Luna berdiri mematung di samping Yuli dan papanya sambil memegang erat boneka pemberian Fandu padanya. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Rumah yang cukup tidak asing di matanya. Rumah Lika. Luna tidak habis pikir. Alli yang selama ini papanya bilang ternyata Alika. Bagaimana bisa sekarang ia berada di rumah orang itu. Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Raut muka dan senyum bahagia ke arah Luna. Luna tahu orang itu istri papanya.
"Eh Aluna udah nyampe. Ayo masuk sayang." Ucapnya ramah sambil menarik tangan Luna masih tersenyum. Luna menatapnya tak berkedip. Mau tak mau ia harus menyalimi wanita itu. Ia tak mau buruk di mata semua orang. Walau hatinya memberontak dan marah. Bisa jadi ia akan mengatakan kalau orang itu sudah merebut sebagian kebahagiaan hidupnya.
"Malam Yuli. Ayo masuk. Jangan bengong aja." Bunda Alika beralih pandang pada Yuli yang ikutan bingung melihatnya.
"Ayo Yah. Ajak keduanya." Bunda Alika meraih tangan Luna dan menariknya masuk.
"Kamar Luna di atas. Dekat kamar Alika yah. Trus Yuli dilantai bawah. Bik Antar Yuli ke kamarnya." Ucapnya ke arah pengurus rumahnya yang kebetulan juga berada di sana.
"Ayo Bunda antar." Tawarnya sambil menarik koper Luna dan membawanya menuju ke lantai atas. Mau tak mau Luna terpaksa ikut. Berjalan lurus tanpa ekspresi. Ia sedang memikirkan untuk memanggil wanita yang seusia ibunya itu dengan sebutan apa. Tante? Ia rasa lebih cocok. Tapi tidak mungkin, bisa saja papanya akan memarahinya. Lalu? Mama? Luna rasanya sungguh tak sanggup memanggilnya dengan sebutan itu. Bagaimana bisa ia memanggil wanita ini dengan sebutan itu, wanita yang sudah merebut kebahagiaan dirinya ini. Ia sungguh membencinya.
"Lun? Kok bingung. Ini kamar kamu." Bunda Alika membuka pintu kamar itu dan menyuruh Luna masuk.
"Ayo masuk. Mandi dulu. Nanti biar Bunda bawain makanan ke sini." Ucapnya tersenyum. Masuk lebih dulu dari Luna yang kini mengekor di belakangnya. Ikut Masuk ke dalam kamar berukuran sedikit lebih besar dari kamarnya itu. Bernuansa pink. Dan ada beberapa boneka tergeletak di atas tempat tidur berukuran king size itu.
"Gimana? Luna suka?" tanyanya tersenyum.
Luna hanya mengangguk lemah. Masih tanpa ekspresi.
"Ruangan itu khusus buat belajar Luna. Bunda rancang khusus. Kata papa Luna suka dan pinter belajar." Ucapnya tersenyum menunjuk ke salah satu pintu yang dicat sama. Berwarna pink juga.
"Ya sudah. Mandi dulu gih. Bunda mau siapin makan dulu." Ucapnya tersenyum.
"Lika juga entah ke mana. Padahal tadi udah bunda suruh cepat pulang." Bunda Lika menyerocos tak jelas sambil keluar dari ruangan itu. Luna menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Ia menghempaskan bokongnya di atas tempat tidur. Memegang kepalanya yang terasa cukup berat. Takdirnya memang lucu. Ia harus tinggal satu rumah dengan orang-orang yang dibencinya. Lika yang merebut Irwan dan bundanya yang merebut papanya. Luna tersenyum sinis. Lalu menggeleng heran. Kenapa bisa. Takdir mempermainkan dirinya seperti ini.
Luna kembali menoleh kiri kanannya serius. Kamar itu cukup nyaman dan ia rasa cukup bisa menenangkan dirinya. Matanya tertuju pada jendela kamarnya. Luna berdiri, mendekat pada jendela itu dan membukanya. Angin malam menerpa wajahnya. Luna sontak memejamkan matanya dan menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Cukup menenangkan suasana hatinya saat ini. Syukurlah.