Aku takut, ketika mungkin saja sebentar lagi aku akan memasuki lubang yang sama. Sebuah lubang tanpa dasar, yang anehnya nyaman tetapi menipu. Itu telah menghancurkan hidupku. Dan, hanya ketika dia berkata “Bernafaslah, semuanya baik-baik saja” aku terselamatkan dan kembali menjalani kehidupanku yang menyakitkan ini. Bersama ikat tenun pemberiannya hari hari berlalu ketika dirinya pergi, seperti kebanyakan wanita lainya. Mengapa? mengapa mereka pergi dari kehidupanku merupakan pertanyaan yang tidak pernah aku temukan jawabannya. Hari-hari kemarin, pertanyaan itu, aku yakin tidak akan semerisaukan ini. Bagaimanapun juga, mereka pergi tanpa sepatah kata. Sepatah kata yang telah kutanyakan berulang kali. Namun, selalu air matalah jawaban satu-satunya yang kudapat.
Mengapa begitu? Mengapa air mata dan bukannya senyuman? Karena mereka, aku, manusia keseluruhan menggap itu perpisahankah? Entahlah, andai saja para pendahulu kita memilih untuk tersenyum ketika perpisahan datang dan bukan dengan menangis. Meskipun aku tak dapat pungkiri perpisahan memanglah sesuatu yang mengecewakan dan aku percaya seberapun manusia berpengalaman atau bersiap untuk hal itu, kekecewaan akan selalu menang dan melinangkan air yang entah seberapa banyak tersembunyi di mata manusia. Pikirku, terkadang bukanlah karena mereka pergi kemudian kita bersedih. Bisa jadi, perpisahan yang kita tangisi adalah perpisahan dengan diri sendiri, yang setengahnya sudah pergi bersama mereka yang telah kita habiskan waktunya bersama-sama. Diri kita kemarin dan segala hal yang telah dilakukannya bersama dengan seseorang menjelma menjadi abadi dalam negatif film dalam diri. Ketka kemudian perpisahan datang, diri manusia akan seolah-olah mencoba merubah negatif film itu menjadi kertas putih yang pada kenyataannya merupakan hal yang tidak mungkin. Sedang hal yang mustahil itu dilakukan dirinya membuat diri lainnya terjebak dalam lubang tanpa dasar, tak ada waktu, merana dalam keberhentian ketika dunia luar akan tetap berjalan ada atau tanpanya.
“Kak, bangun! kita bentar lagi landing”, ujar Monea sambil menepuk pundak kananku, khayalanku ambyar.
Aku tidak menjawabnya, namun tangan kiriku bergerak menemui tangan kanannya yang kuyakin sudah 47 detik melakukan hal menjengkelkan itu. Setelah kutemukan tangan mungilnya itu, aku mengenggamnya pelan, dan kutuntun menuju mulut. Kukecup ringan, dan dengan tanganya aku membuat simbol untuk menyuruhnya memelankan suara. Dia paham maksudku, dan dia paham pula apa yang sedang aku lakukan saat itu. Namun, bukannya dia diam, malahan tangan itu melepaskan diri dari genggaman dan dengan bantuan dari tangan satunya dia mendorong mukaku. Dia ngulet dan dengan sengaja menaikan volume suaranya sedikit lebih keras daripada tadi, “ughhhhh”.
Anehnya, tingkah menyebalkannya tidak membuatku bertambah jengkel, bahkan rasa jengkel tadi menghilang ketika aku perlahan membuka penutup mataku. Dia menyambut tingkahku dengan senyum, tubuhnya miring kehadapanku dan membelakangi kaca pesawat yang telah sengaja dibuka karena hari memang sudah pagi. Cahaya matahari dan mataku yang tidak siap, kemudian membuat kehadirannya tergambarkan persis seperti bagaimana film-film picisan menggambarkan turunya sosok bidadari atau malaikat, entahlah.
“Hmm... ya kenapaaa?” ujarku