Yeti and Other Hudgemoors Stories

Fann Ardian
Chapter #1

Chapter 1

Floyd hampir saja terpeleset di tikungan licin yang tertutupi salju. Ia berlari menuju bangunan sekolahnya yang berhalaman luas. Ia menggendong ransel besar di pundaknya, kedua lengan jaket terikat di pinggang. Floyd menghampiri barisan para murid, menunggu namanya dipanggil oleh Bu Utick, koordinator karyawisata hari ini.  

“Floyd Rivera!” seru Bu Utick, ia mendongakkan kepalanya. 

“Hadir, Bu!” jawab Floyd seraya mengangkat tangan kanannya ke atas. 

Bu Utick melihatnya, lalu menuliskan sesuatu di papan klip yang ia pegang, dan kembali menyebutkan nama-nama lagi. Floyd berbalik dan berusaha membawa dirinya untuk berjalan. Ia masih sangat mengantuk, bisa dibilang saat ini mungkin dirinya setengah tertidur. Tadi malam Floyd baru saja menyelesaikan satu musim penuh salah satu serial TV yang ditontonnya di Netflix, dan itu menghabiskan banyak energi mengingat dirinya baru tidur pukul tiga pagi.  

Anak-anak berhamburan di halaman sekolah. Mereka berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Tipikal stereotipe SMA. Kutu buku, anak-anak populer, atlet, penggila teknologi, ratu drama. Floyd sudah hafal sekali dengan hal itu. Tetapi ia sendiri tidak termasuk dalam kategori-kategori tersebut. Ia adalah gadis normal dan sedikit unik yang menjalani hidupnya dengan melakukan berbagai hal yang disenanginya.                                                 

Setelah berkeliling beberapa saat, Floyd akhirnya menemukan teman-temannya. Seperti dirinya, teman-temannya adalah gadis-gadis normal. Mereka tidak terlalu mencolok sehingga bisa masuk salah satu kategori tertentu. Mereka hanya normal.                                                                             

Floyd menghampiri mereka. “Jadi, what’s up.” Ia menganggukkan kepala kepada mereka sambil menyeringai.   

Meera adalah orang pertama yang menyahut. “Kau tahu, tadi Monroe baru saja mengobrol asyik dengan Rani McLain,” tukasnya. Kejengkelan tergambar jelas di wajah Asianya.  

“Kenapa?” tanya Floyd dengan kening berkerut. “Bukankah dia sekarang pacarmu?”  

Meera langsung berseru. “Tepat sekali!” ia melipat kedua lengannya, lalu mendengus “Aku tidak suka Monroe masih berhubungan baik dengan mantan pacarnya.” 

“Santai, Meera.” Floyd menenangkan. Ia tertawa melihat sikap temannya itu. “Kau pacar Monroe. Lagipula, Monroe sangat tertarik dengan gadis Korea, dan kau salah satunya.” 

Meera adalah keturunan Korea dari keluarga ayahnya. Nama aslinya adalah Park Min Ra. Tetapi sejak menetap di Amerika dia mengubah namanya menjadi Meera Park. Meera sudah lama sekali menyukai Monroe, seorang anak teladan di sekolah, dan akhirnya sekarang mereka berpacaran.            

Di sebelah Meera, Zizzy sedang sibuk mengetik di ponselnya. Anak itu selalu bermain ponsel, bahkan saat sedang liburan karyawisata seperti ini. Ponselnya sudah seperti bagian dari diri Zizzy.  

Floyd tidak bisa menahan diri untuk tidak mengganggunya.     

“Hei!” seru Floyd. Ia mengetuk layar ponsel Zizzy, membuat gadis itu terlonjak. “Kau ini. Kita sekarang mau karyawisata, dan kau masih saja sibuk dengan ponselmu? Kemari, berikan ponsel itu kepada Mama,” perintah Floyd sambil mengulurkan tangannya, meminta ponsel.

“Tidak.” Zizzy menggeleng-gelengkan kepala. Ia menyelesaikan apapun yang sedang dilakukannya dengan cepat di ponselnya, lalu memasukkan benda persegi panjang itu ke saku dalam celana. “Lihat? Aku tidak punya ponsel lagi.” 

Floyd menjawab tidak acuh. “Lebih baik.”     

Bu Utick meniup peluit dan menyuruh anak-anak berbaris untuk masuk ke dalam bus. Floyd duduk bersama Karin dan Nuna, dua teman baiknya, di bagian tengah bus. Dua orang teman menyapanya, yang dibalasnya dengan lambaian tangan dan anggukan dagu.                

“Flo, kau lihat sarung tanganku?” tanya Nuna. Ia sedang melihat-lihat ke sana-kemari.

“Tidak.” Seseorang menepuk pundaknya. Floyd berbalik. “Hei, Sally! Aku tidak melihatmu di luar. Kau baru datang?”  

Yeah.” Sally hanya mengangkat bahu. Ia duduk di barisan kursi di sebelah barisan Floyd. “Eh, Flo, bagaimana kabar permainan gitarmu?” Sally dan Floyd senang berbicara tentang gitar dan cara yang keren untuk memainkannya.   

“Sama saja. Aku masih berusaha menciptakan bunyi yang benar,” sahut Floyd. Ia menoleh ke sebelah kanan. Nuna masih celingak-celinguk. “Kau belum menemukan sarung tanganmu?” 

“Belum, Flo.”   

“Terakhir kali kau menaruhnya di mana?” Floyd mulai melihat ke sana-kemari juga. Karin yang duduk di pojok di dekat jendela sama sekali tidak terusik dengan keadaan sekitarnya. Floyd menengok ke bawah dan melihat sesuatu berwarna biru dan putih di bawah kaki Karin. “Sarung tanganmu ada di bawah kaki Karin,” beritahunya.    

Bus melaju meninggalkan halaman sekolah. Mereka akan bermain ski di pegunungan salju. Daerah tempat penginapan mereka bernama Courtney Woods. Tempatnya berada di tengah lembah, tepat di depan sebuah hutan. Courtney Woods berhadapan dengan lereng pegunungan. Ada dua lereng di sana yang bisa digunakan untuk bermain ski dan snowboard. Lereng di sebelah kiri adalah lereng barat, jauh lebih terjal dan berbatu dibandingkan lereng timur di sebelah kanan. Maka dari itu lereng timur lebih banyak diminati oleh para wisatawan dan keluarga.  

Floyd merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi. “Udaranya segar sekali! Dan membeku,” serunya. Ia menarik tudung jaketnya menutupi kepala. “Kalian tidak ada yang ingin bermain snowboard?”   

“Aku mau menghangatkan diri dulu,” ujar Nuna. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya, hidungnya memerah. Pipinya yang tembam terlihat berwarna pink pucat menahan hawa dingin. Nuna menarik koper kecilnya ke arah pintu rumah penginapan. “Ayo masuk.”

Lihat selengkapnya