Yes or No

Nuna Iu
Chapter #16

Dia pergi


Lagi dan lagi hujan turun deras. Luna berdiri mematung di depan pintu kelas yang sudah sepi. Waktunya pulang Luna gagal total. Ia menoleh ke jam yang melingkar di tangannya. Menunjukan pukul setengah enam.

"Pulang, yuk."Suara Fandu sontak membuat Luna menoleh, melihat cowok itu berjalan ke arahnya. Lagi, ia berhadapan dengan cowok yang cukup membuat ia merasa aneh sejak kemarin itu.

"Lo nggak lihat hujan. Jangan ngejek gue kenapa?" ucapnya serius, sedikit kesal dengan ajakan Fandu baru saja. Fandu tersenyum samar. Ia menggeleng. Bukan itu maksudnya.

"Enggak. Gue serius," balasnya menunjukkan dua kantong plastik putih. Dan meraih tas Luna di pungung Luna tanpa menanyakan pemiliknya lebih dulu. Memasukan tas Luna ke dalam kantong itu dan menjinjingnya.

"Fan. Buat apaan?" tanyanya Luna heran. Tak mengerti dengan aksi cowok aneh yang di kenalnya itu.

"Buat ujan-ujanan lah bareng lo." Jawabnya tersenyum, menarik tangan Luna dan mengenggamnya erat. Luna menatap cowok ini bingung. Tas Fandu juga sudah di bungkus plastik.

"Fan? Lo serius?" tanya Luna terbata. Fandu mengangguk tanpa ragu.

"Lo nggak mau, kan? Ke psikiater lagi dipaksa Mama lo. Alhasil lo ketemu Papa lo. Jadi gue coba paksa lo buat enggak benci lagi sama hujan." Balasnya tersenyum menarik paksa tangan Luna menembus hujan yang turun cukup deras. Luna kehabisan kata-kata. Kakinya gementaran. Cowok gila dan cukup aneh ini memaksa untuk menembus hujan sederas ini. Memang sudah gila bukan?.

"Gue cuma mau buktiin sama lo kalau hujan itu nggak selalu buruk Lun. Hujan itu damai. Dan gue suka banget tahu." Ucapnya serius masih menarik Luna yang kini kehabisan energi. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Ia tak percaya. Fandu mengabaikan dirinya yang kini semakin gugup berjalan, menembus hujan. Fandu menghentikan langkahnya. Menghadap ke arah Luna yang kini menunduk. Tubuhnya mendadak kaku. Semua ingatan tentang masa lalu kelamnya muncul kembali. Luna menginggit bibirnya kuat. Air matanya sudah menetes. Ia melepaskan pegangan Fandu padanya. Tapi Fandu lebih kuat darinya. Tentu saja ia gagal.

"Fan, Pliss lepasin." Ucap Luna dengan nada bergetar. Fandu menggeleng serius. Menahan tangan Luna kuat. Ia tidak ingin Luna pergi.

"Habis ini lo boleh marah kok sama gue, lo boleh benci sama gue," Luna masih berusaha melepaskan pegangan Fandu padanya.

"Tapi... Gue cuma bilang hujan itu enggak buruk Lun, hujan bikin gue tenang. Pas gue mau tidur, mau teriak, mau nangis. Gue selalu pengen hujan turun. Biar enggak ada yang denggarin gue. Gue tu sama kaya lo Luna. Coba deh cintai diri lo sendiri. Selamanya, hal yang lo benci nggak bisa lo benci. Ada saatnya lo melawan semuanya. Terima semua. Hujan nggak bakal hilang Lun. Dia abadi. Yang ada kita yang bakal hilang. Masa lo kalah sama hujan aja?" jelas Fandu serius membuat Luna terdiam. Fandu benar. Selama ini, ia terlalu lemah untuk menghadapi semuanya. Tapi ia tetap saja benci dengan ide Fandu yang cukup dadakan seperti ini. Setidaknya, Fandu bicarakan dulu hal ini padanya. Dasar cowok gila memang.

"Gimana? Gue yakin habis ini lo demam." Balas Fandu terkekeh. Mengabaikan semua ekspresi tak terbaca di wajah Luna.

