Sudah satu jam lebih pelajaran usai. Dan satu jam pula hujan turun deras. Luna masih diam di bangkunya. Tak berkutik. Meniduri tasnya. Musik kencang mengalun di telinganya. Hanya tinggal ia sendiri di dalam kelas yang sudah sepi itu. Beberapa orang sudah memilih pulang karena kebanyakan dari mereka membawa mobil jadi tidak ada kendala jika hujan turun sederas apapun. Di rumah juga tidak ada Mamanya. Yuli juga sedang pulang bertemu orang tuanya. Jadi sudah pasti tidak akan ada yang menjemputnya kali ini jika hujan turun. Tadi Luna sudah bisa menebak kalau hujan akan turun. Jadi dia memutuskan untuk tidak membawa motor.
"Kak, kenapa sih kita nggak barengan aja perginya. Aku capek gini terus." Air mata Luna menetes deras. Ia menyekanya kasar.
"Aku mau pergi juga. Mama sama Papa juga enggak ada buat aku. Aku pengen kita kayak dulu lagi. Tanpa trauma nyebelin ini." Gerutu Luna kesal.
"Kenapa sih. Hidup aku selalu gini. Aku benci." Luna menyesal tadi menolak ajakan Fandu untuk mengantarnya pulang dan malah berbohong sudah memesan taxi. Padahal tidak. Tidak ada gunanya menyesal. Luna menyeka air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi. Ia memilih untuk mencoba melupakannya. Berharap hujan segera berhenti dan dia bisa segera pulang.
"Hey?!" satu tepukan lembut di kepalanya sontak membuat Luna kaget. Ia mengangkat kepalanya. Melihat Fandu mengambil duduk di sampingnya tersenyum sedikit. Luna melepas sebelah tali earphonenya.
"Lo kok di sini?" tanyanya heran. Ia ingat Fandu tadi memang sudah pulang.
"Iya bener. Tadi gue udah nyampe rumah. Udah makan juga. Baru ingat hujan turun dan ingat lo. Gue cabut lagi ke sini." Balasnya tersenyum. Berbohong memang, Fandu hanya sampai di depan gerbang dan tak terlihat Luna keluar dan ia kembali lagi.
"Lo enggak apa? Habis nangis?" tanya Fandu menatap Luna serius. Luna hanya diam. Dia memang tadi menangis.
"Gue punya ide buat ilangin trauma lo. Kali aja bisa bantu lo. Biar nggak menyedihkan kek gini lagi, walaupun sedikit gila." Tambah Fandu datar. Ia menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.
"Jujur sih Lun. Gue selalu sedih ngelihat lo kek gini. Terus sekarang musim hujan, lo jadi nggak konsentrasi belajar. Ntar lo malah kalah lagi sama gue." Luna masih diam. Ia kebahabisan kata-kata. Ia tidak tahu maksud Fandu apa.
"Hujannya udah nggak sederas tadi. Gue antar lo pulang yah." Fandu berdiri lalu menarik tangan Luna. Dan mengenggamnya erat.
"Satpamnya bilang mau kunci ruangan ini tadi ke gue." Tambahnya. Dan mau tidak mau Luna akhirnya ikut beranjak dari tempat duduknya. Mengikuti Fandu, masih diam.
"Asal lo tahu sih? Gue suka hujan. Suka banget malah. Hujan nggak selalu buruk di mata semua orang."
"Gue cukup kaget pas cewek yang gue suka benci sama hujan. Sempat dulu gue malah pengen banget ngajakin lo hujan-hujan. Lucu yah. Tapi sayangnya waktu itu lo malah dekat sama Irwan. Gue cukup kaget dan sempat nutup diri juga dari orang-orang. Kalau kenyataannya gue sama lo itu sama. Lo suka sama Irwan. Gue malah suka sama lo. Sempat gue bahagia banget pas dengar lo jauh dari Irwan. Gue enggak tahu kenapa sih. Selalu aja gue senang banget lihat lo senyum. Selalu nyaman sama lo. Gue juga heran sama diri gue sendiri kenapa bisa gitu. Aneh yah. Ia banget malah. Apalagi sukanya sama cewek aneh kayak lo itu." Fandu tersenyum sedikit atas ucapannya itu. Ia menghentikan langkahnya melihat Luna yang kini diam, tambah tak mengerti. Ia ikut menghentikan langkahnya.
