana kakaknya sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Ia akan jadi orang pertama yang berdiri di barisan paling depan jika ada seorang perempuan yang direndahkan di depan matanya.
Lukas sadar, membawa Saba pergi ke Jakarta tanpa seizin keluarga bukanlah keputusan bijak. Hal yang pasti akan ditentang kakaknya. Namun, membiarkan perempuan itu dipaksa menikahi laki-laki yang memaksanya adalah hal yang lebih buruk lagi.
Kertas berisi tulisan tangannya, ia selipkan di tumpukan buku kakaknya yang gila membaca. Hampir semua bukunya tentang hak dan martabat perempuan. Katanya, ia sedang menyiapkan thesis yang mengulas tentang feminisme perempuan Sumba. Setelah urusan suratnya selesai, Lukas kembali menemui Saba. Sebelum menuju Bandara Umbu Mehang Kunda, ia mengajak Saba mampir menemui seorang temannya yang meminjamkan mobil padanya.
Temannya tersenyum saat melihat pandangan Lukas sulit lepas dari paras Saba. "Bertahun-tahun kenal kau, baru sekali ini aku lihat tatapan kau begitu dalam pada perempuan," selorohnya saat ia dan Lukas menatap Saba yang sedang menunggu di kejauhan.
"Dia luar biasa!" puji Lukas membuat temannya tergelak.
"Hei, Lukas, ini sungguh kau? Lukas yang biasa bikin perempuan takluk malah dibikin takluk sama perempuan Sumba."
Lukas mengangguk. Hatinya memang telah tertambat pada Saba, untuk apa dirahasiakan. Lagi pula, apa yang salah jika jatuh cinta. Itu manusiawi, bukan tindak kejahatan, bukan tindak kriminal. Lukas mengawasi Saba dari kejauhan dengan senyum berseri.
⌂ Ѫ ⌂
"Semoga Umbu Lukas masih di sini!" doa Ana setelah turun dari motor yang dikendarai Ladu. Keduanya jauh-jauh menyusul ke Waingapu karena ada urusan mendesak mengenai keluarga Ana dan Saba.
Ana bergegas menuju meja resepsionis dan menanyakan keberadaan tamu atas nama Lukas. Sementara Ladu bertugas menunggu di halaman penginapan dan mengawasi sekitar. Siapa tahu melihat Saba.
"Umbu Lukas sudah chek out?" Saba mengulang apa yang didengarnya.
"Sudah, Rambu."
"Bagaimana ini?" Ana mulai gelisah sendiri. Bagaimana pun, ia harus bertemu Saba dan menjelaskan apa yang terjadi. "Kira-kira, apa Umbu tahu ke mana Umbu Lukas pergi?" tanyanya pada Resepsionis. Meskipun ia tidak yakin. Resepsionis biasanya tidak tahu banyak tentang urusan tamunya. Ladu juga bekerja di penginapan dan sering menceritakan padanya tentang hal itu.
"Kamu mencari Lukas?" tanya seorang perempuan yang rupanya kakak Lukas. Perempuan itu harus mengambil kamera yang ketinggalan di kamar.
"Benar, Rambu. Apa Rambu kenal Umbu Lukas?" tanya Ana berbinar.
Kakak Lukas melihat Ana dengan teliti. Memeriksa apakah ia perempuan yang berniat baik atau jahat.
"Ada urusan apa kamu mencari Lukas?"
Ana tampak gelisah dan ragu menjelaskan. Membuat kakak Lukas memicingkan matanya.
"Se-sebenarnya, saya mencari teman saya yang pergi bersama Umbu Lukas." Ana menjawab dengan jujur.
"Teman?" dahi perempuan dengan rambut panjang dicepol itu berkerut. "Lukas datang sendiri."