Malam sangat larut, sudah menuju dini hari. Mobil yang dikemudikan Hamid memasuki jalan kecil menuju Waikabubak. Setelah bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan daerah asal gadis korban yappa. Masyarakat sekitar rupanya masih menggunakan bahasa lokal Sumba. Sesekali Stefani yang kebingungan minta diterjemahkan.
"Kau ini sudah bolak-balik Sumba-Jakarta, tetap tidak bisa bicara bahasa Sumba. Belajarlah sedikit-sedikit, Rambu."
Stefani hanya mengerling cuek. Laki-laki itu suka sekali memintanya belajar bahasa Sumba.
Setelah bertanya-tanya, mereka menemukan rumah korban yappa dengan mudah. Kedatangan Saba, Stefani, dan Hamid disambut baik oleh keluarga gadis bernama Hebi yang menjadi korban yappa. Seperti biasa, untuk pertama kali, mereka disuguhi sirih pinang. Setelahnya berlanjut pada obrolan tentang yappa dan latar belakang masalahnya.
Pukul tiga pagi, disusunlah rencana. Stefani membagi mereka dalam dua tim. Stefani, Saba, dan keluarga Hebi akan pergi ke rumah lelaki yang menculik Hebi. Sementara Hamid mendapat tugas menghubungi orang-orang yang bertugas dalam perlindungan hak asasi manusia maupun hak asasi perempuan, juga pemerintahan setempat untuk meminta bantuan.
"Jadi, kemarin wunang sudah datang ke rumah?" tanya Saba memastikan.
"Sudah. Kami tolak sudah. Tapi mereka malah ancam kami."
"Kalian bicara apa?" tanya Stefani pelan. Ia tidak bisa memahami bahasa mereka. Maka, Saba menjelaskan tentang salah satu proses praktik yappa. Ketika perempuan diculik, pihak laki-laki yang menculik akan mengirim wunang. Biasanya membawa serta seekor kuda sebagai tanda. Penjelasan Saba membuat Stefani mengangguk.
Forum yang beranggotakan Stefani dan teman-temannya memang pernah membahas soal praktik yappa yang dinilai merugikan perempuan. Namun, Stefani belum paham benar bagaimana praktiknya. Untuk itulah, thesis-nya sengaja mengambil tema tentang feminisme perempuan Sumba, di dalamnya sedikit terselip pembahasan mengenai praktik yappa.
Bunyi gong, tambur, dunga yang berpadu dengan alat musik lainnya terdengar ketika rombongan Stefani dan keluarga Hebi memasuki kampung si lelaki yang menculik Hebi. Acara potong-potong babi masih dilaksanakan. Riuh sekali. Sebuah pesta besar-besaran. Sepertinya yang menculik Hebi benar-benar keluarga kaya dari klan Maramba.
"Apa mereka sedang berpesta?" tanya Stefani.
Saba mengangguk. Suasana ini membuatnya sedikit ngeri. Teringat pada sebuah ruangan yang terasa begitu pengap baginya. Tempat ia disekap sebelum berhasil meloloskan diri. Saba tidak ingin Hebi bernasib buruk. Terlebih, menurut cerita keluarga, si lelaki yang menculiknya sudah berusia lima puluh lima tahun dengan tujuh istri. Hebi akan dijadikan sebagai istri ke delapan. Mendengarnya saja membuat Saba ngeri. Bagaimana perasaan Hebi yang menghadapi masalah ini. Ia pasti sangat ketakutan.
⌂ Ѫ ⌂
Mobil sewaan berhenti tidak jauh dari rumah besar yang sangat ramai. Orang-orang tertawa-tawa, bersuka cita, bermain musik, menari-nari, memotong banyak babi, benar-benar sebuah pesta besar. Tanpa peduli ada seorang perempuan yang sedang direndahkan martabatnya di dalam rumah itu. Barangkali, karena menganggapnya sebagai bagian tradisi, maka hal itu dianggap sesuatu yang wajar.