Memudar
***
Aluna mengaduk-aduk nasi goreng di depannya yang ia pesan tadi. Mata bulatnya menatap kosong piring itu. Ia baru memakannya empat sendok penuh, dan selera makannya kembali hilang.
Pikiran gadis berwajah cukup manis itu kembali tertuju pada ucapan dan reaksi Mamanya beberapa hari yang lalu tentang turunnya nilai rapornya. Antara bingung dan tak biasanya. Mamanya biasanya akan memerahinya jika satu nilainya saja anjlok. Tapi kali ini beda. Mamanya bahkan seperti sudah tahu kalau ia tidak mendapat juara umum lagi di sekolahnya, dan merasa Mamanya tak peduli dengan nilai nilainya lagi. Dan ia sendiri merasa dirinya yang sudah mengecewakan mamanya.
Aluna tak sadar kalau ketiga temannya sedang menatapnya dengan tatapan aneh. Kembali lagi.
"Lun, bingung lagi?" suara Asyilla spontan membuat Luna menoleh. Menatap gadis berkulit putih di sampingnya itu dengan tatapan aneh. Ia tertangkap lagi sedang melamun.
"Oh, apa?" jawabnya bingung melihat ketiga temannya bergantian. Memasang muka polos tanpa dosa.
"Yah, bener, galau lagi." Tiva ikut berkomentar sambil menyeruput jus jeruk pesanannya, lalu meletakkan kembali di atas meja.
"Lo kenapa? Kepikiran nilai lagi." Selly mencoba menebak isi kepala gadis berambut sebahu yang dikucir tinggi itu. Luna tak menjawab, ia kembali mengaduk- aduk nasi itu.
"Iya nih, pasti kepikiran nilai lagi nih. yakin deh, kemaren itu Fandu pas lagi beruntung aja." Silla mencoba meyakini sahabatnya yang mulai terlihat aneh itu. Biasanya ia ikut kehebohan teman-temannya itu. Sekarang kehebohan itu perlahan menghilang. Dan hanya raut muka suram dari seorang Aluna, gadis yang biasa dipanggil Luna itu tampak sangat tidak bersemangat beberapa hari ini.
"Iya Lun, percaya deh sama kita, pesona Aluna belum memudar, ia hanya sedang menepi dan akan berkembang jika pada saatnya." Tiva menimpali dengan gaya aneh membuat Luna, Selly dan Silla terbahak. Raut muka Luna kembali ceria. Ia cukup terhibur dengan ucapan tidak jelas Tiva kali ini.
"Apaan sih, lebay amat lo. Kumat lagi? Berkembang, menepi, apaan coba?"Selly menatap Tiva dengan tatapan aneh, lalu detik berikut ia kembali tertawa. Menyadari keanehan Tiva yang makin hari makin meningkat itu.
"Udah nggak usah dibahas, gue enggak kepikiran itu kok." Luna tersenyum mencoba meyakini ketiga temannya kalau ia tidak kepikiran akan hal itu. Berbohong, padahal justru karena hal itu ia sampai tidak bisa tidur sejak seminggu yang lalu. Sejak nama Fandu terpanggil untuk mengisi posisi juara umum miliknya. Saat itu juga rasanya dunia milik Aluna terhenti. Ia seakan berada di titik terendah. Saat semua teman-temannya menatap ia dengan tatapan tak biasa. Seorang Aluna yang terkenal dengan kepintarannya hilang dalam sehari, diganti dengan Fandu. Cowok yang sama sekali tidak ia pikirkan akan menjadi rival beratnya. Toh, sejak SMP, Fandu bukan lawan yang berat. Fandu mendapat peringkat ketiga di kelasnya dan Luna peringkat pertama di kelasnya, selalu mendapat juara umum sejak Sekolah Dasar. Dan mendadak ketika penerimaan Rapor semester kemaren, tepatnya tiga minggu yang lalu. Aluna justru memperoleh nilai dibawahnya.
