Anak perempuan mereka akhirnya pulang ke rumah. Ia tidak datang sendiri. Ada seorang perempuan dengan penampilan 'berbeda' turun dari mobil sama yang ditumpangi Saba. Inna Saba menyambutnya segera.
"Inna," Saba menghambur ke tempat inna-nya dan menempelkan hidung keduanya.
"Kau sehat-sehat saja?" tanya Inna Saba dengan wajah lega. Disambut anggukan oleh Saba. "Semuanya lancar?"
Saba mengangguk. "Kami berhasil selamatkan perempuan itu."
Inna Saba tersenyum. Wajah anak perempuannya begitu berseri. Sepertinya, ia mulai menegaskan mimpinya. Tidak sekadar omong, Saba mewujudkannya dengan langkah nyata.
Stefani tersenyum melihat kehangatan ibu dan anak itu. Membuatnya merindukan orang tuanya di kota. Sampai akhirnya, Saba menoleh dan memanggilnya, "Rambu Stefani, kemarilah!"
Stefani melangkah ke tempat Saba dan inna-nya. Memangkas jarak agar lebih pendek.
"Ini Rambu Stefani, Inna. Perempuan hebat yang bantu kami."
Inna Saba mendekati Stefani dan menempelkan hidung keduanya sebagai sapaan keakraban. "Masuklah, ana. Kau jadi anggota keluarga kami, ya?" sambut Inna Saba ramah.
Stefani berbinar mendengar perkataan itu. "Benarkah. Saya jadi kaka kamu berarti," girangnya pada Saba. Membuat Saba dan inna-nya tergelak kecil.
"Mari masuk! Inna masak rumpu rampe [1]dan nasi jagung tadi."
"Saya akan dapat makan?" seru Stefani saat ketiganya menaiki uma panggung itu.
"Rambu akan dapat banyak nanti," sahut Saba membuat Stefani mengatakan gurauan-gurauan kecil lain. Sementara Inna Saba sudah mengambil wadah sirih pinang.
"Tapi kau harus cicipi ini dulu!"
Stefani meringis. Tatapannya sedih mengarah pada batang buah sirih dan biji pinang. Ia tidak suka keduanya, tapi harus ia kunyah juga. Resiko kalau bertamu ke Sumba.
Saba tersenyum melihat ekspresi ragu Stefani. "Tahu cara makan yang benar tidak, Rambu?" tanyanya.
Stefani menggeleng. Biasanya ia hanya menggigit sedikit dan sudah.
Saba mengajarinya. “Kunyah pinangnya biar dapat cairan merah. Lalu, kalau merasa kesat, makan sirihnya.” Perempuan itu mempraktikkannya langsung. “Kalau sudah, cairan merahnya diludahkan.”
“Kau suka memakannya?” tanya Stefani penasaran.
Saba tersenyum sambil menggeleng.
"Kau tidak suka sirih pinang?" tanya Inna Saba pada Stefani sambil menyiapkan makanan.
"Aneh rasanya, Painna. Pahit, kesat," jawab Stefani sambil melepas tasnya dan duduk dengan santai.
"Wah, susah jadi orang Sumba kau nanti."
Stefani tersenyum lebar. "Saya jadi pelancong saja kalau begitu."
Saba datang membantu inna-nya menyiapkan makanan. "Ama gembalakan kuda?" tanyanya setelah semua masakan siap.
"Iya. Seperti biasa."
"Kalian punya kuda, Rambu Saba?"
"Ada. Rambu mau naik kuda?" tawar Saba sambil mengambilkan makanan untuk Stefani.
"Saya tidak mahir. Kalau jatuh bagaimana?" Stefani menerima makanannya. "Kamu bisa naik kuda? Katanya perempuan tidak boleh naik kuda, ya?"
"Bukan Rambu Saba namanya kalau tidak keras kepala. Entah sudah berapa banyak dan berapa jauh tempat ia kunjungi sudah dengan njara putihnya," sahut Inna Saba membuat Saba tersenyum lebar.
Mata bulat Stefani seketika berbinar. "Hebat sekali! Kamu suka berkuda? Kalau begitu nanti ajari saya naik kuda."
"Kalau mau berkuda, jangan banyak bicara dan habiskan dulu makanan kalian segera," tutur Inna Saba tersenyum ramah.
"Laksanakan, Inna!" seru Stefani bersemangat.