"Kakak gue selalu bilang ke gue. Gue lebih ganteng dari dia. Dan bisa dapatin cewek mana pun yang gue suka. Dan ucapan dia berlaku sama semua cewek dan gue udah nyoba sampai gue sendiri pusing. Tapi malah enggak berlaku sama lo,"
"Sama lo, yang pada kenyataannya masih suka sama cowok lain." Tambahnya serius. Fandu kembali tersenyum. Ia menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Kembali.
"Semoga aja kejujuran gue kali ini enggak bikin lo benar-benar jauh dari gue." Ucapnya sambil memukul pelan kepala Luna. Luna masih diam. Ia bingung untuk menjawab apa. Ucapan Fandu cukup membuat ia merasa aneh. Sangat aneh. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Untuk kesekian kalinya.
"Dan hujannya udah berhenti. Kita pulang." Katanya tersenyum. Menarik Luna untuk segera masuk ke dalan mobilnya dan segera membawa Luna pulang. Diam. Keduanya memilih diam hingga Luna sampai ke depan rumahnya. Luna turun. Fandu ikut turun. Tak ada yang perlu di bicarakan lagi, Fandu sudah mengatakan semuanya. Ia menjadi sedikit lega.
"Makasih Fan. Enggak mampir dulu." Ucapnya serius. Fandu menggeleng sedikit.
"Enggak takut Mama lo. Nanti dia bilang nggak usah dekat anak gue. Lo mau nyogok dia. Biar nggak juara lagi." Fandu menekankan setiap ucapannya. Lalu tersenyum.
"Hubungan kita nggak baik. Tapi akan gue perbaiki." Sontak Luna tersenyum. Ia mengangguk cepat. Semoga saja Fandu bisa berbaikkan dengan Mamanya.
"Enggak gitu juga kali Fan. Kadang-kadang Mama juga baik kok. Ya udah gue masuk. Lo hati-hati." Balasnya tersenyum. Fandu mengangguk sedikit.
"Oh iya bentar Lun." cegahnya sontak membuat Luna menoleh. Fandu mendekat.
"Gue boleh peluk lo enggak." Ucapnya sontak membuat alis Luna terangkat. Fandu mendekat dan tanpa tunggu jawaban atas ucapanny,a ia sudah memeluk Luna erat. Luna mengerjap dua kali. Ia benar-benar bingung, tak percaya dengan tindakan Fandu yang serba dadakan seperti ini. Ucapannya dan tindakkannya. Membuat hatinya bergetar tak karuan. Kenapa harus Fandu yang berkata seperti itu padanya. Bagaimana dengan Selly?
"Jangan jauhin gue yah karena ucapan gue tadi. Anggap aja angin lewat. Yang penting gue udah jujur." Fandu tersenyum. Luna mendadak makin kaku. Ia bingung untuk bersikap apa setelah pelukan ini lepas. Ia hanya heran. Ini cukup membuat ia merasa nyaman. Ia tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Fandu masih diam. Luna ikut diam.
"Terus minggu besok lo mau ikut gue enggak?" Ucap Fandu serius. Melepaskan pelukannya. Menatap Luna serius.
"Kemana?" tanya Luna heran. Ia bersyukur Fandu bisa mengendalikan situasi yang cukup membuat aneh ini dan kembali seperti semula.
"Kemana aja. Jam tujuh gue jemput." Balasnya serius.
"Cepat banget Fan. Gue masih tidur kali," balasnya jutek.
"Ya udah jam enam." Balasnya sontak membuat Luna terkekeh.
"Fandu gila... Gimana, sih? Itu aku masih di alam mimpi."