YAVADHARA: Tujuh Gerbang dan Kutukan yang Tak Pernah Tidur

damayanti
Chapter #2

Dua Penjaga Gunung Durma

“Yang terkunci tak selalu terkutuk. Yang dibebaskan tak selalu suci.” Fragmen Batu Ashvara, ukiran ketiga puluh delapan

 

Di ujung timur Yavadhara, menjulang Gunung Durma seperti tombak langit yang menusuk awan, dihiasi kabut abadi dan hening yang seolah tidak mengenal waktu. Tak seorang pun pendaki berani melangkahkan kaki ke lerengnya, bukan karena jalur yang sulit, tapi karena kisah-kisah bisu tentang makhluk yang tinggal di sana. Konon, Gunung Durma adalah batas antara dunia nyata dan bayang-bayang, tempat di mana roh gentayangan dan para siluman bertapa dalam waktu yang membeku.

Tidak ada manusia yang pernah berhasil mencapai puncak Gunung Durma dan kembali utuh.

Begitulah dongeng lama yang selalu diceritakan para tetua desa sebelum mereka tidur, meski mereka sendiri tidak tahu apakah cerita itu benar—atau hanya peringatan yang diselipkan langit ke dalam nadi rakyatnya.

Gunung Durma bukan sekadar gunung. Ia adalah penjaga terakhir dari garis batas dunia—tempat di mana siang dan malam saling mencicipi bayangan, di mana bebatuan berbisik dan akar pohon menghafal nama para pembangkang.

Konon, pada masa yang sangat tua—saat Yavadhara belum disebut dengan nama apa pun, dan tanahnya masih dipenuhi jeritan roh-roh pengembara—ada celah antara dunia manusia dan dunia siluman. Celah itu menyerupai jurang, tapi bukan jurang biasa. Ia dalam, gelap, dan tidak memiliki dasar. Di sanalah, tiga gerbang pertama dunia siluman terbentuk: dari darah, dari niat, dan dari pengkhianatan.

Namun celah itu tak bisa ditutup oleh kekuatan manusia. Maka langit menurunkan dua penjaga: makhluk pertama yang terbentuk dari sisa bara dunia sebelum cahaya diciptakan. Mereka bukan dewa, bukan iblis. Mereka adalah bentuk pertama dari keseimbangan, yang satu berwujud api, dibalut tubuh manusia bertanduk emas. Yang lain bersayap hitam, matanya seperti dua batu obsidian yang membakar angin.

Ragantara dan Velgrin...

Mereka menetap di Gunung Durma, bukan untuk tinggal—tetapi untuk menyegel napas dunia siluman agar tak pernah mengalir ke dunia manusia. Setiap musim, mereka memperbarui segel gerbang dengan kekuatan mereka sendiri. Dan setiap malam, mereka menyanyikan mantra dalam bahasa dunia pertama—bahasa yang bahkan tidak lagi dikenali oleh bintang.

Namun dunia berubah. Raja-raja dilahirkan. Kerajaan didirikan. Dan manusia mulai melupakan dari mana tanah ini berasal.

Tapi Gunung Durma tidak lupa.

Dan suara dua penjaga itu… masih bergaung dalam bebatuannya.

Di dalam perut gunung yang berbentuk seperti ruang-ruang kristal raksasa, dua makhluk hidup dalam pengasingan. Mereka bukan manusia, meski tubuh mereka menyerupai manusia dalam rupa paling sempurna. Mereka juga bukan iblis, meski sejarah menuliskan nama mereka sebagai ancaman bagi dunia. Mereka adalah Ragantara dan Velgrin—dua siluman Avaran yang dahulu dipuja, lalu dikhianati.

Ragantara berdiri di pinggir jurang, tubuhnya tinggi menjulang dengan kulit perunggu dan tanduk emas yang membelah udara dingin. Matanya berwarna keemasan, menyimpan tenang seperti danau tua yang menunggu badai. Ia mengenakan jubah dari serat angin yang ditenun sendiri, lembut namun tahan terhadap sihir bayangan. Satu tangannya menggenggam tongkat Aruhna, pusaka tua pemberian seorang peramal dari zaman Cahaya Pertama.

Di belakangnya, Velgrin melayang diam, sayapnya yang gelap membentang seperti malam yang menelan bintang. Mata Velgrin tidak pernah padam; merah menyala, seperti bara yang tak pernah mati. Jika Ragantara adalah keteduhan yang menahan amarah, maka Velgrin adalah percikan api yang tak sabar menari dalam kehancuran.

Mereka adalah penjaga. Tapi mereka juga tawanan.

 

Di suatu pagi yang ditelan kabut, Ragantara duduk bersila di atas batu yang mengambang di tengah ruang meditasi siluman. Suara gunung bergemuruh pelan, seperti napas yang tertahan.

