Melati Milik Pangeran

Liza Ulfa Maesura
Chapter #3

Chapter 3

Galeri kecil yang terletak di belakang rumah sederhana telah dipenuhi beragam lukisan. Sebagian merupakan pesanan seseorang. Sebagian lagi milik pribadi yang sengaja dilukis saat ada ide. Sebagian besar lukisan merupakan potret wajah. Siluet seseorang atau gambar sekumpulan orang. Bila dilihat secara seksama lukisan tersebut seolah memiliki pesan atau kisah yang di sampaikan. Lukisan yang seolah hidup dan memberitahu sesuatu kepada siapa pun yang melihatnya.

Di sudut lain, seorang pemuda berparas tampan. Sedang sibuk dengan lukisan yang hampir selesai dibuat. Ditambahkannya sedikit warna yang menambah keindahan lukisan tersebut. Sekali lagi ia teliti keseluruhan bentuk, warna, kombinasi, apakah sesuai dengan apa yang diinginkan hatinya. Atau apakah pesan dan cerita yang ingin disampaikan telah bisa dilihat. Baginya, melukis dengan hati, perasaan serta penyatuan rasa sangat penting dalam menciptakan lukisan yang memiliki ruh. Lukisan yang seolah hidup dan bermakna.

"Raden, tadi Romo menelpon. Memastikan apakah ajunan menerima calon isteri yang dipilihnya," ucap Hannan. Ajunan merupakan bahasa halus Madura yang bermakna kamu, dan ditujukan pada orang yang lebih ia hormati. Terutama pada Raden Joko Indra Maulana yang biasa dipanggil Jim. Meski usianya jauh lebih muda, sebagai keturunan bangsawan Keraton Sumenep, tentu saja Hannan sangat menghormatinya.

"Terus kamu bilang apa?" Tanya Jim pada Hannan yang sudah ia anggap sahabat sejak kecil. Hannan adalah putra Paman Atmawi yang merawatnya sejak kecil dan terus mengabdikan hidupnya pada keluarganya. Hannan dan Jim telah berteman sejak kecil, karena itulah mengingat bakti Paman Atmawi dan permintaan Jim, putranya Hannan disekolahkan dan dikuliahkan di tempat yang sama. Selain agar ada yang menemani Jim. Hannan juga ditugaskan menjaga Jim selama menempuh pendidikan serta mengawasi perilakunya selama jauh dari keluarga dan kampung halamannya.

"Saya bilang anda sudah punya pacar," gurau Hannan.

Kuas lukis di tangan Jim yang masih basah oleh cat berwarna merah langsung menodai wajah Hannan.

"Mau kulukis wajahmu heh," ancam Jim. 

Hannan tertawa dan langsung menghindari serangan Jim dengan kuas dan palet di tangannya. Keduanya berlarian ke sana kemari sampai kelelahan.

"Aku tak bisa bayangkan bagaimana ekspresi Romo andaikan kau bilang begitu," ujar Jim seraya duduk bersender di dinding.

Hannan tertawa. Ia duduk di samping Jim. Pandangan mereka tertuju pada lukisan di hadapan keduanya yang berukuran lumayan besar.

"Apa itu lukisan utama yang akan kau pamerkan nanti?" Tanya Hannan.

"Betul, cantik kan?!? Aku hanya akan menikah dengan gadis yang mirip dengan lukisanku itu," ucap Jim. 

"Potre Koneng," ucap Hannan membaca nama yang tertera untuk lukisan tersebut. "Gila, bukannya Potre Koneng itu julukan untuk Raden Ayu Saini putra Raja Saccadiningrat, raja kita dulu?" Kejut Hannan menyadari nama yang barusan ia baca.

"Ya. Aku selalu bermimpi bertemu gadis cantik nan Ayu. Kulitnya kuning, sikap dan perangainya lembut. Keanggunannya membuat banyak lelaki terpesona, tapi hatinya sulit untuk ditaklukkan. Seperti Potre Koneng, Ia merupakan sosok impianku," ujar Jim.

Hannan menghela napas, "menurutku kau terlalu terobsesi pada sosok Potre Koneng. Mana ada cewek jaman sekarang yang lembut nan anggun. Adanya yang matre," cibir Hannan.

Bletak.

Kuas Jim tepat sasaran mengenai kepala Hannan. "Kalau kesal ditolak cewek yang diincar jangan melampiaskannya pada semua wanita. Aku masih yakin, cewek baik masih banyak di dunia ini."

Hannan hanya tersenyum seraya mengusap kepalanya yang sakit.

"Ketimbang kau yang tak pernah pacaran. Aku masih mending," Hannan menjulurkan lidahnya.

Jim melotot. Hampir saja ia mendaratkan kuasnya kembali di kepala Hannan, namun urung. "Gue ini seorang pangeran. Beda lah kualitasnya dengan rakyat jelata. Pangeran hanya menyentuh yang sudah sah menjadi miliknya." 

Lihat selengkapnya