“Someday someone will walk into your life
and make you realize why it never worked out with anyone else.” —(500) Days of Summer
“Yas, lo kebagian jagain stan pendaftaran ekskul siang ini.” Yasa mendadak berhenti mengutak-atik tombol kameranya. Cowok itu mendongak dan dengan dahi berkerut menatap orang yang baru saja berbicara.
“Kok gue?” tanya Yasa datar.
Norin, teman satu ekskulnya, yang disebut-sebut akan menggantikan posisi Kak Diana sebagai sekretaris kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik tahun ini, mendengkus sabar.
“Disuruh Kak Raja. Udah dikasih jadwalnya juga.” Norin mengambil selembar kertas dari atas meja cokelat, kemudian menyerahkannya kepada Yasa. Namun, Yasa enggan menerimanya, malah memberi isyarat ke Norin untuk meletakkan kertas itu ke tempat semula.
Norin kembali mendengkus, kali ini dengan suara lebih keras agar Yasa dapat mendengarnya. Dia ingin cowok itu sadar bahwa kesabarannya nyaris habis.
“Oke, Yas! Yang jelas, nanti pas break siang, lo jaga stan. Bakalan banyak anak baru soalnya.” Norin berkata lantang seraya menaruh kembali kertas di tangannya.
Yasa pun berdiri dari duduknya, memasukkan kamera ke tas, kemudian menyampirkannya di bahu. Awalnya, dia menatap Norin tanpa ekspresi. Namun, melihat cewek itu seolah siap memuntahkan lahar panas, Yasa langsung mengulum senyum khasnya. Senyum miring yang sebetulnya tampak menyebalkan.
“Kalau gue nggak mau, gimana, Rin?” Yasa bertanya santai sambil berjalan ke arah pintu keluar di mana sepatunya berada. Dipasangnya sepatu itu dengan cekatan seraya menantikan jawaban Norin.
“Kak Raja sebagai ketua ekskul bakal mikir dua kali buat milih lo jadi ketua divisi camera person,” jawab Norin percaya diri. “Paling, Dewa yang bakal ditunjuk, bukan lo.”
Yasa mengangkat bahunya cuek. “Gimana kalau lo aja yang jaga stan hari ini? Lagian, lo kan anggota paling rajin di sini. Ya, kali, jaga stan aja nggak mau.”
“Gue ada urusan, Yasaaa ....” Norin nyaris berteriak frustrasi.
“Urusan apa? Paling kerjaan lo setiap hari nyusun rencana dan nyari cara buat balikan sama Putra, kan?”
“Ngarang lo!”
“FYI, kata Putra, dia udah move on dari lo sejak berabad-abad lalu.”
“Sumpah, ya, Yas. Mulut lo itu ngeselin banget.”
Yasa tersenyum miring. “Pastiin formulir pendaftaran udah di-print banyak-banyak pas gue jaga stan nanti,” tutup Yasa seraya beranjak meninggalkan sekretariat ekskul jurnalistik sebelum semua terbakar akibat kemarahan Norin.
Siang ini matahari bersinar terik.
Yasa menyumpah dalam hati, kenapa juga dia harus kebagian menjaga stan pendaftaran ekskul jurnalistik di tengah cuaca panas begini? Iya, sih, dia tidak harus berjemur di lapangan, tapi duduk di depan ruang sekretariatnya sambil meladeni siswa-siswi yang bertanya mengenai ekskul ini cukup membuatnya letih. Lihatlah keringat yang membasahi atasan seragam putih beraksen tartan yang dikenakannya sekarang. Cuaca di bulan Juli memang betul-betul tidak bersahabat.
Akan tetapi, untung Yasa punya dua teman yang mau diajak susah. Putra dan Aji, dua sohib yang dikenalnya sejak kali pertama menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Atas Nusa Cendekia. Dan, dua sohibnya itu dengan sukarela menemaninya di sini.
“Mana, Yas? Lo bilang bakalan banyak cewek cantik yang nyamperin?” Putra akhirnya mengeluh setelah hampir dua puluh menit duduk manis menemani, tapi apa yang dijanjikan temannya itu tak kunjung terlihat. Bukannya cewek cantik yang menghampiri, melainkan malah cowok-cowok dengan tampang nerd yang membosankan.
Yasa harus meralat ucapannya. Dua sohibnya itu tidak dengan sukarela menemaninya.
“Tunggu aja,” jawab Yasa kalem, yang langsung dihadiahi Putra umpatan pelan.
“Sekarang gue juga jadi mikir, ngapain ikut nemenin lo jaga stan sementara gue sendiri bukan anak ekskul sini,” Aji berkata sambil mengipas-ngipas badannya dengan buku tulis tipis bergambar Rapunzel. Buku tulis itu ditemukannya di atas meja pendaftaran. Menganggapnya tidak terpakai, dia pun menjadikan buku itu sebagai alat penghilang rasa panas.
“Nggak usah banyak ngeluh, Ji. Mending lo beliin minum sekarang, kantin nggak jauh dari sini,” kata Yasa ikut-ikutan emosi.
“Gue bukan babu lo, Yasmin!”
“Yasa, geblek! Sembarangan lo ngubah nama gue!” “Gue bukan babu lo, Yasa geblek!” “Nggak pakai geblek.”
“Lha, lo sendiri tadi bilang pake geblek,” sahut Aji.
“Yasa Niagara Yudhistira, itu nama gue,” cetus Yasa penuh percaya diri. Yasa memang bangga dengan nama itu. Keren dan terdengar laki banget. Dia juga merasa kekerenan nama itu turut menular ke orangnya. Jadi, Yasa tidak punya alasan untuk tidak menyombongkan diri.
Aji mengulang nama lengkap Yasa dengan gaya bibir dilebay-lebaykan. Melihat itu, Yasa langsung menyikut rusuk cowok yang duduk di sampingnya itu. “Diem lo, Narji!”
“Narji pala lo kotak, nama gue Luthfi Aji Bahtiyar,” Aji bersungut tak terima.
“Ajinomoto.”
“Yasa Sasa.”