Hal yang sama sekali tidak ia duga. Ia terus berpikir, apa semangat belajarnya yang berkurang, dan atau ia salah dalam menjawab soal-soal kemaren, Luna masih terus pikirkan hingga detik ini.
Memang akhir-akhir ini Fandu mendapat peringkat kedua di kelasnya. Tanpa disangka-sangka oleh semua orang di penjuru sekolah. Fandu tak hanya menggeser Tika, teman satu kelasnya yang selalu memegang peringkat pertama di kelasnya. Tapi juga dirinya. Hal itu cukup membuat ia berpikir sepuluh kali lebih banyak dari biasanya. Apa yang salah di dirinya, atau justru Fandu yang semakin giat belajar. Ia masih tidak tahu.
"Aluna? bingung lagi. Habisin makan lo cepat." Selly menepuk bahu Luna. Luna mengangguk sedikit. Tersadar kembali.
Dari arah pintu kantin. Fandu muncul bersama Kevin dan Tio.
"Eh, Fan, sini." Selly melambaikan tangannya pada cowok itu. Cowok berpostur tubuh tinggi, dengan raut muka cukup ganteng itu menoleh, menyadari kumpulan teman-temannya sedang di sana. Ia tersenyum, dan mengangguk sedikit. Berjalan ke arah keempatnya. Sedangkan Tio dan Kevin sudah berpencar memesan makanan mereka.
"Nah, Fand. Traktir dong, lo ngilang aja setelah dapat juara umum. Nggak asyik ih, lo." Tiva berkomentar dengan suara lantang saat Fandu mengambil duduk di depan keempatnya. Fandu Menatap Tiva bingung. Luna mengernyitkan alisnya. Selly spontan membungkam mulut Tiva dengan tangan kanannya. Sedangkan Silla menatap tajam gadis yang terkenal asal ngomong itu. Keanehan Tiva muncul disaat yang tidak tepat. Seperti sekarang.
"Oh, Iya, Fan, gimana lancar acaranya tadi malam." Selly mencoba mengalihkan percakapan sambil melirik Luna yang hanya diam. Mengerti akan keanehan Tiva dan ia juga sudah sangat paham akan sahabatnya satu ini.
"Oh, iya. lancar." Fandu mengerti kode Selly dan juga paham siapa Tiva, sambil tersenyum, lebih tepatnya tidak mengerti. Ia juga tidak enak hati dengan keadaan ini. Dan ia juga tidak menyangka ini akan terjadi. Luna sahabat dekatnya. Ia bukan merasa bahagia, tapi justru merasa terbebani, ia juga belum sempat berbicara pada gadis itu, setidaknya ia meminta maaf. Tapi untuk apa?. Fandu juga bingung sebenarnya.
"Fan. Pesanan lo." Tio muncul membawa dua piring berisi nasi goreng versi jumbo di kedua tangannya diikuti Kevin membawa piring berisi bakwan, tahu isi, berserta sambal cabainya dan mengambil duduk di bangku kosong di samping Fandu.
"Oh, iya Lun. Tadi gue lihat mama lo di depan." Ucap Kevin sambil memakan bakwan yang di bawanya. Luna menoleh bingung. Mamanya sama sekali tidak mengatakan kalau ia akan ke sekolahnya, dan dalam rangka apa Mamanya muncul di sinu. Tak biasanya. Tidak ada rapat wali murid dan dia juga tidak terlibat masalah apapun.
"Mama gue?" ulang Luna sedikit tak percaya. Kevin mengangguk sedikit.
"Yah, tadi mama lo. Arahnya ke ruangan Kepsek." Tambah Tio dengan mulut sesak nasi, meyakini bahwa yang ia lihat itu juga bener mamanya Luna.
"Ya udah, cek gih." Usul Silla ikutan serius. Luna mengangguk, lalu berdiri.
"Nanti gue aja yang bayar Lun." Selly menawarkan diri untuk membayar pesanan gadis itu.
"Oke, makasih Sell, gue cabut." Ucap Luna serius beranjak pergi meninggalkan teman- temannya.