“Setiap cahaya yang jatuh di permukaan mahkota menyimpan bayangan yang tak pernah dimintanya.”
— Naskah Wastu Ardhaya, Ayat 6
Di jantung benua kuno Yavadhara, berdiri Kerajaan Ardhaya, negeri yang konon dibangun dari darah dewa dan janji siluman. Kota utamanya, Varnaka, berdiri megah di lereng pegunungan Ashvara, dengan dinding-dinding putih yang memantulkan cahaya matahari hingga tampak bersinar seperti berlian raksasa. Namun di bawah kemegahan itu, tersembunyi rahasia yang bahkan para dewa pun enggan menyebutnya.
“Di tanah yang tak bernama, ketika langit masih bicara dengan bumi, sebuah kerajaan lahir dari darah yang jatuh tak disengaja.”
Begitulah para pendeta tua membuka kisah tentang Ardhaya. Sebelum istana dibangun, sebelum takhta disematkan, sebelum nama-nama dikenal oleh batu dan pohon, ada seorang wanita yang memilih cinta daripada tugas. Ratu pertama dari tanah ini—Aryeswari—disebut-sebut telah memecahkan keseimbangan dunia demi menyelamatkan keturunannya.
Ia membuat perjanjian dengan dua makhluk penjaga dunia bawah: Ragantara, sang penjaga bara, dan Velgrin, sang pengawal kedalaman. Mereka bukan dewa, bukan iblis. Mereka adalah roh tertua yang menjaga gerbang antara kematian dan kehidupan, batas antara keabadian dan kehancuran.
Aryeswari menjanjikan darahnya sendiri sebagai jaminan agar Ardhaya bisa dibangun di atas tanah yang sebelumnya dikutuk tak bisa dihuni manusia. Ragantara memberi kekuatan pada tanahnya, Velgrin memurnikan airnya. Tapi saat kerajaan mulai makmur dan rakyat memuja Aryeswari sebagai titisan langit, perjanjian dilupakan. Dan dua makhluk itu disegel dalam gerbang-gerbang yang dibangun dari batu dan pengkhianatan.
Namun darah perjanjian tak bisa dilupakan oleh tanah. Ia mengalir turun, diam-diam… hingga sampai pada keturunan terakhir.
Narsaya...
Gadis yang tak tahu bahwa kerajaannya berdiri di atas kebohongan. Bahwa takhta yang menunggunya diselimuti oleh bisikan para leluhur yang belum damai.
Dan malam sebelum penobatan, tanah bergetar sangat halus. Tak ada yang menyadari. Tapi kabut yang muncul dari arah utara… membawa bau belerang.
Seseorang—atau sesuatu—telah bangun dari tidur panjangnya.
Pada tahun kelima Rasi Langit Nindra, Putri Narsaya dinobatkan sebagai Cahaya Kedua Ardhaya. Ia mewarisi mahkota ibunya yang wafat dalam tidur panjang—kematian yang oleh para penatua disebut sebagai “pengunduran ke dalam cahaya.” Upacara penobatan digelar di pelataran suci Padma Samya, di hadapan ribuan rakyat dan utusan dari empat wilayah besar Yavadhara. Semua mata memandangnya sebagai anugerah. Namun Narsaya merasa lain.
Langkah-langkah kaki di pelataran istana seolah teratur oleh musik surgawi. Para pemuka kerajaan berdiri berjejer, membawa kitab suci, jimat emas, dan dupa pembuka takhta. Tapi di tengah keramaian itu, Narsaya merasa sunyi.
Gaun putih bersulam benang emas terasa berat, bukan karena kainnya, melainkan karena makna di baliknya. Mahkota perak yang diletakkan di atas kepalanya menyilaukan banyak orang—tapi di dalam dadanya, Narsaya merasakan kekosongan yang tak bisa diartikan.
“Putriku, suatu hari kelak, kau akan berdiri di antara langit dan bumi. Tapi jangan lupa: tidak semua cahaya berasal dari langit.”
Itu kata terakhir ibunya sebelum wafat. Ia mengatakannya dalam kondisi lemah, tapi sorot matanya menyimpan ketakutan yang belum sempat dijelaskan. Narsaya tidak pernah mengerti—hingga hari ini.