Tiga perempuan itu tampak akrab meski belum lama saling kenal. Tiga perempuan tangguh yang menyimpan kharisma dirinya masing-masing. Begitulah perempuan, saat diselami isi hatinya, mereka miliki keistimewaan yang tidak disangka-sangka.
Inna Saba menatap putrinya yang menyantap makanan dengan lahap. Ada satu rahasia yang tidak akan pernah mereka ceritakan pada Saba. Tentang bagaimana ama dan inna-nya menikah dulu. Ialah yappa maradda. Tradisi yang saat ini ditentang putri tunggal mereka. Namun, Inna Saba ingat betul. Yappa yang ia jalani dulu tidak seperti sekarang. Meskipun namanya yappa maradda, tetap saja ada omong dan persiapan saat menjalankannya dulu. Ama Saba waktu itu datang dengan rombongan kudanya. Memakai baju adat Sumba lengkap. Sementara Inna Saba pun demikian, sudah dipersiapkan dengan baju adat Sumba. Saat itulah, Inna Saba baru jatuh hati pada ama Saba. Laki-laki itu tampak gagah dan menawan di atas kuda. Padahal, sebelumnya ia menolak mati-matian saat ama inna-nya berniat menjodohkannya. Yappa Maradda tidak lagi terjadi karena paksaan. Namun, dengan rasa suka di hati perempuan itu.
⌂ Ѫ ⌂
Sabana Mamboro menjadi petualangan berkuda pertama bagi Stefani. Meskipun ia tidak menunggang sendiri. Melainkan bersama Saba di atas kuda yang sama. Perbukitan, hijau lapang, langit biru gradasi, awan-awan yang berarak seperti pintalan kapas para Mama, kuda-kuda berkeliaran, sungguh kesatuan yang menawan dan membuat hati Stefani tertambat.
Saba melompat turun dan Stefani berteriak ketakutan saat kuda bergerak menjaga keseimbangan. Tangan Saba sigap menahan tali kekang dan membuat kuda berdiri dengan tenang. Stefani tergelak, menertawakan ketakutannya sendiri.
"Turunlah, Rambu!" Saba mengulurkan tangannya.
"Kudanya tidak akan lari tiba-tiba, 'kan?" tanya Stefani sambil berpegang pada tali dengan punggung agak membungkuk. Takut terjatuh.
Saba tersenyum lebar. Manis sekali. "Tidak apa, Rambu. Kalau njara lari nanti saya kejar."
"Saya yang dibawa lari dong!" protes Stefani sambil tersenyum sekaligus takut.
"Tenang saja, Rambu. Njara saya tidak pernah usil begitu. Kemarikan tangan Rambu dan melompatlah! Yang penting Rambu tenang." Saba mengulurkan tangannya sekali lagi.
Ragu, Stefani mengulurkan tangan kirinya, lantas menggenggam erat tangan Saba. Eratnya cengkeraman Stefani membuat Saba meringis sekakigus tertawa.
Tap! Akhirnya bots Stefani mendarat di atas rumput. Saba tergelak sambil melepas kudanya di rumput. "Rambu ini aneh. Menghadapi Kaweda Nelis yang mengerikan saja berani, masa menghadapi njara yang patuh tidak berani."
Stefani mengerucutkan bibirnya. Teringat dengan wajah mesum Kaweda Nelis yang sebenarnya membuatnya ngeri waktu itu. Namun, demi menyelamatkan Hebi, ia buang semua perasaan yang mengganggunya.
Saba dan Stefani berjalan di antara ilalang. Lantas, duduk berdua. Menatap kecantikan perbukitan. Memuji kuasa Tuhan atas kecantikan alam-Nya. Sumba yang menawan. Semilir angin menerbangkan rambut dua perempuan beda suku, pulau, dan istiadat itu. Namun, keduanya satu, Indonesia yang sama.
"Alam Sumba selalu membuat saya merasa kerdil di hadapan Tuhan," lirih Stefani memulai percakapan. Kelopak mata dua perempuan itu menggeriap tersapu angin bukit.
"Itu bagus, Rambu. Setidaknya, itu membuat kita tidak lupa diri."
Terdengar tawa lirih Stefani. "Perjalanan saya ke Sumba kali ini terasa berbeda berkat kamu," celetuknya. Entah sejak kapan, Stefani jadi terbawa menggunakan kata ganti 'saya'.
Saba diam. Ia tidak tahu maksud perkataan perempuan dewasa itu.