"Aku merasakannya lagi," kata Ragantara, matanya tertutup.

Velgrin bersandar di dinding kristal, suaranya datar tapi tajam, “Kau bicara soal cahaya yang bergetar dari selatan?”

“Bukan hanya getaran. Itu panggilan. Jiwa Ardhaya mulai menggeliat. Ada sesuatu yang berubah.”

Velgrin menyeringai, taringnya terlihat sejenak. “Mungkin akhirnya keturunan pengkhianat itu mulai curiga.”

Ragantara membuka mata perlahan. “Jangan bicara seperti itu. Kita pernah bersumpah untuk menjaga mereka.”

“Menjaga?” Velgrin meludah ke lantai kristal. “Mereka yang membakar tubuh kita, mengurung jiwa kita di balik gerbang, dan menulis ulang sejarah seolah kita adalah monster. Dan kau masih menyebut itu tugas suci?”

Ragantara tidak menjawab. Ia tahu amarah Velgrin tidak lahir dari kebencian semata, tapi dari luka yang tak pernah sembuh. Luka itu dimulai saat mereka masih mempercayai manusia.

 

Tiga Ratus Tahun Lalu

Ardhaya diserang oleh pasukan makhluk dari Celah Timur—makhluk-makhluk liar dari dimensi gelap yang tak bisa dikendalikan. Kekuatan para kesatria manusia lumpuh. Para pendeta kehilangan kemampuan mengendalikan sinar. Maka, di tengah kekacauan, seseorang memanggil dua Avaran untuk turun tangan. Ragantara dan Velgrin menjawab panggilan itu, melawan makhluk dari celah dengan kekuatan cahaya dalam bayangan.

Mereka menyelamatkan Ardhaya. Mereka menyegel celah dengan tubuh mereka sendiri, menjadikan Gunung Durma sebagai paku dunia, menjaga batas antar dimensi. Sebagai gantinya, mereka diminta bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu. Mereka menerima—karena saat itu, mereka percaya.

Namun setelah pertempuran usai, narasi berubah. Kitab-kitab menuliskan bahwa dua siluman itu adalah ancaman yang baru. Rakyat diminta melupakan mereka, bahkan membenci mereka. Para pendeta menyegel nama mereka dari doa. Kebenaran dibungkam oleh ketakutan.

Sejak saat itu, Ragantara memilih diam. Tapi Velgrin menyimpan dendam.

 

Suatu malam, angin gunung membawa kabar aneh. Langit di atas Durma berdenyut, seolah waktu mengalami kesalahan. Velgrin merasakannya lebih dulu. Ia memanggil Ragantara yang sedang menulis mantra di dinding batu.

"Gerbang Ardhaya menghembuskan nafasnya," kata Velgrin dengan suara tegang.

Ragantara menghentikan ukirannya. “Apa maksudmu?”

“Getaran dari Selatan. Aku melihat cahaya patah. Seperti seseorang mencoba membuka bagian terdalam dari gerbang itu.”

Ragantara menatap langit. Bintang-bintang tampak bergerak aneh, seolah melukis tanda dalam formasi kuno. Itu adalah formasi yang dikenal dalam naskah Avaran sebagai Sundra Pralaya—Tanda Pecahnya Perjanjian.

“Putri Ardhaya…” gumam Ragantara. “Dia sedang mencari.”

“Jika dia berhasil membuka gerbang, kita tahu apa yang akan keluar.”

Ragantara mengangguk. “Namun kita juga tahu siapa yang akan membimbingnya.”

Di lereng terdalam Gunung Durma, di atas lapisan kabut yang tak pernah naik, berdiri sebuah dataran batu yang tak bisa ditemukan dalam peta kerajaan mana pun. Di sanalah dua sosok berjalan menyusuri lingkaran raksasa yang ditatah di tanah: garis-garis bercahaya merah dan ungu, membentuk jaring mantrik yang menyegel gerbang dunia bawah.

Ragantara berdiri tenang, tubuhnya besar dan kokoh. Di atas alisnya melengkung dua tanduk emas yang bersinar redup seperti logam yang belum sepenuhnya padam. Kulitnya berwarna arang lembut dengan guratan bara yang menyala halus di sela-sela lengan dan dada. Matanya—hitam dengan garis merah menyilang irisnya—tidak pernah berkedip. Suaranya berat, tenang, seperti batu yang menggerus arus sungai.

Ia adalah pengendali bara. Pemilik kekuatan tanah yang mendidih. Tapi di balik tubuhnya yang menggetarkan bumi, tersembunyi jiwa yang mendalam dan tenang, seperti puing-puing masa lalu yang dikubur di balik sabar.