Suara tabuh gamelan berhenti. Imam tertua menaikkan Kitab Raksita ke atas kepala. "Dengan ini, oleh nama leluhur, langit, dan dunia bawah, kami mengangkat engkau—Narsaya Aryeswari—sebagai Penjaga Cahaya dan Penuntun Ardhaya..."
Saat nama itu disebut, dada Narsaya terasa diremas dari dalam. Bukan bangga, bukan gembira. Tapi seperti ada sesuatu yang sedang menolak. Angin berhembus dari arah utara, bukan timur seperti biasanya. Dan selama sepersekian detik, ia merasa langit menjadi lebih berat… seperti mengawasi.
Ia mengangkat kepalanya. Menatap para pendeta. Mereka semua tersenyum. Tapi senyum itu terasa terlalu lebar. Terlalu rapi. Terlalu... kosong.
"Mengapa aku merasa... seolah-olah aku bukan sedang diangkat, melainkan ditandai?"
Dalam keheningan sesudah prosesi, Narsaya sempat menatap bayangannya di mangkuk perak persembahan. Tapi apa yang ia lihat bukan wajahnya—melainkan wajah perempuan tua dengan mata kosong dan mulut terkunci oleh jalinan akar berduri.
Ia mengedipkan mata. Bayangan itu hilang. Tapi rasa dingin yang merambat ke tulang belakangnya… tetap tinggal.
Ia berdiri di bawah gerbang pelangi buatan, mengenakan jubah putih dengan simbol Lazuarda—cahaya murni dalam bahasa langit—dijahit dari benang perak dan urat naga muda. Mahkota perunggu tua bertatahkan kristal ruh Arkanos diletakkan di kepalanya oleh Imam Tertinggi. Pada saat itu, ia melihat kilatan aneh: bayangan seperti tangan merah menyentuh pundaknya dari balik semesta.
Upacara itu berlanjut dengan tarian suci yang dibawakan oleh para imam wanita. Harum dupa kayu shandora memenuhi udara, mengaburkan pandangan namun menghidupkan visi. Rakyat bersorak. Musik dimainkan dengan alat petik bertali benang bulan. Namun di tengah gemuruh dan sorak-sorai, hati Narsaya tetap dingin dan terasing.
Pada malam hari setelah perayaan, Narsaya tidak bisa tidur. Ia gelisah, tubuhnya panas dingin, dan pandangannya buram oleh kegelisahan yang tak bernama. Ia melangkah ke Paviliun Langit Retak, sebuah tempat sunyi yang dulu digunakan oleh para leluhur untuk bermeditasi. Di sana, tergantung sebuah tirai merah tembaga yang konon menyimpan aura para pendiri Ardhaya.
Saat ia menyentuh tirai itu, dunia runtuh.
Dalam Mimpi
Ia berada di tengah padang abu. Langit di atasnya berwarna ungu kehitaman, dan bau darah bercampur dupa menyelimuti udara. Di hadapannya berdiri seorang wanita berpakaian robek, terikat rantai cahaya yang menjulur hingga ke langit. Wajah wanita itu menyerupainya, namun matanya menyala merah seperti bara api.
“Apakah kau ingin tahu kebenaran, Narsaya?” tanya wanita itu, suaranya berat dan sakral.
“Siapa kau?” bisik Narsaya, suaranya lemah.
“Aku adalah cerminmu. Aku adalah Narsaya yang pertama. Aku adalah warisan dari pengkhianatan yang dibungkus kemuliaan.”
Darah mengalir dari rantai yang memeluk tubuh wanita itu, membentuk aliran ke tanah yang retak. Dari retakan itu muncul gerbang batu raksasa, hitam dan berlumut, dengan ukiran wajah-wajah menderita. Di atasnya terukir: Gerbang Ardhaya.
Dua makhluk berdiri di sisinya. Yang satu bermata emas, bersayap perak. Yang lain bermata hitam menyala, bertanduk ganda. Mereka diam, namun aura mereka seperti badai yang disembunyikan di dalam botol.
“Mereka adalah Ragantara dan Velgrin. Penjaga gerbang. Korban janji.”
“Korban?”
“Tanpa mereka, kerajaanmu tak akan berdiri. Mahkotamu bertumpu pada pengorbanan yang dibungkam.”