Sembilan tahun kemudian.
Sumba menjelma candu yang membuat laki-laki tiga puluh delapan tahun itu mengingkari perkataannya sendiri. Janji untuk tidak kembali. Semilir angin sabana, tiupan angin laut, serta alunan perpaduan gong, tambur, dan dunga membuatnya kembali menapaki Tana Humba. Tempat ia meninggalkan hati dan tulang rusuknya. Bayangan perempuan hebat itu mengganggunya sepanjang perjalanan. Seakan ingin menghukumnya karena telah mengingkari janji untuk selalu berada di sisinya dan menjaganya.
Tabuhan musik khas tradisional Sumba terdengar saat ia turun dari mobil yang mengantarnya ke Sumba Barat. Tempat yang kini menjadi ‘rumah’ bagi seseorang yang selalu memenuhi ruang hatinya. Teriakan payawau dan pakalaka menandakan bahwa tarian pesta sedang berlangsung. Hatinya semakin ketar-ketir. Bagaimana ia harus menyikapi pertemuan panjang setelah lama pergi.
"Umbu Anoga, jangan lari-lari! Nanti sakit kalau jatuh." Suara perempuan itu masih saja menggetarkan hatinya, meskipun bertahun-tahun sudah berlalu dan ia bukan lagi perempuan yang sama.
Lukas mematung menatap mata cokelat indah itu dalam jarak beberapa langkah. Perempuan hebat itu, semakin hebat. Ia tidak lagi seorang perempuan saja, melainkan juga seorang inna yang tangguh. Hati Lukas, pedih rasanya.
Puk! Anak laki-laki berusia enam tahun itu terantuk kaki lukas saat menghindari kejaran inna-nya. Ia terperenyak dan membuat Lukas berjongkok menahan pangkal lengannya agar tidak terjatuh ke belakang. Wajah Anoga berbinar saat mendongak dan melihat wajah Lukas.
"Ha? Dawa[1]!" teriak Anoga sambil bangkit dan memeluk Lukas. Tidak tahu mengapa ia memanggil laki-laki yang tidak dikenalnya itu dengan panggilan demikian. Mengapa pula ia memeluk laki-laki itu. Mungkin, karena ia sering melihat gambar laki-laki itu di foto yang disimpan inna-nya.
Saba masih mematung di tempat yang sama. Mengawasi anak laki-laki semata wayangnya memeluk laki-laki yang pernah membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati.
Lukas pun melakukan hal sama. Sambil memeluk Anoga, tatapannya tidak beralih dari paras Saba. Bagaimana pun, ia telah melakukan kesalahan besar karena telah meninggalkan perempuan itu.
⌂ Ѫ ⌂
"Umbu Redu apa kabar? Baik-baik saja?" tanya Lukas canggung. Berdiri bersisian dengan perempuan yang ia rindukan, tetapi menyentuh jemarinya saja tidak berani.
Padang Pasola begitu ramai dengan orang-orang yang ingin menonton perang adat yang menawan itu. Melihat ketangguhan kuda sandelwood yang selalu menjadi kebanggaan Sumba dan ketangkasan penunggangnya. Melihat sola terlempar dan beradu menuju sasaran.
"Buat apa bicarakan dia?" sergah Saba dengan wajah marah. Tatapannya tidak beralih dari para ksatria Pasola yang bersiap untuk memulai perang adat.
Lukas tersenyum menyesal. "Kalau begitu kita bicarakan yang lain," ucapnya menanggapi.
Saba menelan ludahnya menahan kesal. Bagaimana mungkin laki-laki itu seenaknya kembali setelah lama meninggalkannya. Sementara di sampingnya, Lukas menatap perempuan yang tidak mau mengawasinya itu. Menikmati parasnya yang selama lima tahun tidak berhenti mengganggunya. Menjelma bayangan yang membuat Lukas gagal melupakannya dan selalu ingin kembali pada Sumba.
"Saya rindu, Rambu. Sangat rindu," aku Lukas lirih. Tidak ada lagi yang perlu ditutupi, karena untuk tujuan itulah dirinya kembali. Menyembuhkan rindu dan menemukan kembali separuh nyawanya.
Saba menoleh. Masih dengan wajah kesalnya. "Enak saja Umbu bilang begitu setelah semua yang terjadi. Umbu pikir saya tidak marah?"
"Saya ingin bersama Rambu."
"Bagaimana dengan Anoga? Umbu mau terima dia meskipun dia putra Umbu Redu?" tanya Saba membuat Lukas menunduk. Saba menatapnya sambil tersenyum sarkas. "Lihat! Umbu tidak bisa, bukan? Saya tidak sempurna sebagai perempuan, Umbu tahu it—,"
Lukas langsung memeluk Saba. "Maaf, saya telah meragukan Rambu! Tidak akan saya lakukan lagi," janjinya disusul isakan penyesalan dalam dari hatinya.
Saba membeku. Air matanya menyisir. Terdengar seruan Rato disusul teriakan penonton Pasola. Menandakan bahwa perang adat telah dimulai. Perlahan, Saba membalas pelukan Lukas. Ia juga sangat merindukan laki-laki itu. Meskipun, ia pergi setelah menggoreskan luka yang sangat dalam di hati Saba.
⌂ Ѫ ⌂
Anoga tertawa riang di atas pangkuan ama-nya, Redu. Keduanya tampak akrab bermain di bawah Pohon Kosambi. Anak laki-laki itu memamerkan sulap yang ia pelajari dalam waktu singkat dari Lukas. Redu pun tampak menanggapi dengan antusias. Sementara Saba dan Lukas menatapnya dari kejauhan.