“Gimana hasil jepretanku?”
“Sepertinya fotomu itu bagus karena aku modelnya, haha” Jawabnya. Entahlah dia mencoba mengejekku atau memuji dirinya aku tidak begitu paham. Memang wanita mana yang dapat dimengerti. Rosa saja beberapa jam yang lalu ekspresi wajahnya masih murung, sedangkan sekarang ini dia sudah bisa mengejek seperti dirinya biasanya. Bisa-bisanya dia mengejek sambil memilih-milih puluhan foto hasil jepretanku. .
“Ya kan, yang ini bagus, siapa dulu modelnya” Aku menatap dirinya yang telah menjadi abadi dalam bingkai kecil layar kameraku. Di dalam foto yang ditunjukannya, Aku memotretnya dengan meng-close up Rosa sampai 1/3 badan, hanya tertampilkan bagian pundak dan kepala. Sedangkan latar belakangnya merupakan Gucuran Air dari Coban Rondo. Aku membuatnya berpose menyamping, dengan posisi muka sedikit menghadap ke kamera. Rambut ponytail-nya yang terjun karena gravitasi begitu menyatu ketika aku memilih untuk menyandingkannya dengan Air Terjun. Seolah-olah air terjun tesebut tidak menjatuhkan air namun menjatuhkan rambut-rambut panjang milik Rosa.
“Bukannya itu ideku, menyandingkan rambutmu dengan air terjun?”
“Ya yang itu, yang aku maksud”
“Apa memangnya?” Aku masih tidak memahaminya.
“Aritnyaa itu bagus, astofir lola banget sih kamu”
“Di pelajaran aja pinter, buat memahami ini aja susah bener dah” Dia membalas kesal.
“Oh, kamu memuji ya? Memuji gak usah dibuat ribet emang gak bisa ta?” Aku menjawabnya dengan nada yang sama.
Dia hanya membalas dengan sebuah tawa dan aku hanya tersenyum melihatnya. Aku sedang menantikan pesananku datang, sambil sesekali memperhatikan parkiran untuk melihat mobilnya. Sebenarnya bukan mobil milik Rosa yang mencuri perhatianku namun seragam kami berdua yang sedang dijemur di bagian kap mobil. Kami menjemurnya dengan menindihi baju itu dengan buku pelajaran terberat kami, apalagi kalau bukan buku Fisika. Itu juga merupakan ideku, karena bisa repot nantinya ketika kami pulang ke rumah dan orang tuaku menemukan bajuku basah. Sehingga aku mengajak Rosa untuk mampir ke kedai kopi langgananku sembari menunggu jam 2 siang waktu umumnya sekolah kami dipulangkan.
Ada hal yang lucu dari perkopinan di kota ini, ketika kedainya sepi kecepatan dari pemesanan bukannya lebih cepat tetapi malah lebih lambat dari biasanya. Apalagi jika kita mengenal siapa pemiliknya, atau beberapa karyawannya, kecepatan pemesanan menjadi sangat lambat. Seperti halnya kedai kopi ini yang sejak aku menjadi murid SMA baru, aku telah menjadi pelanggan setia. Pemiliknya bernama Putra merangkap menjadi penjaga pagi setiap hari senin, rabu, dan kamis. Dia adalah seorang mahasiswa yang gak lulus-lulus. Setidaknya, dia sudah menginjak semester 11 atau lebih. Karena, ketika aku masih menjadi pelanggan baru disini, dia memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa hukum PTN di Malang tahun ke empat. Aku ingat dia tiba-tiba menghampiriku, mungkin karena saat itu kedai kopinya sedang sepi-sepinya. Dia berdalih bahwa ketertarikannya padaku dikarenakan tidak banyak temannya yang membaca buku, apalagi mengingat diriku saat itu masih bocil. Ya, dia memanggilku bocil atau akronim dari bocah cilik, bocil yang suka bolos sendirian hanya untuk membaca buku dan membuka leptop.
Aku menanti putra dan pesananku dengan merokok. Saat ini, sela-sela jari yang menjadi tumpuan rokok sudah merasakan panas. Sebuah penanda bahwa rokok ini sebentar lagi harus dimatikan dan juga menandakan bahwa sudah 15 menit berlalu aku menahan lapar. Selama itu pula, Rosa sedang asik dengan kameraku. Dia beberapa kali mengejek hasil jepretanku yang tidak fokus, ataupun yang terlihat aneh entah komposisinya, objeknya dan juga ketika dirinya terlihat jelek, padahal menurutku dia tetap cantik meskipun dia berkata jelek ke dirinya sendiri. Aku hanya merespon ejeken tersebut dengan tertawa kecil.
“Aku tidak tahan lagi, aku sangat lapar. Ini semua salahmu karena kamu telah menjemputku terlalu pagi di Rumah, dan tidak mentraktirku sarapan sebelum ke objek wisata.” Keluhku kepadanya.