Yes or No

Nuna Iu
Chapter #32

Merasa Asing



Bersyukur Papa Luna baik-baik saja dan tak ada hal yang perlu di khawatirkan dan ia juga sudah kembali ke rumah. Meski masih harus mengunakan infus dan disarankan untuk istirahat dulu. Luna benar-benar lega akan hal itu. Sekarang papanya sedang istirahat di kamarnya.


Bunda mengambil libur kerja beberapa hari dan Lika juga tampaknya juga tidak ingin kemana-mana. Bahkan ponselnya sepertinya diletakkan di kamarnya dan tak dimainkan sejak tadi pagi hingga sore ini. Lika malah memilih tetap berada di kamar papanya. Luna yang melihat hal itu juga jadi ikutan berada di sana. Tapi posisinya berbeda. Bahkan papanya sama sekali tidak menanyakan kabarnya, padahal sudah hampir dua minggu papanya tidak di rumah. Ia tahu papanya pasti marah dengan mengeluarkan mamanya dari rumah sakit, tapi setidaknya Luna bisa protes kalau itu tidak benar. Mamanya baik-baik saja sekarang. Luna memilih duduk di sofa di kamar papanya dibandingkan Lika yang kini tampak sedang memijat kaki papanya dan sesekali bercanda dan tertawa bersama.


Ada rasa cemburu menghampiri Luna tapi segera ia tepis, hal itu sudah tidak akan terulang lagi di hidupnya. Andai saja, ah, Luna sudah tidak ingin berandai dengan hidupnya sekarang, realita jauh lebih menyakitkan. Lamunan Luna terhenti ketika Bundanya masuk membawa buah yang dipotong dalam piring berukuran sedang dan segelas susu.


"Yah, kata dokter kan harus banyak makan buah dan susu. Ayo kita makan buah. Luna mendekat sini sayang." Ucap Bundanya pada Luna yang kini mengangguk sedikit, ia ternyata masih disadari kehadirannya oleh sang ibu. Tapi Luna tak segera ke sana, ia masih ingin berada di sana, menjadi orang asing di antara keluarga ini. Kini Lika meraih satu potong buah dan menyuapkan pada Papanya. Pemandangan yang kini tampak aneh di mata Luna, atau hanya saja ia tak pernah tahu dulu ini sering terjadi.


"Yah, buka mulutnya." Lika tampak sedang menikmati kebersamaannya. Dan Luna sedang mengamatinya dalam diam, ditambah lagi bundanya ikutan duduk di atas tempat tidur, lalu ikutan bergabung sambil bercerita soal kejadian lucu di rumah sakit tadi malam. Dan lagi-lagi Luna hanya diam mengamati, ia sama sekali tidak ingin bergabung, bahkan hati kecilnya berkata kalau dirinya bergabung akan merusak mood papanya yang tampak sekarang sedang baik. Luna tidak ingin hal itu terjadi. Tertawa bersama, rasa iri merebak dalam dirinya, dibalik Lika yang selalu keluyuran, Bunda dan papanya yang sibuk dengan pekerjaan ada kehangatan di keluarga ini. Dan Luna sudah lama tidak merasakan kehangatan itu. Dan lagi-lagi Luna terabaikan, ia bahkan makin merasa dirinya bukan lagi siapa-siapa di antara mereka, merasa dirinya kembali asing. Bahkan dengan mamanya sendiri ia juga merasa asing. Ia sudah tidak tahu di mana ia sekarang berada, hampa dan terasa kosong. Tanpa sadar bulir air mata menetes di pipinya, buru buru Luna menghapusnya cepat, ia tak ingin terlihat menyedihkan di antara mereka yang kini bahagia dan mengisi ruangan yang dulu sering kosong sekarang penuh dengan canda tawa. Tanpa sadar Luna berdiri, lalu keluar dari kamar itu menuju pintu utama, lalu bersandar ditembok sambil menahan tangisannya. Semakin ditahan rasanya dada Luna terasa semakin sakit. Alhasil Luna malah menutup mukanya dan air mata itupun menetes. Luna mencoba menenangkan dirinya, setidaknya dengan menangis ia sudah meluapkan emosinya. Kini Luna sudah sedikit tenang, ia mengambil duduk di teras rumah, melihat ke arah rumah Fandu yang kini tampak sepi.


Merasa dirinya makin asing, Luna berdiri lalu beranjak keluar dari gerbang rumahnya, berlari kecil ke rumah Fandu, dan berdiri mematung di depan pintu yang  kini tertutup rapat, ragu untuk mengetuk, takut jika akan menganggu Fandu.

Berpikir sejenak, dan Luna memilih untuk tidak jadi mengetuk pintu itu. Luna membalikkan tubuhnya dan hendak beranjak pergi tapi langkahnya terhenti ketika pintu itu terbuka dan satu panggilan namanya membuat Luna terpaksa menoleh.


"Aluna?" Luna menoleh serius, berusaha tersenyum mendapati Fandu sedang berdiri di sana dengan tatapan aneh padanya.


"Hey? Tadi gue mau main, cuma takut ganggu lo." Balas Luna saat dirinya sudah tertangkap basah di sana. Dan berusaha untuk tidak menatap mata Fandu, ia takut jika Fandu tahu ia baru saja habis menangis dan Fandu akan menanyakan banyak hal padanya. Dan jika membahas itu hanya akan membuatnya makin sedih dan terlihat menyedihkan. Tapi bukankah ia memang menyedihkan?


"Yah nggak lah Lun, cuma aja sekarang gue mau ke klub Lun. Lo bisa ikut main ke sana. Mau nggak?" tawarnya pada Luna yang kini mengangguk cepat. Ia tidak tahu untuk ke mana di saat seperti ini, bahkan untuk mikir saja rasanya Luna tidak mampu.


"Ya udah yok. Papa gimana?" tanyanya sambil berjalan ke arah Luna yang kini langsung membalikkan tubuhnya, sedikit menundukkan kepalanya, mengikuti Fandu ke garasi mobil rumah Fandu.


"Baik Fan, dan sekarang lagi istirahat di kamar."Balasnya berusaha tersenyum.


"Syukurlah." Balas Fandu dengan nada lega. Berjalan ke arah mobil mamanya dan membukanya, lalu beralih pandang pada Aluna yang kini tampak diam dan berpikir.

"Ayo masuk, kok malah bengong. Katanya mau ikut?" kata Fandu serius, melihat Luna kini masih menunduk berpikir, lalu detik berikutnya ia menatap Fandu serius.


Lihat selengkapnya