Yes or No

Nuna Iu
Chapter #36

Si Pembuat Masalah


***


Seharian cuma Luna habiskan untuk tidur di kamarnya. Dan sekarang ia merasa jenuh sendiri. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur dengan keadaan lemas. Ia sama sekali tidak punya tenaga untuk melakukan apapun. Tadi sudah Luna coba untuk membaca buku. Tapi mendadak kepalanya pusing. Bahkan ia tak bisa konsentrasi. Sepertinya acara bohongnya kemarin berlaku sekarang, ia benar-benar sakit sekarang. Luna bahkan tak bisa untuk berdiri. Kepalanya sungguh terasa berat. Ia rasa ini memang efek karena menangis semalaman. Menurut Luna ada untungnya juga ia tak datang ke sekolah. Jika ia datang bisa jadi ia akan ditatap aneh satu kelas karena mata sembab. Bisa jadi banyak yang berpikir kalau Luna menangisi kepergian Fandu yang kembali ke luar Negeri. Padahal itu hanya berlaku dua puluh persen untuk Luna. Selebihnya Luna bodoh amat masalah Fandu sekarang. Tapi memang cukup membuat ia kesal dengan kenyataan Fandu kemarin.


Dering ponsel Luna membuyarkan semua pikiran Luna. Luna meraih benda munggil itu. Melihat nama Fandu muncul di sana. Luna menatapnya dengan tatapan serius. Berpikir sejenak untuk menjawabnya atau tidak. Detik berikutnya Luna meletakkan ponsel itu kembali ke tempatnya. Ia tak ingin rasanya berhubungan lagi dengan Fandu. Ia lelah. Itu hanya akan menambah bebannya.


Dari luar kamarnya terdengar suara Papanya sedang berbicara dengan Bundanya.

Luna mendadak diam, ia menganti posisinya dari duduk kembali tiduran. Ia tahu Papanya akan datang ke kamarnya. Mengingat tadi Bundanya mengatakan kalau Papanya ke kantornya. Dan tidak tahu Luna sakit. Jadi Luna memutuskan untuk pura-pura tidur. Ia membelakangi pintu kamarnya dengan begitu ia takkan bertemu papanya dan begitu pula sebaliknya.

Pintu kamar Luna terbuka, Bunda dan Papanya masuk.


"Tadi badannya Luna panas banget. Sekarang sudah agak mendingan. Apa kita bawa ke rumah sakit aja, mas?" tanya Bundanya pada Papa Luna yang kini mendekat ke tempat tidur Luna, lalu detik berikutnya ia merasakan kening Luna.


"Enggak usah Bun. Paling nanti juga sembuh. Udah nggak panas kok. Enggak usah bikin Bunda repot. Toh, Luna udah gede. Buktinya udah bisa ngelawan orang tua." Jelas papa sontak membuat ekspresi wajah Luna berubah. Ia memang tak mengharapkan dijenguk papanya, toh, mengingat papanya masih marah padanya. Buktinya sekarang sindiran itu datang lagi. Itu cukup membuat kepalanya makin pusing.


"Mas, Luna lagi sakit, kamu nggak boleh ngomong gitu," tegur Bundanya serius. Luna hanya diam. Masih diposisinya.


"Dia memang begitu, kan Bun. Jadi nggak usah sok baik sama dia. Nanti dia makin ngelunjak sama seperti Mamanya."


"Mas?"

"Apa-apaan sih kamu?" potong bundanya cepat. Kecewa dengan jawaban suaminya itu. Sedangkan Luna masih diposisi yang sama. Menahan dirinya untuk tidak meledak, dan kembali membuat suasana semakin runyam.


"Paling Luna cuma akting sakit. Dia kan memang begitu. Sudah aku capek."Ucapnya berlalu pergi meninggalkan Luna yang kini menarik napas lega, menahan emosinya yang kini membuat dadanya semakin terasa sesak. Bundanya ikut menyusul keluar sambil menutup pintu kamar Luna.


"Mas kamu apa-apaan sih seperti itu sama anak kamu sendiri. Luna itu masih kecil, dia masih labil." terdengar suara keduanya sampai ke kamar Luna. Luna mengambil posisi duduk. Ia lelah tapi ia ingin tetap mendengarkannya.


"Dia udah besar Bun. Jangan jadiin dia anak kecil. Dia udah tahu mana yang baik dan yang buruk buat dia. Jadi jangan manjakan dia sama seperti kamu manjakan Lika. Aku tidak suka." Ucapnya serius.


"Aku nggak manjain dia. Aku cuma kasih dia perhatian lebih. Karena Luna butuh itu Mas. Kalian nggak pernah ada ketika Luna dalam keadaan susah. Kalian yang menjadikan dia keras seperti ini. Itu karena kedua orang tuanya. Seharusnya kalian kasih dia perhatian lebih. Bukan sebaliknya. Dan berhenti berdebat dengan Luna. Seharusnya Mas kasih pendekatan lebih padanya. Bukan sebaliknya. Berdebat dengan Luna cuma akan membuat kalian berdua makin menjauh. Dan mental Luna akan terganggu. Dia masih kecil Mas. Jangan salahkan dia kalau nanti juga sama seperti Mamanya. Dan tindakan kamu sama Mamanya juga membuat dia setengah gila. Kamu nyiksa dia seperti itu. Kamu sebenarnya yang jahat di sini. Kamu itu yang gila. Seharusnya kamu yang harusnya dimasukan ke rumah sakit jiwa. Bukan Mamanya." Ucapnya sontak membuat Papa Luna menatap istrinya tajam. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dan Luna terdiam membisu. Semua yang dikatakan bundanya adalah benar. Tapi apa benar Bunda Lika berpihak padanya, itu tidak mungkin.


"Berhenti egois Mas. Aku kecewa sama kamu." Ucapnya berlalu pergi tapi langkah kakinya terhenti ketika tarikan kuat dari Papa Luna.


"Apa bedanya sama kamu. Kamu juga manfaatin Luna dengan hal ini." Ucapnya serius.


"Aku nggak manfaatin dia. Aku cuma ingin dia berada di sisiku. Aku tidak ingin Luna tinggal dengan Mamanya. Dan juga kamu. Dia anakku sekarang. Jadi jangan berpkir untuk melarang ku melakukan apapun padanya. Atau semua rahasia Mas ku bongkar." Ucapnya sontak membuat alis Luna terangkat. Ia tidak tahu maksud dari ucapan itu.

Rahasia?

Rahasia apa lagi ini.


"Ran, Ran. Dengarin aku ngomong."Suara teriakan papanya terdengar lantang. Luna menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Lalu tak lama kemudian suara ribut terdengar di lantai bawah. Mungkin kedua orang tuanya bertengkar hebat di sana. Untuk pertama kalinya Luna mendengar hal itu di rumah ini. Ia kira selama ini papa dan bundanya akur-akur saja. Ternyata ia salah. Luna sekarang tak peduli dengan hal itu. Ia mengambil posisi tidur kembali. Ia berharap besok lebih lagi dan ia bisa kembali sekolah.


Lihat selengkapnya