Padang Sabana tiba-tiba bermakna lain bagi Saba. Di atas bak mobil terbuka yang membawa dirinya, Ana, dan beberapa penumpang lain, pikiran Saba terbagi antara Lukas dan keluarganya. Ladang emas Sumba mengingatkan Saba pada Lukas dan kebersamaan singkat keduanya. Ia harus melepaskan mimpinya untuk hidup bersama laki-laki yang sudah ia kecewakan.
Sesuatu seperti sedang membura di hatinya. Menjadi potongan berserakan dan membuatnya nyeri setiap kali wajah kecewa Lukas kembali menyembul dalam ingatan. Saba tidak tahu, bahwa sakitnya akan sedalam ini. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan perasaannya pada Lukas, sampai perpisahan ini membuatnya tersadar, bahwa dirinya benar-benar mencintai Lukas.
Jadi, begini rasanya jatuh cinta, batin Saba sembari membuang jauh pandangannya pada perbukitan yang menawarkan kemolekan yang tidak lagi terasa utuh. Sebagian hati Saba sedang dibawa pergi. Ke kota jauh bernama Jakarta. Bisakah Saba menemukan kembali hatinya.
"Pikirkan Ama dan Inna kau, Saba!" lirih Saba pada dirinya sendiri. Dengan menghela napas dan mengembuskannya perlahan hingga berkali-kali, Saba memantapkan hatinya untuk melupakan Lukas. Mungkin, laki-laki itu memang ditakdirkan hanya sebagai tamu yang singgah sejenak di hidupnya. Hanya tamu, seperti saat Lukas datang ke Sumba. Sebagai pelancong, bukan untuk menetap.
Perjalanan tiga jam lebih itu akhirnya berakhir. Saba dan Ana bergegas turun dan berjalan menuju rumah Saba. Perempuan itu merasa heran saat melihat keramaian. Ia mempercepat langkah kakinya agar segera sampai. Tubuhnya menyibak kerumunan tetangga yang sedang menonton. Seakan ada pertunjukan di rumahnya.
Benar saja, Redu datang menyulut kekacauan. Membuat Ana merasa tidak enak pada Saba dan keluarganya. "Jika kalian tidak segera kembalikan hutang, bawa Rambu Saba segera pada saya! Atau kalau tidak, saya akan ambil alih semua harta kalian!"
Hati Saba meradang melihat Redu bersikap tidak sopan pada orang tuanya. "Berhenti mengancam ama-inna saya, Umbu!" hardiknya membuat Redu dan tatapan orang-orang bertuju padanya. Saba berjalan dengan berani ke hadapan Redu. "Saya tidak suka tabiat buruk kau ini. Beraninya omong begitu pada ama-inna saya."
"Lantas apa? Kau akan menikah dengan saya?"
"Tidak akan pernah!" tegas Saba. "Saya tidak sudi punya suami macam kau. Kasar dan tidak hormat pada yang lebih tua."
"Tidakkah omong kau terlalu kasar, Rambu?"
"Buat apa omong baik-baik pada laki-laki yang tidak menghargai perempuan."
"Beraninya jelata macam kau bicara begitu pada klan Maramba seperti saya!"
"Memang kenapa? Saya tidak boleh lawan kau?"
Redu menggeratkan giginya. "Kau tidak akan menikah dengan selain saya. Ama-inna kau punya hutang besar pada keluarga kami."
"Saya akan bayar hutang itu!"
Redu menyeringai. "Bayar hutang? Kau punya uang? Lihat diri kau dan orang tua kau. Kalau omong jangan asal omong. Kalian terlalu miskin buat bayar hutang."
"Beri saya waktu tiga bulan. Akan saya kembalikan semua hutang ama-inna saya."
Tawa Redu menggelegar. Tawa yang bernada ejekan. "Tiga bulan? Kau mau bodohi saya?"
"Jika dalam waktu tiga bulan saya tidak bisa kembalikan hutang, saya akan serahkan diri saya secara suka rela pada kau," janji tegas Saba membuat Redu berhenti tertawa dan melihat Saba dengan serius.
Datang sendiri padanya? Bisakah Saba benar-benar melakukan itu. Redu terpengaruh, tetapi ia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis pintar yang ia cintai itu.
"Apa jaminannya kalau kau akan penuhi janji kau itu?" tawar Redu. Laki-laki itu tidak ingin kehilangan kesempatan yang kedua kalinya untuk mendapatkan Saba.
"Tunggu sebentar!" Saba menaiki rumah panggungnya. Diambilnya kertas, pulpen, dan materai yang terbawa di tasnya saat pulang ke Sumba. Di atas kertas itu, Saba menuliskan sebuah pernyataan bahwa, jika ia tidak bisa mengembalikan hutang dalam waktu tiga bulan, ia akan menikah dengan Redu.
"Apa ini?" tanya Redu saat Saba menyodorkan surat perjanjian padanya.
Jemari Saba menunjuk pada materai. "Benda ini kedudukannya kuat di mata hukum. Jika saya melanggar isi perjanjian, kau bisa tuntut dan bui saya."
Redu kembali tersenyum sarkas. "Kau serius?" Ia khawatir dikelabuhi.
"Tanda tanganlah di situ!" sergah Saba.
Redu membaca pernyataan dalam surat itu krmbali. "Tiga bulan terlalu lama. Saya kasih kau waktu satu bulan."
"Kau gila!" sengit Saba.
"Kenapa? Kau takut tidak bisa membayar?" Redu terbahak mengejek. "Ayolah, Rambu Saba! Di mana percaya diri kau tadi?"
Saba kembali meradang. Ditatapnya ama inna-nya yang menatap khawatir padanya. "Baik! Satu bulan!" tegasnya.
Meski ragu, Redu akhirnya membubuhkan nama di atas kertas berisi perjanjian itu.