YAPPA MARADDA

Sika Indry
Chapter #16

Bab 15 - Juang

"Hai, perempuan muda! Ingin diculik juga kau?" ancam seorang Tukang Yappa.

Bukannya takut, Saba malah tersenyum mengejek. Tatapannya bahkan mengarah tepat pada sepasang manik mata si tukang yappa. Tidak tebersit keraguan sedikit pun. Pandangannya lugas penuh amarah.

"Lepaskan perempuan itu!" hardik Saba membuat laki-laki itu terkejut sesaat, kemudian tertawa keras dengan nada dibuat-buat.

"Lepaskan? Siapa kau berani perintah kami?"

"Hei, Dunggo! Abaikan saja dia. Kita bawa ini perempuan ke rumah Maramba. Atau kalau dia melawan, angkut saja ke belakang!" seru si Sopir yang tampak terburu. Sementara di sisi pintu mobil lain, seorang Mama meronta meminta anaknya diturunkan.

"Kau dengar itu? Kami sedang terburu. Kalau kau tidak menyingkir akan kami ...,"

"Bapa-bapa sebentar!" Ladu dan Ana datang setelah mengumpulkan keberanian.

"Maafkan teman kami, Bapa!" sambung Ladu dengan wajah gelisah.

"Hei, Umbu, kenapa kau mint—bbb." Ana segera membungkam mulut Saba sambil tersenyum takut ke arah tukang yappa.

"Sebenarnya, dia agak tidak waras karena trauma pernah di-yappa, Bapa."

Dikatakan tidak waras oleh Ladu membuat Saba melotot dan berusaha melepaskan diri dari Ana yang memeganginya kuat-kuat. Tiba-tiba saja perempuan yang setahun lebih muda darinya itu menjadi sangat kuat, demi menyelamatkan Saba dari kemungkinan buruk, karena sikap gegabahnya.

"Jadi, Bapa, dari pada rumit berurusan dengan dia dan nanti malah kacaukan pekerjaan Bapa, kalian pergi saja sudah. Dia biar kami yang urus."

Si Bapa memperhatikan Saba baik-baik. Perempuan itu terus meronta dan berteriak dalam bungkaman Ana, dibarengi mata melotot yang membuat si Bapa bergidik ngeri.

"Ya sudah, kauurus teman kau." Si Bapa kembali ke mobil, sementara Ana dan Ladu berusaha keras menarik Saba menepi, agar mobil tukang Yappa bisa lewat.

"Rambu Ana! Umbu ladu! Kalian ini ...," Saba berteriak sangat marah setelah dilepaskan dan mobil menjauh. "Kenapa halangi saya?"

"Itu berbahaya, Rambu!" jawab Ladu.

"Rambu Saba mau orang-orang itu angkut Rambu?" tambah Ana masih dengan napas naik turun setelah menahan tubuh Saba yang penuh tenaga.

"Meskipun begitu apa kita akan diam saja melihat ketidakadilan. Bukankah kau juga pernah bilang ingin perjuangkan keadilan," bantah Saba kesal.

"Kau benar, Rambu Saba. Saya pun tidak suka melihat perempuan diperlakukan tidak adil seperti tadi. Tapi perjuangan dan kegilaan itu berbeda. Perjuangan ada caranya dan butuh pemikiran, sementara kegilaan hanya butuh kecerobohan dan emosi sesaat."

"Tapi bagaimana nasib perempuan tadi. Kalian tidak lihat dia menangis? Dan juga ...," Saba terdiam dengan pandangan kosong. Ia membalik badannya, teringat pada seorang Mama yang sedang menangis. Bahkan masih menangis sampai sekarang.

"Malang nasib leiro[1]-ku. Tak punya ama-inna, sekarang di-yappa laki-laki tukang kawin dan suka main pukul itu," tangis seorang Mama yang sedang ditenangkan oleh beberapa Mama di pasar.

Ana melangkah maju hingga sejajar dengan Saba. Menatap duka seorang Mama yang ternyata bibi dari si perempuan yang diculik. Keduanya terdiam. Dada keduanya bergemuruh marah, tetapi menyikapinya dengan berbeda.

"Rambu masih ingin membantunya?" tanya Ladu membuat Ana dan Saba menoleh kompak. "Kita cari aktivis itu. Resort-nya tidak jauh lagi, sekitar tiga puluh menit. Siapa tahu dia bisa kasih kita jalan keluar yang baik."

Saba dan Ana saling melihat, lalu mengangguk. Ketiganya berangkat melanjutkan perjalanan.

⌂ Ѫ ⌂

Resort mewah tak jauh dari pantai Nihiwatu itu biasanya didatangi oleh para turis atau klan bangsawan. Hanya orang-orang berduit yang mampu menginap di sana. Kedatangan Ladu disambut oleh seorang temannya yang berseragam rapi. Dengan ciri khas kapouta dan kalabo.

"Hai, Umbu Ladu! Lama kau tak kemari. Sudah betah kau di tempat kerja baru?" sapa seorang laki-laki dengan pin nama bertulis manajer di dada kiri. Kata Ladu usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Ia datang dari Jawa. Orangnya ramah dan murah senyum. Saat pertama datang ke Sumba, tuturnya halus. Sekarang logatnya sudah terbawa orang Sumba.

"Ya, begitulah, Umbu Hamid. Namanya kerja kalau dibawa suka ya, suka, dibawa susah ya, susah. Tinggal kita saja bagaimana."

"Bijak kali kau!" pujinya denga senyum lebar. Pandangan Hamid beralih pada Saba dan Ana. "Ini, kawan kau?" tanya laki-laki itu pula.

"Kenalkan, Umbu Hamid. Ini Rambu Saba dan Rambu Ana, kawanku," ucap Ladu segera.

"Rambu Ana ini kekasih kau, bukan? Yang dulu kau minta ajari bikin puisi untuknya?"

Ladu tersenyum sipu. Sementara Ana cukup terkejut mendengar penuturan itu. "Jangan ungkit itu, Umbu! Kau bikin saya malu saja."

"Tidak apa-apa, namanya perjuangan. Tapi, cantik kekasih kau ini."

Ana tersenyum senang mendapat pujian itu.

"Rambu Ana, Rambu Saba, ini Umbu Hamid, teman yang saya ceritakan pada kalian," cerita Ladu mengawali, kemudian beralih pada Hamid. "Jadi, begini, Umbu. Kawan saya ini ingin bertemu aktivis yang katanya menginap di sini."

"Oh, Rambu Stefani?" tebak Hamid seketika. "Kalian ada masalah soal perempuan tertindas?"

Lihat selengkapnya