Velgrin lebih ringan langkahnya, tapi tak kalah menggetarkan. Sayap gelap menjuntai dari punggungnya, nyaris transparan seperti bayangan burung malam. Matanya menyala oranye seperti bara yang ditiup angin. Kulitnya lebih pucat, seperti batu obsidian yang terkena kabut dingin. Ia adalah pembawa angin dan arus, kekuatan yang mengalir namun bisa menghancurkan bila dibendung terlalu lama.

Mereka bukan sekadar penjaga. Mereka adalah cermin dari kekuatan dunia yang tak bisa dikendalikan oleh manusia.

Ragantara jarang bicara, tapi setiap kata yang ia ucapkan terdengar seperti perintah kuno. Velgrin, lebih sarkastik dan dingin, menyimpan luka yang tak pernah ia ceritakan.

“Mereka tak berdoa lagi untuk dunia ini,” gumam Velgrin, menatap langit yang memudar.

“Biarkan mereka lupa. Kita bukan di sini untuk dikenang,” sahut Ragantara pelan.

Namun keduanya tahu, dunia di bawah sana tak diam. Ada sesuatu yang bergolak dari dalam tanah. Dan di sela mantra yang mereka ulangi setiap malam, ada retakan yang mulai menganga.

Retakan bukan pada segel. Tapi pada waktu. Dan takdir.

 

Di Kedalaman Gunung Durma

Gunung Durma bukan sekadar tempat pengasingan. Ia adalah penjara bagi mereka yang tak bisa dibunuh dan tak boleh dibebaskan.

Di lerengnya yang tertutup kabut abadi, tumbuh pohon-pohon yang tak berbunga. Akar-akarnya menyusup ke batu dan mengikat tanah seperti simpul mantra. Burung-burung di sana tidak berkicau, hanya menatap dari cabang dengan mata putih pucat. Angin tidak sekadar bertiup—ia berbisik.

Ragantara tinggal di gua batu yang dalam, dindingnya diukir dengan bahasa dunia lama. Di sana ia bermeditasi, memperbarui mantranya, dan menjaga bara segel tetap hidup dengan mantra yang ia nyanyikan setiap pagi dan senja.

Velgrin lebih sering menyendiri di sisi danau kecil yang terbentuk dari air tetesan kawah. Danau itu berwarna ungu tua dan memantulkan langit dengan cara yang aneh—kadang memperlihatkan masa lalu, kadang menampilkan wajah-wajah yang telah mati. Ia akan duduk berjam-jam di sana, membiarkan sayapnya terhampar, berbicara kepada kabut, atau hanya diam sambil menatap cermin air yang tak pernah tenang.

Setiap tujuh hari, mereka melakukan Ritus Peneguhan Gerbang: berdiri di sisi dua batu besar yang menandai tempat terkuncinya gerbang lama. Mantra mereka tidak berbunyi—hanya menggetarkan tanah. Batu akan menyala, udara akan menggulung, dan dunia akan seimbang… untuk sementara.

Tapi Velgrin mulai merasa sesuatu yang ganjil.

“Segelnya… terasa lebih haus dari biasanya,” bisiknya saat menyentuh lingkaran batu. Ragantara hanya menunduk. “Darah lama berdenyut kembali. Mungkin karena pewarisnya sudah bersuara.”

Velgrin menoleh cepat. “Pewaris? Maksudmu—?”

Ragantara tidak menjawab. Tapi matanya menatap ke arah selatan… ke arah Ardhaya.

 

Tersembunyi jauh di bawah batu dan api, ada sebuah ruangan berisi patung-patung tua yang terbuat dari garam hitam dan darah beku. Ruangan itu disebut Ruang Perenungan Jiwa. Di sinilah para Avaran bisa membaca gema masa depan.

Ragantara dan Velgrin memasuki ruangan itu. Mereka berdiri di hadapan patung besar bertanduk tiga dan bersayap dua—arca perwujudan siluman tertua: Dharavasa, Ayah Segala Bayang.

Ragantara menekan telapak tangannya ke altar. Seketika, cahaya gelap menyala di tengah ruangan, menampakkan tiga kemungkinan jalur masa depan. Dalam tiap jalur, Putri Narsaya muncul.

Dalam satu bayangan, Narsaya membuka gerbang dan dunia ditelan kekacauan. Dalam bayangan kedua, ia gagal membuka gerbang dan Ardhaya runtuh dari dalam, termakan korupsi sihir. Dalam bayangan ketiga, ia menyatukan dua dunia, dengan risiko jiwanya sendiri terkoyak oleh janji yang belum ditepati.

Velgrin menatap ketiga bayangan itu. “Lalu kau masih ingin membantunya?”

Ragantara menatap adiknya. “Aku tidak ingin dunia hancur. Tapi lebih dari itu, aku ingin kita bebas.”

Lihat selengkapnya