Menjelang gelap, sepulang bekerja, Ladu menghampiri Saba di resort daerah Nihiwatu. Mengatakan bahwa Ana tidak diizinkan keluar rumah oleh keluarganya.
"Apa Rambu Ana diperlakukan dengan baik?"
Ladu mengangguk. "Tentu saja, Rambu. Dia hanya tidak boleh keluar supaya tidak membantu Rambu."
"Bagaimana dengan Ama dan Inna?"
"Mereka datang ke rumah, tanya-tanya soal Rambu. Tapi, saya katakan seperti pesan Rambu. Agar mereka tidak khawatir karena Rambu bersama orang-orang baik untuk mencari jalan keluar."
Stefani turun dari penginapan sambil mengenakan jaket besar. Di sampingnya, Hamid tampak mengiringi sambil membawa kunci motor. Keberadaan Ladu entah mengapa membuat wajah Hamid berbinar.
"Umbu Ladu, kau di sini?"
Ladu mengangguk sambil tersenyum. Melihat seragam yang masih dikenakan Ladu membuat Hamid urung mengutarakan niatnya.
"Ada apa, Umbu Hamid? Sepertinya Umbu ingin katakan sesuatu?"
"Tidak. Tidak jadi."
"Katakan saja, Umbu. Ada sesuatu yang harus saya bantu? Kelihatannya kalian ada keperluan penting?" Ladu mengawasi wajah orang-orang di hadapannya.
"Sebenarnya, kami harus pergi ke keluarga perempuan yang di-yappa kemarin," aku Hamid. "Tapi, resort akan kedatangan tamu dari kota."
Ladu tampak agak terkejut dan melihat pada Saba. "Kalian jadi tolong perempuan yang di-yappa?" Ia memastikan sekali lagi.
Saba mengangguk yakin. "Kau tahu, Umbu, rupanya yang akan menikahinya laki-laki usia lima puluh lima tahun dan sudah beristri tujuh," adunya kesal setiap kali teringat wajah kakek itu.
"Benarkah? Rakus benar itu Kaweda?" geram Ladu. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Kau tidak lelah baru pulang kerja, Umbu Ladu? Kau bahkan belum ganti seragam." Hamid menunjuk seragam yang masih melekat di badan Ladu.
"Umbu Hamid ini seperti tidak pernah kenal saya. Umbu tahu betapa kuat tenaga saya."
Hamid tersenyum sambil mengangguk. Ia menoleh pada Stefani dan mendapat anggukan. "Kalau begitu, bisa kau bantu kami?"
"Untuk kebaikan, saya bantu dengan senang hati. Apa harus saya lakukan?"
Hamid membawa Ladu menjauh sejenak. Ia menceritakan tentang rencana Stefani secara garis besarnya. Intinya, resort akan kedatangan tamu dari kota. Hamid minta Ladu menjemput ke Bandara Tambaloka dan menjamunya di resort.
"Kita akan pergi ke mana, Umbu?" tanya Saba saat Stefani mengawasi Ladu dan Hamid dari kejauhan.
"Kita akan ke rumah Rambu Hebi. Minta persetujuan keluarganya agar memberikan izin pada kita untuk memperjuangkan Rambu Hebi."
Saba mendadak murung. "Bagaimana kalau mereka tidak kasih izin?"
"Maksud kau?" Alis Stefani terangkat. "Bukannya mereka ingin membawa pulang Rambu Hebi?"
Saba diam sejenak. "Rambu mungkin tidak paham soal yappa. Biasanya, pada hari ketiga, telah dilakukan purung tana untuk menjadikan gadis yang diculik menjadi bagian keluarga sah pihak laki-laki yang me-yappa. Sementara setelah berada di rumah lelaki, keluarga tidak tahu apa yang sudah dilakukan pada anak perempuan mereka. Biasanya, keluarga tidak akan memaksanya pulang karena menganggap sebagai aib."
"Benarkah begitu?" Stefani kembali berpikir serius. Jari telunjuknya kembali di gigit. "Kita coba saja dulu. Nanti, kalau mereka berpikiran seperti itu, saya akan coba bujuk. Kau bisa bantu saya?"
Saba mengangguk yakin. "Saya akan berusaha semampu saya."
Hamid kembali. Ketiganya berangkat ke Waikabubak, sementara Ladu bergegas bersiap untuk melaksanakan tugas dari Hamid. "Semoga berhasil!" doanya tulus saat mobil ketiganya meninggalkan halaman resort.
⌂ Ѫ ⌂
Persis seperti yang dikhawatirkan Saba. Keluarga besar Hebi telah berkumpul di uma besar keluarganya. Membicarakan tentang rencana belis yang akan mereka minta. Kedatangan stefani, Saba, dan Hamid membuat pembicaraan keluarga besar mereka terhenti.
Tanpa berlama-lama, Stefani langsung mengungkapkan maksud kedatangan ketiganya. Stefani ingin meminta persetujuan orang tua Hebi agar memberikan izin pada Stefani dan teman-temannya memperjuangkan Hebi dan membawanya pulang.
"Bukannya kami tidak ingin leiro kami pulang, Rambu. Masalahnya, besok hari ketiga. Mereka pasti sudah laksanakan purung tana," ungkap Inaangua[1] Hebi.