Desa itu hanya punya satu jalan utama. Di setiap sisinya membentuk jalan-jalan kecil menuju rumah-rumah penduduk. Setiap rumah terbuat dari kayu pohon cemara, dan sebagian besar tidak punya tingkat, tetapi ada beberapa yang bertingkat dua. Toko-toko terbuat dari batu bata di jalan utama, dan ada juga bangunan batu bata yang cukup tinggi dengan banyak jendela.
Flo dan Meera menyusuri jalan utama Hudgemoors. Anak-anak desa bermain perang bola salju di pinggir jalan, para orang dewasa berlalu-lalang membawa barang-barang mereka. Harum roti yang sedang dipanggang menyerbak memenuhi jalan. Ada satu toko roti di jalan ini yang bernama Smooth Willow Bakery. Flo dan Meera menengok ke dalam toko roti melalui jendela. Roti dan kue-kue sedang dipanggang di dalam sana. Seseorang yang mengenakan celemek mengangkatnya dari oven lalu mendinginkannya di atas meja. Tiba-tiba perut mereka berdua berbunyi.
“Uh. Harum-haruman ini membuat perutku lapar,” gumam Flo.
Mereka masuk ke dalam toko roti. Bel kecil berdenting saat mereka membuka pintu, aroma kayu manis dan gula menerpa hidung kedua gadis itu. Seorang pria gemuk berkumis tebal menyapa mereka dari meja konter, “Halo, anak-anak!” sapanya riang. “Kalian ingin membeli roti apa?”
Flo dan Meera melihat roti-roti dan kue yang dipajang di rak dan meja panjang. Roti-roti ditaruh di dalam keranjang-keranjang besar beralas kain bermotif kotak-kotak merah putih. Semuanya masih hangat. Ada rak kecil di samping konter berisi batang-batang cokelat dan keju.
Kedua gadis itu mengambil roti panjang isi mentega dan keju, lalu membawanya ke kasir ketika mereka mendengar sebuah percakapan.
“Aku melihatnya kemarin malam.”
Dua orang tidak jauh dari mereka, sedang bercakap-cakap di depan salah satu rak roti. Seorang laki-laki bertubuh jangkung kurus mengenakan topi petani berbicara. “Aku sedang berburu rusa di hutan ketika aku melihat cahaya itu. Entah datang dari mana.”
Lawan bicaranya seorang wanita tua memakai pakaian hangat tebal hijau lumut menjawab. “Kau yakin? Seperti apa bentuk cahaya itu?” ia terdengar penasaran dan sedikit cemas.
“Tidak benar-benar seperti cahaya lampu atau cahaya yang menyinari. Hanya seperti kerlap-kerlip. Aku berusaha mengikuti dari mana datangnya, tapi cahaya itu tiba-tiba sudah menghilang.”
“Kupikir itu semua hanya bohongan,” ujar wanita tua itu, ia meremas-remas tangannya. “Anakku sempat bertanya apakah cerita itu benar atau tidak. Tentu saja tidak kukatakan yang sebenarnya. Kita para orang dewasa sesekali memberi tahu cerita di dalam hutan itu pada anak-anak untuk mencegah mereka keluyuran di hutan lalu tersesat. Tak kusangka ada yang benar-benar melihatnya,”
“Aku juga berpikir begitu,” sahut si laki-laki jangkung.
Ternyata penduduk Desa Hudgemoors senang menyebar cerita. Sepertinya kejadian-kejadian yang mereka alami di daerah Courtney Woods sudah menjadi pembicaraan umum di kalangan penduduk desa.
Setelah pesanan dibungkus dan mereka membayar, Flo dan Meera keluar dari Smooth Willow Bakery.
“Kau dengar percakapan wanita dan pria itu di dalam?” tanya Flo, walaupun ia sudah tahu Meera juga mendengarnya. “Kurasa desa ini penuh dengan dongeng.”
“Aku semakin penasaran. Courtney Woods sepertinya mempunyai banyak misteri.” Mereka mulai berjalan. “Monroe bilang kalau cerita cahaya dan nyanyian dalam hutan hanya cerita buatan belaka, dan wanita tadi juga berkata begitu. Tapi pria kurus tadi berkata dia melihat cahaya itu sendiri.” Meera mengusap-usap dagunya, berpikir. “Aneh. Rasanya kebenaran dan cerita bohong bercampur menjadi berbagai macam cerita penduduk.”
Mereka kembali menyusuri jalan utama mencari kedai minum. Ada dua kedai minum di sini, satu di ujung jalan dan satu lagi di seberang bangunan kelima dari Smooth Willow Bakery. Mereka memilih yang di seberang. Tanaman canary dan bunga-bunga poppy menghiasi bagian depan kedai. Papan kayu tergantung di sebelah pintu masuk bertuliskan “Hudge’s” dengan huruf sambung.
Flo dan Meera duduk di salah satu meja di dalam Hudge’s. Kedai ini juga memiliki bar. Seorang pramusaji datang untuk menanyakan pesanan mereka.
“Dua gelas butterbeer,” pesan Meera.
“Dan bisakah kau menaruh krimnya banyak-banyak?” tambah Flo seraya menggesturkan posisi mengaduk dengan tangannya. Pramusaji itu menuliskannya di catatan yang ia pegang. “Terima kasih.” senyum Flo.
“Nah, sekarang coba kita lihat apa yang bisa kita dapat di sini.” Flo membalikkan tubuhnya memandang sekeliling. Pria-pria sedang duduk di bar sambil tertawa terbahak-bahak. Anak muda dan penduduk desa lainnya sedang duduk santai menikmati minuman mereka. Orang-orang keluar-masuk kedai. Hm. Siapa kira-kira yang bisa memberikan mereka informasi disini?
“Aku tidak tahu siapa yang harus kita tanya,” kata Meera. “Mereka semua terlihat seperti penduduk biasa yang sedang menghabiskan waktu.”