***
Selamat Membaca
Luna telah sampai di rumah baru di tempati Yuli dan mamanya. Rumah itu adalah rumah yang dicarikan bundanya Lika sebelum mamanya keluar dari rumah sakit, dan menitipkan mamanya pada Yuli. Luna mencoba beberapa kali mengetuk pintu rumah itu, dan tidak ada jawaban. Luna kembali mencobanya.
"Mbak? Ma? Ini Luna!" Luna kembali mengetuknya. Tapi lagi dan lagi tak ada jawaban. Merasa aneh sendiri, Luna meraih ponselnya dari dalam tasnya dan menggulir layarnya, dan mencari nama Mbak Yuli di dalam kontaknya, setelah itu Luna mencoba menelponnya. Tak cukup lama sambungan telepon itu terhubung.
"Halo, Lun?" Suara Yuli terdengar jelas di seberang sana.
"Mbak aku di depan rumah ini, Mbak sama Mama di mana?" kata Luna serius.
"Yah, mbak sama Mama lagi di Bandung Lun, Mbak belum sempat ngabarin Luna soal ini, soalnya mendadak saja. Mama mau tinggal di bandung katanya, dan ini sedang di rumah baru lagi. Mama nggak mau nerima pemberian dari istri Papa katanya. Jadi mbak nurut saja. Dan rencananya nanti sore mau dikabari." Jelasnya serius. Luna mendadak diam, ia benar-benar bingung sekarang.
"Lun? Kamu nggak sekolah?" suara Yuli membuyarkan pikiran nya.
"Sekolah Mbak, cuma lagi cepat pulang saja. Mbak nanti kirim alamatnya sama aku yah, kalau aku libur aku ke sana. Mama nggak apa-apa, kan?" tanyanya serius.
"Nggak apa-apa Lun, Mama sehat, dan biasa aja. Dan mbak lihat Mama punya tabungan yang cukup buat beli rumah kecil ini dan buat buka usaha katanya." Jelasnya Yuli lagi. Luna bernapas lega, ia tahu Mamanya pasti baik-baik saja, hanya saja Papanya terlalu jahat untuk memasukkan Mamanya ke dalam rumah sakit jiwa hanya karena menjual rumah dan usaha miliknya. Ia tahu Mamanya pasti punya alasan dibalik semua ini.
"Oke Mbak, kalau ada apa-apa kabari saja yah aku, aku tutup dulu." Katanya datar.