Yesterday

Abdul Kahfi
Chapter #2

Mawar Merah

 Cahaya sore menembus Honda Jazz merah yang kami tumpangi. Hiruk pikuk Surabaya yang menyebalkan telah kami lewati beberapa waktu lalu. Kini berganti dengan pemandangan khas Indonesia, sebuah hamparan sawah berujungkan barisan pepohonan. Dulu sekali, ketika berpergian jauh dan mendapati pemandangan ini aku sering tertidur sebab bosan sekali. Ditambah lagi untaian kabel listrik yang menjalar seiring jalan bagikan pendulum seorang pesulap yang menghipnotis meskipun tak estetis. Aku yang selalu duduk di bangku penumpang tentu tidak bisa disalahkan jika saja dalam perjalanan selalu tertidur dengan pemandangan monoton itu. Jujur saja, aku merindukan suasana seperti ini setelah beberapa tahun kuhabiskan waktu dengan mengelilingi dunia. Meskipun pemandangan monoton kali ini setidaknya sudah hampir sejam aku amati, dan seharusnya aku dibuat mengantuk karenannya. Seperti beberapa tahun ini, aku tak bosan, dan tak pula aku mengantuk. Sekali lagi sosok wanita berkalungkan salib membuatku berjaga. Terkadang dia muncul dibalik kaca, namun sering kali dia hadir ketika matahari belum terbenam, melebur dengan berbagai paronama ketika aku memandang ke kejauhan. Anehnya, selalu saja ada perasaan nyaman dan hangat ketika sosoknya datang, yang kemudian hilang ketika aku mencoba melihat matanya.

Mobil ini melaju dijalur kanan Tol Pandaan dengan kecepatan stabil 80km/jam. Kami menuju kampung halamanku di Kota Batu. Kalau saja Google Maps ini benar, berarti perjalanan kami kurang satu jam setengah. Selama itu pula aku mencoba mencuri pandang ke dirinya. Aku berada di sisi kirinya, duduk di kursi penumpang dan si Monea berada di belakang di tengah diantara kami berdua Pandanganku sangatlah terbatas, aku tak bisa menoleh ke kanan secara langsung untuk menyaksikan dia mengemudi. Aku hanya bisa melihat kedepan ataupun ke kiri keluar kaca jendela. Tetapi, kaca disebelah kiriku bukanlah sebuah opsi yang dapat digantungkan, karena diperlukan sebuah lorong dan dipenuhi lampu, untuk memantulkan keberadaan Rosa, dan hal seperti itu tidak ada disini. Jadi, sejauh ini aku hanya bisa melihatnya samar-samar dari bagian belakang kendaraan yang ada di depan kami. Namun, untuk ini saja, juga merupakan sesuatu yang untung-untungan karena diperlukan bagian belakang kendaran yang mengkilat untuk memantulkan bayangan kami dan tentu itu jumlahnya tidak banyak di sepanjang jalan Surabaya-Batu. Namun, aku tidak kehabisan akal, selain hal diatas, aku juga sempat beberapa kali menengok kebelakang ketika ngobrol dengan Rosa, dan dalam kesempatan inilah aku berusaha setidaknya menangkap Rosa yang tengah fokus menyetir, untuk itu aku berhati-hati dalam melambatkan pergerakan leherku yang menengok kebelakang biar tak menimbulkan rasa curiga.

Setidaknya lima kali sudah, semenjak kami berangkat dari Bandara Juanda aku memalingkan wajah ke belakang. Untuk usaha itu sebenarnya cukup aneh, karena karakter Monea yang tidak terlalu suka mengobrol maka dari kelima percobaan itu tadi hanya satu percakapan yang dibuka oleh Monea, sedangkan sisanya aku buka dengan sangat susah payah dan cenderung terlihat aneh. Bagaimana tidak, ada satu hal konyol kami berdua tahu aku tidak akan pernah mengatakannya untuk membuka suatu obrolan dengannya, yaitu menanyakan perihal apakah dia merasa lapar. Ini memang konyol bagi kami berdua padahal seharusnya ini menjadi pertanyaan umum atau bahkan romantis bagi sebuah pasangan. Namun, karena satu momen pertengkaran satu tahun lalu kami berdua sepakat bahwa pertanyaan sia-sia salah satunya menanyakan apakah masing-masing dari kita merasa lapar tidak perlu dipergunakan. Karenanya, kami lebih sering sering mengutarakan sesuatu secara blak-blakan atau berkomunikasi secara tidak langsung melalui berbagai bentuk gestur. Aku sama sekali tidak keberatan, lagi pula kecerewetanku sudah merupakan diriku hari kemarin.

“Kamu tidak lapar?” aku menengok ke belakang untuk ke enam kalinya. Untuk sepersekian detik aku mendapati proyeksi Rosa mengemudi, namun itu tetap tidak memuaskanku, jelas saja pikirku dalam hati jika kita memotret sesuatu pun dengan aperature 1/5 terhadap objek atau kamera yang bergerak akan menghasilkan hasil potret yang burem. Disisi lain, aku sangat yakin ada sesuatu yang aku rindukan dari situasi sekarang, sebuah memori yang menunggu untuk dipancing keluar. Namun, kesamaran Rosa mengemudi yang ke enam masih tidak dapat memancing itu.

Lihat selengkapnya