"Ide lo nggak lucu Fan." Balasnya dongkol memukul bahu Fandu kuat. Ia benar-benar kesal. Fandu seenak jidatnya saja membuat ia kehujanan. Tapi. Semua ucapan Fandu benar. Hujan tidak selalu buruk. Luna terdiam. Melihat ke arah Fandu serius. Air hujan sudah membasahi tubuhnya dan Fandu. Cowok itu tersenyum samar. Ia menarik Luna dan memeluknya erat. Membuat Luna menangis sejadi-jadinya. Melepaskan semua beban yang selalu menghantuinya selama ini. Fandu menepuk bahu Luna pelan. Ia tahu tindakannya begitu bodoh. Tapi ia tidak ingin Luna larut terlalu lama dalam trauma ini. Bagaimana jika orang-orang sekelilingnya menghilang. Dan Luna akan sendiri.

"Keluarin semua unek-unek lo. Dan janji lo nggak bakal benci hujan lagi. Kalau lo benci hujan lagi. Itu tandanya lo juga benci sama gue. Sama Papa lo. Terima aja orang-orang di sekeliling lo, mereka sayang sama lo Lun, mereka cinta sama lo,"

"Dan gue juga sayang sama lo Lun." Ucapnya sontak membuat Luna kembali merasa aneh. Ia melepaskan pelukan Fandu padanya. Menatap Fandu aneh.

"Gue masih sama, nggak berharap lo mau sama gue tapi gue jujur aja dan,"

"Udah itu aja sih. Yuk balik. Nanti lo benaran demam lagi." Balasnya menarik Luna ke arah motornya. Tanpa peduli Luna setuju apa tidak?

"Tadi gue sengaja bawa motor. Biar nyampe rumah juga hujan-hujan. Biar seru." Jelasnya masih tersenyum. Luna makin heran. Kenapa ia bisa berteman dengan cowok gila seperti Fandu. Fandu membawa Luna naik ke atas motornya dan mulai menjalankan motornya hingga sampai di depan rumahnya. Luna menyuruhnya berhenti di sana. Karena dia tahu Mamanya sedang di rumah. Dan akan kacau jika melihat Fandu membawanya, hujan-hujan pula. Luna turun dan diikuti Fandu.

"Tadi gue pinjam tetangga motornya. Sehari seratus ribu. Lucu yah. Cuma buat ngajakin lo." Ucapnya membuat Luna tersenyum. Luna meraba sakunya dan mengeluarkan satu lembar uang seratus, menyodorkan ke arah Fandu. Sudah basah, tentu saja.

"Uangnya gue ganti." Balasnya. Fandu tersenyum dan mengambilnya. Memasukan ke dalam sakunya.

"Oke. Makasih."

"Sekarang lo udah bahagia, kan?" tanya Luna kesal.

"Udah. Tapi masih belum," balasnya serius. Turun dari motornya. Alis Luna terangkat tak mengerti. Fandu menunduk. Ia menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.

"Kenapa Fan. Adalagi emang yang belum lo lakuin?" tanya Luna serius. Fandu mengangguk.

"Mau ngajakin lo nikah." Sahutnya sontak membuat alis Luna terangkat lalu detik berikutnya Luna terkekeh.

"Fandu gila. Waras nggak sih? Udah mulai sakit?" Luna mendekat meraba kening Fandu yang kini gantian tersenyum.

"Waras dong Lun. Sehat mah gue." Balasnya mantap.

"Syukurlah. Sekarang lo pulang gih. Hati-hati sampai jumpa besok. Awas jangan sakit." kata Luna tersenyum. Fandu diam. Ia menatap Luna serius.

"Gue boleh cium lo nggak." Ucapnya mendekat, Luna sontak mundur, ia tentu kaget, menatap Fandu heran. Tak peduli. Fandu makin mendekat. Satu cium mendarat di pipi Luna cukup singkat, dan kembali membuat Luna kehabisan kata-kata.

"Makasih. Besok gue mau pergi. Jaga diri lo yah." Ucapnya membuat kedua alis Luna terangkat tak mengerti.

"Papa nyuruh gue sekolah di Amerika dan," Fandu tersenyum samar.

"Yah gitu. Hari ini terakhir gue sekolah. Gue enggak bisa nolak. Dan lo bisa sering-sering ke rumah yah. Tengokin Mama gue." Tambahnya serius.

"Tapi Fan. Lo enggak becanda, kan?"

"Plisss lo jangan aneh deh?" protes Luna serius. Fandu mengangguk sedikit.

"Gue serius Luna. Sampai ketemu 3 atau 4 tahun lagi. Makasih udah jadi orang spesial dalam hidup gue." Jelasnya tersenyum.

Lihat selengkapnya