Melati mengerjapkan matanya. Ia menatap langit-langit kamar seraya menghela napas, kemudian bangkit meregangkan tubuh. Menyadari angka yang ditunjuk jarum jam di dinding membuatnya segera bergegas. Mandi secepat yang ia bisa. Memakai baju dengan rapi dan mengaplikasikan make up sederhana, lalu turun ke ruang makan.
"Pagi sayang," sapa Anisa.
"Pagi Ma," sahut Melati. Ia duduk di kursi makan yang biasa diduduki. Sastro, ayahnya telah sibuk menatap koran di tangannya. Sesekali diteguknya secangkir kopi yang tak jauh dari jangkauannya.
"Pagi semua," kali ini suara bariton Andi yang terdengar. Ia nampak berbeda dengan setelan jas dan celana hitam. Rambutnya juga di sisir rapi. Ia duduk di samping Melati.
"Gimana? Jadi kau ikut pameran?" Tanya Andi pada adiknya.
"Entahlah Kak, aku belum mendapatkan ide. Akhir-akhir ini aku merasa bosan. Seperti tak memiliki hasrat," keluh Melati.
Andi tertegun. Ia menatap adiknya lebih lekat. Meski kejadian itu sudah lama berlalu ia hawatir masih ada dampak negatif pada Melati yang luput dari perhatiannya. Seluruh keluarga telah sepakat, tidak akan pernah membahas kejadian di rumah Rangga lagi demi menjaga perasaan adiknya.
"Ronald apa kabar?" Tanya Andi tiba - tiba. Membuat Sastro dan Anisa melihat ke arahnya.
"Ngapain nanya dia?" Tanya Melati tak suka.
"Tampaknya dia baik. Soalnya kakak bosan mengantar kamu terus. Cari calon suami kek," ucap Andi.
Melati tak merespon. Ia memasukkan roti terakhir ke dalam mulutnya. Setelah meminum segelas susu ia langsung pamit.
"Aku berangkat, jangan lupa pulangnya dijemput," ancam Melati pada Andi lalu menyalami semua orang.
"Hati-hati ya sayang," ucap Anisa lembut. Melati hanya mengangguk. Seperginya, Anisa langsung duduk di samping Andi. Ia menatap anak sulungnya itu dengan cemas.
"Ada apa Ma?" Tanya Andi begitu menyadari sikap ibunya.
"Kenapa kau malah tanya Ronald padanya?" Tanya Anisa. Ia hawatir, karena respon Melati selalu tidak baik jika berurusan dengan laki-laki.
"Ya wajar kan Ma. Dimana - mana anak gadis seusia dia harusnya sudah punya pacar. Tapi Melati, jangankan sekarang dari SMA dia masih saja jomblo," terang Andi.
"Dalam adat keluarga kita tidak ada tradisi pacaran," ucap Sastro menegaskan. Sebagai keluarga yang masih memegang adat ketimuran tentu saja pacaran masih dianggap sesuatu yang melanggar aturan agama baginya.
Andi tak menanggapi. Sebenarnya ia setuju, tapi ada hal yang masih mengusik pikirannya tentang Melati. Namun Andi tidak mengutarakan kecurigaannya itu pada kedua orang tuanya. Ia memilih diam dan segera menghabiskan sarapannya.
"Pa, Ma, aku kerja dulu," pamit Andi seraya menyalami tangan kedua orang tuanya.
"Jangan lupa nanti nenek dijemput ya di stasiun," ucap Anisa.
Andi mengangguk. Beruntung hari itu tak banyak rapat yang harus dihadiri. Sehingga ia bisa mengatur waktu untuk menjemput nenek. Mau bagaimana lagi, sebagai satu - satunya orang yang mengendarai mobil, ia harus rela mengantar jemput keluarganya. Entah itu adik maupun nenek. Sedangkan Sastro hanya mengendarai sepeda motor tua untuk pergi bekerja.
Di tempat lain Melati turun dari taksi. Ia mendatangi taman kota yang banyak didatangi pengunjung. Sesekali ia memotret objek yang menurutnya menarik untuk dijadikan bahan melukis nanti. Setelah puas Melati langsung menyebrang jalan menuju kampus Dreame yang tak jauh dari taman. Ia sengaja memilih berjalan kaki agar bisa menikmati banyak hal yang bisa dilihat antara taman dan kampus.
"Mel!" Teriak sebuah suara yang sukses menghentikan langkahnya.