***
Permintaan Maaf
***
Sejak masuk hingga pelajaran berakhir Fandu sama sekali tidak bisa konsentrasi, ia hanya mencoret-coret belakang bukunya sejak tadi. Hal itu membuat Kevin menatap sahabatnya binggung, tak biasanya Fandu seperti ini. Ia masih kepikiran akan Luna dan Mamanya sejak tadi. Ia tidak menyangka juara yang diperolehnya membuat ia dan Luna bermasalah seperti ini. Ini bukan keinginannya, hal ini cukup membuat isi hatinya berantakan, bagaimana bisa seperti ini. Fandu tidak habis pikir, dan konsentrasinya bener-bener pecah. Bahkan bel pulang pun tak ia hiraukan.
"Ah, sialan." Fandu melempar pulpennya ke atas meja sontak saja membuat Kevin yang sedang membereskan alat tulisnya menoleh, ia tentu saja kaget.
"Astaga. Lo kenapa? Dari tadi bikin gue risih aja," kata Kevin jengkel. Fandu mengacak rambutnya lalu berdiri, meraih tasnya dan memasukan buku yang tadi ia coret dengan kasar. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Kevin.
"Eh Fan. Bentar. Anterin gue pulang." Kevin berlari kecil mengejar Fandu yang kini sudah di pintu kelas dan keluar dari sana. Memasang muka tanpa ekspresi.
"Lo kenapa jadi badmood begini? Mama Luna ngomong apa sama Lo? Jangan bilang lo badmood karena Mamanya Luna." Tanya Kevin kepo, Fandu menoleh serius. Ia benci tebakan itu.
" Jangan sok tahu lo." Katanya jutek.
"Jadi karena siapa? Cewek yang sering ngejar lo, Oliv, Lika, atau Jessica." Tebaknya lain. Fandu kembali menoleh aneh. Sahabatnya ini semakin ngaur ngidul saja. Fandu benar-benar tidak suka dibuatnya.
"Astaga, lo kenapa sih? Jangan sok tahu dan diam aja deh." Kata Fandu makin kesal, mempercepat langkahnya menuju parkiran mobilnya. Kevin malah tersenyum samar. Ia tahu Fandu kalau ada masalah akan lebih banyak diam dan ia akan senang menggodanya, membuat Fandu jengkel adalah hobinya.
Fandu membuka pintu mobilnya, melepaskan tasnya lalu melemparnya ke bangku belakang mobilnya. Lalu masuk ke dalam mobil itu, diikuti Kevin dengan tatapan heran. Sudah ia tebak masalah Fandu sekarang cukup besar. Buktinya Fandu terlihat cukup berantakan.
"Gue anterin lo cukup depan gang aja yah. Gua ada urusan." Katanya pada Kevin yang kini mengangguk lemah.
"Baiklah Fandu Wijaya." Katanya polos, melihat Fandu mulai menjalankan mobilnya keluar dari parkiran menuju gerbang sekolah. Matanya tertuju pada Luna yang kini berjalan sambil menundukkan kepalanya. Kembali Fandu mengingat kejadian beberapa jam lalu. Sialnya ia semakin kepikiran.
"Lun, duluan yah." Kevin malah melambaikan tangannya pada Luna yang kini terpaksa menoleh, lalu mengangguk tersenyum. Sedangkan Fandu memilih diam. Ia bingung bagaimana caranya untuk kembali seperti biasa pada Luna.
"Apa cuma gue merasa kalau Luna yang paling cantik di sekolah ini. Udah cantik, pinter pula, kalem pula, nggak neko-neko, idaman gua banget. Kalau dia mau jadi cewek gua, gue puasa seminggu dah." Katanya sontak membuat Fandu menoleh serius, ia cukup tidak suka mendengarnya. Sedangkan Kevin malah tersenyum tidak jelas. Lalu detik berikutnya Fandu menggeleng kepala heran.
"Gila Lo." Katanya jutek buat Kevin menoleh tersenyum.
***
Aluna berdiri mematung di depan rumahnya. Terlihat mobil BMW milik mamanya terparkir di sana. Ia ragu untuk masuk. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Marah pada Mamanya, atau diam saja.
Aluna menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap lurus ke depannya. Menyandarkan tubuhnya di tembok pagar rumahnya. Ia tidak tahu harus bagaimana.
" Luna, kok nggak masuk?" suara Yuli pengurus rumahnya membuat Aluna menoleh bingung, melihat wanita berumur tiga puluh lima tahun itu menatapnya serius. Tak biasanya Luna seperti itu.
"Oh iya, ini mau masuk Mbak." Ucapnya cepat, mengambil langkah untuk segera pergi dan masuk ke dalam rumah.
Melihat Mamanya duduk tak jauh dari pintu masuk ikut menatapnya masuk. Ia tampak sedang menelpon seseorang, dan langsung mematikan sambungan teleponnya ketika Luna berjalan di depannya untuk menuju kamarnya.
"Nanti aku telepon lagi Mas." Ucapnya serius, menurunkan ponsel itu dan meletakkan di atas meja.
"Bentar Lun, Mama mau ngomong," ucapnya membuat langkah kaki Luna terhenti. Ia menatap Mamanya serius.
"Apa lagi Ma, mau bahas soal Mama yang bersikap memalukan itu. Aku enggak habis pikir Ma. Mama kenapa, sih?" Luna menghentikan ucapannya. Berusaha sadar sepenuhnya.
"Bukan Fandu yang salah. Aku yang salah. Nilai aku yang udah menurun Ma. Anak mama ini. Bukan Fandu yang rebut." Jelasnya dengan emosi memuncak, melihat Mamanya yang kini menatapnya marah. Luna tidak bisa menahannya. Ia benar kesal.
"Enggak, kamu enggak salah. Anak itu yang salah." Balas Mamanya tak mau kalah. Luna tertegun, ia menatap Mamanya penuh tanda tanya. Luna merasa Mamanya semakin aneh.
"Aku enggak ngerti sama Mama." Aluna mengambil langkah pergi, masuk ke dalam kamarnya, menutup pintunya kasar. Ia tidak ingin berdebat lagi, dan berakhir jadi anak durhaka.
"Luna! Mama belum usai ngomong, jadi anak durhaka aja. Pergi aja ninggalin Mama. Sama kayak Papa kamu." Teriak Mamanya. Luna mulai menutup telinganya, bersandar di pintu kamarnya dan merosot duduk. Kalau sudah bahas soal Papa, ia sangat membencinya. Benci akan hal itu, ia benci Papanya dan benci semua tentang Papanya.