Sepanjang perjalanan menuju Waingapu, Stefani tidak berhenti memperhatikan Saba. Perempuan muda itu tampak tenang, memandang ke arah pepohonan dan persawahan. Stefani menunggu, kalau-kalau Saba mau terbuka membicarakan masalahnya. Kata Ladu, masalah utang-piutang orang tua Saba berujung pada sebuah perjanjian. Entahlah, Ladu juga tidak tahu cerita sebenarnya. Pada intinya, laki-laki yang menagih hutang itu, memaksa ingin menikah dengan Saba. Bahkan, yang lebih mengejutkan adalah ketika Ladu bercerita, bahwa Saba pernah hampir menjadi korban yappa. Ia bahkan tidak pernah menyinggung soal itu pada Stefani.
Saba tiba-tiba menoleh dan membuat Stefani agak berjingkat. Ia tertawa kecil melihat keterkejutan di wajah perempuan kota itu.
Ia bahkan masih bisa tertawa, batin Stefani.
"Kenapa melihat saya, Rambu? Ada yang ingin Rambu bicarakan?" tanya Saba tenang.
Ladu mengintip dua perempuan di jok belakang mobil lewat kaca spion tengah. Sambil tetap fokus menyusuri jalanan Sumba yang berkelok.
"Tidak apa-apa. Kamu cantik," kilah Stefani membuat senyuman Saba melebar.
"Namanya juga perempuan, Rambu."
"Perempuan?" Stefani mengulang kata itu sambil menerawang menatap depan. Kemudian tersenyum dan kembali menoleh pada Saba. "Semua perempuan memiliki sisi cantiknya. Makanya, tidak ada laki-laki yang bisa hidup tanpa perempuan."
Ladu tersenyum lirih mendengar pernyataan Stefani. "Apa hubungannya, Rambu?"
"Memangnya kamu bisa hidup tanpa perempuan?" serang Stefani.
"Ya, pasti saya butuh perempuan, Rambu. Tapi, menurut saya, dari pada perempuan disebut cantik, lebih pas kalau disebut unik."
"Unik?" sambung Saba. "Tidak-tidak. Aku lebih suka kalau perempuan dipuji hebat."
"Kenapa begitu?" tanya Stefani.
"Kenapa? Karena perempuan harus bisa jadi apa saja. Cuma orang hebat yang bisa jadi apa saja."
"Kita iyakan sajalah! Biar cepat selesai debatnya," sambung Ladu membuat dua perempuan di belakangnya tergelak.
Padang Sabana mulai terlihat. Membentang luas, berbukit-bukit. "Mau mampir ke Wairinding?" tawar Ladu.
"Tidak/iya," jawab Saba dan Stefani kompak, tetapi berbeda.
"Kenapa?" tanya Stefani penasaran.
Saba tersenyum gamang sambil menggeleng. Sementara Ladu mengintip dari kaca spion tengah sambil menahan senyum. Sifat usilnya mendadak kambuh.
"Laki-laki kota itu pernah ajak Rambu ke Wairinding kah?" celetuk Ladu membuat Saba langsung membeliakkan matanya dan memberikan isyarat mengancam pada Ladu.
"Laki-laki kota siapa? Kekasih kamu?" sambar Stefani membuat Saba kesal pada Ladu. Laki-laki itu malah tergelak.
"Tidak apa, Rambu. Jatuh cinta itu wajar. Iya, kan, Rambu Stefani?" Ladu meminta persetujuan.
"Iya, benar sekali."
Saba langsung menyandarkan kepalanya. "Jangan bicarakan dia! Siapa yang bikin saya tinggalkan dia?" kesal Saba.
"Rambu sendiri yang pilih tinggalkan dia," sahut Ladu melewati bukit Wairinding yang selalu membuat siapa pun takjub berulang kali.
"Kamu tinggalkan dia. Kenapa?" Stefani penasaran.
"Karena apa lagi, Rambu. Karena saya terikat belis," celetuk Saba begitu saja.
Stefani mengerling pada Ladu dari kaca spion tengah. "Kamu sudah di-belis?" Setahu Stefani, belis adalah mahar lamaran. Harga yang harus dibayar si laki-laki pada perempuan yang akan dinikahinya.
Menyadari sudah keceplosan bicara, wajah Saba seketika menegang. Ia menjeling pada Stefani yang menunggu jawabannya. Saba pun mengesah pasrah. Ia menegakkan punggungnya dan menceritakan yang sebenarnya terjadi.
"Jadi, kalau kamu tidak bisa mengembalikan belis itu, kamu harus menikah dengan Umbu yang datang waktu itu?"