YASMIN memandang anak-anak yang bermain dengan penuh rasa iri di pinggir lapangan. Ingin sekali gadis cilik berumur sembilan tahun itu berbaur bersama teman-teman sebayanya. Tetapi, bagaimana ia bisa mendekat, sedangkan ada beban di punggungnya? Beban itu adalah seorang bocah dua tahunan yang digendongnya, yang tak lain adalah jebbing1-nya sendiri. Yasmin melangkah perlahan, lebih mendekat pada permainan yang semakin seru itu. Betapa inginnya ia ikut bergabung dalam permainan anak-anak yang disebut “benteng2”. Soleh berperan sebagai “pemburu” dan yang lainnya menjadi “buruan”. Mereka yang menjadi buruan akan selamat atau bebas dari terkaman Soleh apabila telah berpegangan pada sebuah pohon yang telah ditentukan dan disepakati sebagai “benteng” terlebih dahulu. Yasmin melambaikan tangan ke arah Fatma yang sudah berpegangan pada pohon jambu biji alias “benteng” sehingga ia selamat dari kejaran Soleh.
“Miiin! Yasmiiin!!!” Sebuah teriakan yang khas terdengar di telinga Yasmin.
“Min, kenapa masih di sini, ha?!” Mak Tik sudah di depan Yasmin dengan berkacak pinggang.
“Anu, Mak ....” Yasmin gugup.
“Anu, anu! Mana ale’3-mu? Kamu tinggal di sungai?” Mak Tik menanyakan adik Yasmin.
“Ale’ sama Cak Misrun, Mak.” Yasmin menjawab takut.
“Ya sudah, sana cepat pulang! Bukankah kamu sudah harus lekas-lekas ke langgar? Tapi sebelum ke pondokan, tunggu Emak dulu mau nyusul ale’ dan cacak-mu di sungai,” kata Mak Tik sambil tergesa menuju sungai.
“Iya, Mak.”
Dengan terbungkuk-bungkuk Yasmin berjalan menuju rumah. Sesampainya, Yasmin menemukan Lek Tipah mondar-mandir di halaman.
“Emak masih di sungai, Lek. Sebentar lagi datang,” kata Yasmin tanpa ditanya.
Dua menit kemudian Emak datang bersama Sarni, adik Yasmin, dan Misrun, kakaknya.
“Yu Tik, baju suami saya sudah selesai dijahit?” tanya Lek Tipah kepada Mak Tik.
“Aduh, saporanah, maaf Pah. Kancingnya belum dipasang,” jawab Emak dengan wajah memelas.
“Terus kapan selesainya? Ini sudah hampir sebulan dan ongkosnya sudah dibayar di muka!” Lek Tipah naik pitam sampai-sampai Leli digendongan Yasmin terkejut dan menangis.
“Pokoknya saya minta besok sudah harus selesai Yu, karena mau dipakai ke koleman4,” kata Lek Tipah lagi.
“Saya janji sebentar lagi akan langsung saya kerjakan, Pah. Biar nanti Yasmin yang ngantarkan ke rumah kamu,” kata Mak Tik akhirnya.
Setelah mendengar penuturan Mak Tik, Lek Tipah pulang tanpa berkata apa-apa lagi. Mak Tik mengambil Leli dari gendongan Yasmin dan mendiamkan tangisannya. Kemudian, Mak Tik mengajak mereka segera masuk ke rumah yang berdinding bambu.
Emak mengganti baju Sarni dan Leli, lalu mengusapkan bedak ke wajah mereka, sedangkan Yasmin sudah siap dengan mukenanya untuk segera mengaji ke langgar di pesantren Kiai Durahem. Nama panjang Kiai Durahem adalah Abdur Rohim, tetapi dipelesetkan menjadi Durahem oleh lidah masyarakat yang merupakan suku Madura.
“Nanti selesai mengaji langsung pulang, Min. Ndak usah main-main dulu sama anak pondok!” pesan Emak.
“Yasmin bukannya main-main, Mak. Tapi ikut belajar bersama mereka.” Yasmin membela diri.
“Eh, eh, masih menjawab saja! Dhulih mangkat5! Dan ingat kata Emak, langsung pulang nanti selesai mengaji!” pesan Emak lagi.
“Iya, Mak.”
Yasmin tergesa menuju langgar di dusun sebelah di dataran yang lebih tinggi, yang berjarak kira-kira lima ratus meter dari rumahnya. Musala pesantren Kiai Durahem berada di dalam pondokan santri putri, sedangkan masjid milik pesantren berada di halaman depan dan dipakai secara umum selain digunakan untuk kegiatan pondok oleh para santri putra.
Sejak beberapa menit yang lalu sudah terdengar suara teduh Kiai Durahem melantunkan Surah Al-Fatihah dari pengeras suara yang dipasang di atas menara masjid. Yasmin bersama santriwati lainnya dan beberapa anak dari luar pesantren melantunkan puji-pujian sambil menunggu Mak Nyai Munah, istri Kiai Durahem, yang akan menjadi imam shalat di musala putri.
Allahumma sholli ‘ala Muhammad
Ya Robbi sholli ‘alaihi wa sallim
Muslimin muslimat ngireng berjema’ah shalat
Genjheren epon petto lekor dherejet
Angghuy sanguh ghi’-paghi’ areh kiamat
Sopajeh sampeyan selamet dhunyah akherat
Mudah-mudahanan Allah memberi rahmat kepada Nabi Muhammad
Ya Rabbi Ya Tuhanku berilah rahmat dan keselamatan kepada Nabi Muhammad
Muslimin Muslimat mari berjemaah shalat
Pahalanya dua puluh tujuh derajat
Untuk bekal kelak di Hari Kiamat
Supaya Anda selamat dunia akhirat
Tak lama kemudian, Mak Nyai masuk ke musala dan Halimah, putri semata wayangnya, segera beriqamah. Dengan khusyuk Mak Nyai Munah yang terkenal tawaduk itu pun mengimami shalat. Para makmum di belakangnya mengikuti gerakannya dengan tertib dan teratur.
Selesai shalat berjemaah dan wiridan, anak-anak duduk melingkar seperti biasanya. Jumlah murid perempuan yang mengaji itu seluruhnya ada 37, terdiri atas santriwati yang mondok dan berdomisili di pesantren sebanyak 23, sedangkan sisanya sebanyak 14 adalah anak-anak desa di sekitar pesantren yang tidak mondok. Anak-anak desa yang tidak mondok, tetapi mengaji dan bersekolah diniyah di pesantren, dalam masyarakat Madura biasa disebut sebagai “santri colokan”.
Sebenarnya ada masjid yang juga dipakai anak-anak mengaji di dekat rumah Yasmin. Tetapi, namanya juga anak-anak, Yasmin selalu saja bertengkar dengan teman-temannya di sana. Oleh karena itu, Yasmin pindah mengaji ke Pesantren Nurul Huda, pesantrennya Kiai Durahem di Dusun Tegalamat Atas, pecahan dari Dusun Tegalamat Bawah tempat Yasmin tinggal. Dinamakan Tegalamat Atas karena berada di daerah yang datarannya tinggi, sedangkan Tegalamat Bawah berada di dataran rendah yang dikelilingi pegunungan berisi kebun cokelat milik pemerintah. Baik Dusun Tegalamat Atas maupun Tegalamat Bawah merupakan bagian dari Desa Suci, Kecamatan Panti. Sebuah daerah pelosok di Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang masyarakatnya terdiri atas suku Jawa dan suku Madura.