Luna melirik jam di tangannya, tinggal sepuluh menit lagi jam masuk, dan Lika sudah pergi duluan. Kalau sudah begitu ia harus naik taxi ke sekolah. Lagi, Lika meninggalkannya, bukan karena apa, Lika hanya ingin Luna membawa mobilnya ke sekolah, tapi itu sama sekali tidak jadi pikirannya, ia bahkan rela kehabisan uang saku demi tidak membawa mobil itu. Luna juga tidak tahu alasannya, hanya saja ia tidak suka. Kalau pulang sekolah Luna memilih naik angkot hingga depan komplek rumahnya lalu setelahnya ia memilih jalan kaki. Sebenarnya sopir bunda dan papanya selalu menawarkan antar jemput pada Luna, hanya saja Luna selalu menolaknya. Ia sama sekali tidak ingin merepotkan siapa saja.
Sebelum berangkat Luna hendak berpamitan pada bunda dan papanya, kebetulan kedua orang itu sedang di rumah tapi niat Luna terhenti ketika ia baru keluar dari kamarnya, dan kamar bundanya baru saja ditutup rapat, alhasil Luna mengurungkan niatnya dan beranjak keluar rumah dengan perasaan tidak enak. Entah kenapa ia kembali merasa asing, pulang tadi malam juga ia tidak ditanya sama sekali oleh bundanya dari mana, padahal Luna pulang pukul sepuluh malam, bahkan ketika pulang Luna dibukakan pintu oleh bundanya sendiri. Tidak mau ambil pusing lagi Luna berjalan keluar dari sana dengan langkah cepat, berharap taxi onlinenya sudah sampai depan rumah dan segera membawanya ke sekolah. Tapi bukan taxi online yang ia jumpai di depan rumah melainkan Fandu yang sekarang tersenyum ke arahnya.
"Gue anterin yuk." Ucapnya tersenyum samar. Luna berpikir sejenak.
"Taxi online lo udah gue suruh pergi. Jadi lo harus ikut gue dong." Tambahnya langsung dapat tatapan kesal dari Luna. Ia terpaksa menurut, melangkah masuk diikuti Fandu yang juga kembali masuk ke dalam mobilnya. Lalu mulai menyetir.
"Nanti siang gue harus berangkat lagi Lun, mungkin gue bakalan lama lagi untuk pulang, tapi semoga saja bisa pulang, gue bisa usahain." Fandu berkata lirih sambil sedikit tersenyum. Luna hanya diam menatap jalan di depannya dengan tatapan serius, cukup kaget dan merasa kesalĀ memang, ia benar-benar tidak menyangka Fandu akan kembali lagi secepat ini, padahal mereka baru saja berbaikan, dan rasanya rindu Luna belum benar-benar terobati.
"Nanti kalau gue chat lo atau telpon lo dijawab yah, gue biasanya suka kangen sama lo kalau gue di sana." Tambahnya Fandu serius. Luna masih diam, ia tidak tahu untuk menjawab apa, dadanya terasa sesak dan ia sama sekali tidak ingin Fandu pergi.
"Nanti gue pergi sekitar jam dua belasan. Gue pamit yah, jaga diri lo, trus selalu bahagia. Kalau ada apa-apa selalu kabarin gue." Fandu menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah, dan Luna masih tak menjawab semua ucapan Fandu padanya. Ia juga tidak menyangka kenapa sekolahnya jadi sedekat ini. Melihat Luna diam padanya membuat ia merasa jadi tak enak hati, ia ikut diam, menyandarkan punggungnya di sandaran mobil, lalu detik berikutnya menoleh bingung pada Luna saat bel masuk berbunyi dan Luna masih tak keluar dari mobilnya.
"Makasih Fan tumpangannya. " Ucap Luna membuka pintu mobil Fandu dan keluar dari sana tanpa menoleh sedikitpun pada Fandu yang kini memasang muka sedih, ia tahu Luna pasti kecewa karena ia pergi secepat ini, tapi setidaknya Luna mengatakan hal-hal yang bisa membuat ia pergi dengan nyaman. Luna sudah menghilang dari pandangannya saat Fandu keluar dari mobilnya, hendak mengejarnya tapi tentu saja sudah tidak mungkin, toh, bel sudah berbunyi dan sudah pasti upacara bendera akan segera dimulai mengingat hari ini hari senin. Fandu hanya diam bersandar di mobilnya, Menatap lurus ke hadapan sekolah di depannya. Rindu tentu saja, ia benar-benar ingin kembali lagi kesekolah ini, tiap hari bertemu Luna dan teman temannya, bercanda tawa, jadi diri sendiri, bukan di tempat yang baru dan selalu merasa kesepian, dan Fandu tidak tahu entah sampai kapan, hanya saja ia ingin semua segera berakhir, atau tidak, ia bisa membawa Luna pergi dari sini dan membawanya pergi ke mana dia pergi.
***
Luna tidak bisa konsentrasi sejak tadi pagi hingga sekarang pukul setengah dua belas. Proses belajar masih berlanjut. Bu Yanti yang mengajar Bahasa Indonesia di depan, sedang menjelaskan materi, dan Luna sama sekali tidak bisa mencerna semua pelajaran. Bahkan ia tampak gelisah sejak tadi. Sesekali ia mengecek jamnya, lalu beralih pada papan tulis begitu seterusnya. Ia tidak tenang karena Fandu akan pergi jam dua belas ini, dan mereka tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat. Rasanya Luna hanya ingin menangis dan mengejar Fandu dan katakan untuk jangan pergi tapi itu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin.
"Lun?"
"Eh Lun kok melamun aja dari tadi?" Tiva berkata sedikit berbisik sambil memegang bahu Luna sontak membuat ia menoleh serius, melihat Tiva kini meraba keningnya dengan punggung tangannya, lalu detik berikutnya beralih pada keningnya sendiri. Membandingkan.
"Lo sakit? Tapi nggak panas kok. Ada masalah apa?" tanya nya dengan banyak pertanyaan. Luna menggeleng sedikit berpikir sejenak
"Lo sakit?" ulang Tiva lagi. Luna masih diam.
"Gue, sakit kepala Tiv, nggak kuat." Balasnya beralasan. Tiva menatapnya serius.
"Ya udah kita ke UKS aja yuk, gue anterin." Ucapnya serius. Luna berpikir sejenak, ia bukan ingin ke UKS tapi ingin pulang.