Yasmin

Bentang Pustaka
Chapter #2

Makan Tabhek di Pondok

SEPERTI biasa, Yasmin selalu menggantung seragamnya sepulang sekolah pada kawat yang diselipkan di dinding bambu kamarnya. Tasnya ia letakkan di atas meja kayu persegi di samping tempat tidurnya. Setelah mengganti baju, Yasmin masuk ke kamar sebelah, menjenguk Bapak. Bapak sedang terlelap. Yasmin tidak ingin mengganggunya. Ia kemudian masuk ke dapur dan membuka tudung nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Hanya ada sebakul nasi jagung dan semangkuk sayur asam. Ada pula sambal terasi di cobek terbuat dari tanah liat yang sudah retak. Yasmin mengambil piring seng untuk makan. Ketika itu, Emak datang sambil menggendong Leli. Tangan kanannya menjinjing kresek hitam.

“Duh! Sekarang apa-apa mahal!” umpat Mak Tik sambil mendudukkan Leli di atas lincak dengan kasar. Kemudian ia juga duduk dan membuka bungkusan kresek. Ia mengambil tampah1 dan menuang beras dalam kresek ke tampah itu.

“Meski ndak ada apa-apanya, dienak-enakkan, Min. Emak ndak punya uang buat beli ikan. Bapakmu terus saja sakit-sakitan. Kapan Bapak sembuhnya,” lanjut Mak Tik lagi sambil mengorek-ngorek beras di tampah. Leli di sampingnya ikut-ikutan mengorek beras, Mak Tik memukul lengannya. Leli menggosok-gosok lengannya sambil memonyongkan mulut.

“Ini sudah cukup, Mak. Yasmin tetap doyan meski hanya makan dengan sambal.” Yasmin menyahut sambil terus mengunyah.

Tak lama kemudian Misrun datang dan masuk ke dapur. Ia mencari-cari sesuatu.

“Cari apa, Cak?” tanya Yasmin.

“Sabit, sabit,” jawab Misrun tanpa menoleh kepada Yasmin. Ia masih terus saja sibuk mencari.

“Cari sabit mau dibuat apa, Ron?” Kali ini Emak yang bertanya.

“Wan, Wan. Lek Ji Wan!” begitu jawaban Misrun dengan kata-katanya yang tidak terlalu jelas.

“Paling Cak Misrun disuruh menyiangi rumput di halamannya Lek Ji Ridwan, Mak.” Yasmin menebak.

Misrun mengangguk-angguk membenarkan ucapan Yasmin. Mak Tik kemudian mengambil sebuah sabit yang diselipkan di dinding bambu di dapur itu.

“Yak!” Mak Tik memberikannya kepada Misrun.

Misrun menerimanya, lalu keluar melalui pintu dapur. Tetapi, baru beberapa langkah, Misrun kembali lagi.

“Ada apa lagi, kok kembali?” Mak Tik bertanya lagi.

Misrun tidak menjawab. Ia mengambil sesuatu yang diselipkan di kopiah hitamnya yang warnanya sudah kusam dan kemerahan. Misrun memberikannya kepada emaknya. Mak Tik menerimanya dan membuka gulungan uang yang diberikan Misrun.

“Dari mana kamu dapatkan uang ini?” tanya Mak Tik ketika melihat dua lembar seribuan bergambar Sisingamangaraja XII di tangannya.

“Paling itu dari Lek Ji Ridwan, Mak.” Lagi-lagi Yasmin menebak.

Misrun mengangguk-angguk cepat. Tanpa menunggu komentar dari Mak Tik, ia lalu bergegas pergi dengan sabitnya.

“Alhamdulillah ....” Mak Tik bersyukur.

Mak Tik kemudian meyelipkan uang itu ke dalam kutangnya, sedangkan Yasmin ke belakang untuk mencuci piring bekasnya makan. Ayam-ayamnya berhamburan menghampirinya dan mematuk sisa-sisa nasi yang bertebaran.

“Min, setelah ini kamu antarkan gamisnya Mak Nyai, ya. Ajak Sarni juga,” perintah Emak.

