“The scariest thing about distance
is that you don’t know whether they’ll miss you or forget you.” —The Notebook
“Cewek yang di stan pendaftaran tadi siapa, sih, Yas?” Brak!
Bunyi itu berasal dari tumbukan antara tas sekolah berwarna hitam milik Yasa dan kursi kayu di kamar Aji.
“Adik kelas gue pas SMP,” jawab Yasa setelah menghela napas panjang. Dia menjatuhkan bokongnya ke atas kasur berseprai hitam-putih dengan logo klub sepak bola asal Italia yang menjadi favorit si pemilik kamar. Diliriknya Putra, yang tadi bertanya, tapi kini sibuk mengutak-atik PlayStation terbaru kepunyaan Aji agar bisa segera dimainkan.
Tak lama berselang, Aji masuk ke kamar sambil membawa sekotak brownies dan meletakkannya di atas meja. “Makan, nih, brownies, siapa tahu kalian bisa jadi manis.”
“Garing!” cibir Yasa.
Aji pun mulai mengikuti jejak Putra. Duduk lesehan di lantai dengan mata terfokus pada layar 21 inci di depannya yang menampilkan salah satu game paling hit bagi anak cowok: Pro Evolution Soccer.
“Numpang tidur gue, Ji. Bangunin kalau udah magrib.” Yasa merebahkan tubuh di kasur Aji yang empuk. Kemudian, matanya terpejam.
“Kok lo kaget gitu, Yas, lihat adik kelas lo pas SMP daftar di ekskul yang sama kayak lo?” tanya Putra tiba-tiba.
“Karena gue sama sekali nggak nyangka bakal ketemu dia lagi,” jawab Yasa tanpa membuka mata.
“Dia kelihatan akrab banget sama lo. Kalian pasti dekat pas SMP?” tebak Putra.
“Dia yang sok dekat.”
“Namanya siapa tadi? Dasa? Daza?”
“Jangan sebut namanya. Dia itu kayak jelangkung. Datang nggak diundang, pulang nggak bisa diusir.”
Putra dan Aji kontan terkekeh geli.
“BTW, mukanya manis imut gitu, mirip Eunha,” tambah Aji. “Ya Allah, Ji. Siapa lagi itu yang lo maksud? Gue nggak kenal.” Aji berdecak, “Itu, lho, personel GFriend.” Meski petunjuk paling krusial sudah dilontarkan, Yasa tetap tidak tahu. Aji mulai mengata-ngatai Yasa yang kurang update. “Udahlah, lo nggak usah sok-sok demam Korea. Muka lo nggak ngimbangin.”
Putra tertawa ngakak di tempatnya, apalagi ketika melihat wajah Aji yang sok sakit hati. “Terima kasih atas pujiannya. Gue memang saingan nyata G-Dragon,” tutur Aji sarkas.
“Hah? Dragon Ball? Goku?” ulang Yasa bingung. Aji menghela napas pasrah. Salah tempat kalau dia membahas Korea bersama teman-temannya ini. Nggak bakal nyambung. Otak Aji sendiri bisa terkontaminasi dengan idol di negara ginseng tersebut karena punya kakak dan adik perempuan yang demen Korea.
“Ji, jangan nonton drama Korea lagi, deh, mending lo nonton BoBoiBoy aja, cocok sama lo,” tambah Putra.
Aji langsung bersungut, “Cocok di bagian mananya?” Lalu, dia berusaha berpikiran positif. “Kalian nganggep gue mirip orang Malaysia emangnya? Ah, gue tahu! Gue emang berkarisma kayak Engku Emran suami Laudya Chintya Bella.”
Putra semakin ngakak, sedangkan Yasa cuma bisa geleng-geleng kepala tidak habis pikir. Engku Emran pastilah merasa nista kalau tahu dirinya disama-samakan dengan Aji yang slengekan begini.
“Gue, tuh, nyuruh lo nonton BoBoiBoy biar bisa lihat kembaran lo, Adu Du,” kata Putra dengan kekehan yang masih setia di bibirnya.
Aji mendengkus. Enak saja dia disamakan dengan makhluk berkepala kotak dan bertubuh hijau itu. Mana setahu Aji, Adu Du itu otaknya rada gesrek.
“Oh, ya, ada yang mau gue omongin sama lo, Yas,” ucap Putra setelah menghentikan tawanya. Ia melepaskan konsol di tangan, game yang masih berlangsung dibiarkannya begitu saja. Putra lebih memilih menatap Yasa, memberi gestur bahwasanya ada hal serius yang harus dibicarakan.
Yasa menoleh, “Ada apa? Serius amat muka lo, kayak mau UN,” balas Yasa ngeri.
“Emang ini hal yang serius.”
“Apaan?”
“Ini menyangkut masa depan gue dalam konteks asmara,” ucap Putra.
“Lah, urusan asmara lo kenapa harus ngomongin ke gue? Geli banget,” Yasa geleng-geleng, kemudian memilih berguling membelakangi Putra.
Putra berdecak, “Dasa Daza itu adik kelas lo pas SMP, kan?” “Nanya mulu lo, kayak Dora.” Yasa mendengkus sebal.
“Ck, gue butuh bantuan lo. Dasa Daza itu bisa jadi orang yang tepat buat gue bisa dapetin kontak temennya, Agrita.” Putra berkata to the point.
Yasa kembali menoleh ke arah Putra dan langsung memutar bola mata. Malas.
“Gue serius, Yas!” kata Putra dengan nada lebih tegas daripada sebelumnya. “Gue butuh kontak Agrita, dan cara dapetinnya cuma dari Dasa Daza.”
“Namanya Daza aja,” ralat Yasa. “Gue nggak mau berhubungan sama cewek itu. Asal lo tau, dia itu ngeselin.”