“Iya, Mak, iya.” Yasmin menjawab girang. Sedari tadi ia sudah memikirkan bagaimana caranya minta izin pergi ke pondok. Ia ingin memenuhi undangan Nur’aini yang katanya emaknya akan datang ke pondok.

Setelah meletakkan piringnya di rak kayu buatan Bapak, Yasmin menghampiri Mak Tik yang sudah duduk di depan mesin jahit. Leli dibiarkannya bermain bersama anak-anak tetangga di halaman rumah.

“Ini, berikan kepada Mak Nyai. Nanti kalau ditanya ongkosnya berapa, kamu bilang, kata Emak ndak usah ongkos. Kalau kamu masih saja diparingi2 uang, jangan diambil. Mengerti?” pesan Mak Tik sambil menyerahkan bungkusan dari koran bekas kepada Yasmin.

“Iya, Mak.”

Yasmin kemudian menggandeng Sarni menuju pesantren Kiai Durahem di Tegalamat Atas.

Sesampainya di pesantren, Yasmin masuk ke pintu pondokan putri dan menuju ke dapur pesantren. Sarni masih menggenggam tangannya. Di dapur itu ia dapatkan para khaddam sedang sibuk di dapur. Khaddam adalah sebutan untuk seorang santri yang mengabdikan diri kepada keluarga kiai selama berada di pesantren. Biasanya mereka yang perempuan mengerjakan pekerjaan dapur atau mengasuh putra-putri kiai yang masih kecil, sedangkan khaddam laki-laki menjadi sopir kiai dan membantu pekerjaan lain, seperti ke sawah atau ke kebun. Meskipun begitu, mereka tetap mendapat pelajaran agama dan beberapa kitab kuning seperti santri-santri yang lain. Dalam masyarakat Madura, kata khaddam berubah bunyi menjadi haddem.

“Hei, Yasmin! Kamu ditunggu Nur di kotakan-nya dari tadi.” Halimah yang ikut membantu para khaddam yang setia itu menyapa ketika Yasmin masuk.

“Anu, Yu. Mak Nyai ada?” tanya Yasmin.

“Ada di dalem. Mau ngantarkan gamisnya Ummi, ya? Ayo, Yu Lim antar ke Ummi,” ajak Halimah. Yasmin dan Sarni mengikutinya dari belakang.

Setelah masuk ke rumah orangtua Halimah yang biasa disebut dalem itu, Yasmin tak berani mendekat. Ia menunduk sopan. Sama sekali ia tak berani mengangkat wajahnya. Sarni di sampingnya pun terlihat kaku dan tak terbiasa masuk ke rumah seorang kiai.

“Ummi, ka’dintoh bedeh Yasmin sareng Sarni.3” Halimah mengutarakan kedatangan Yasmin dan Sarni kepada Mak Nyai Munah, ibunya.

Mak Nyai Munah yang sedang bersantai di ruang TV menoleh dan tersenyum ramah.

“Oh, Yasmin. Putrinya Kang Suleman, ya? Mari sini, ndak usah sungkan-sungkan.” Mak Nyai Munah membalikkan badannya.

“Ka’dintoh,” sahut Yasmin dengan menggunakan bahasa Madura halus.

“Ayo Min, dipanggil Ummi itu. Sudah, ndak usah sungkan-sungkan begitu.” Halimah menarik lengan Yasmin.

Yasmin maju perlahan-lahan. Sarni di belakangnya mengikuti gerak lambatnya sambil memegang erat rok kakaknya itu. Dengan masih menunduk, Yasmin menyerahkan bungkusan dari Emak kepada Mak Nyai Munah.

“Berapa ongkosnya, Min?” tanya Mak Nyai Munah setelah membuka bungkusan itu.

“Ta’ manabi4, Mak Nyai,” jawab Yasmin dengan bahasa yang halus.

“Lho, kok ndak usah?”

“Emak bilang tidak usah ongkos, Mak Nyai.”

“Ya ndak bisa begitu, Min. Emak kamu, kan, menjahit untuk mencari nafkah, jadi saya harus membayarnya. Ya sudah, tunggu sebentar, ya.” Mak Nyai Munah kemudian masuk ke kamarnya.

“Ayo duduk di sini, Min,” ajak Halimah.

Yasmin tidak beranjak.

Lihat selengkapnya