Flo menendang-nendang kerikil ketika ia dan dan Meera berjalan pulang melewati tebing. Untungnya jalan di bawah tebing ini tidak sempit. Langit sudah senja, warna merah muda dan oranye bercampur menjadi satu. Mereka masih memiliki waktu beberapa lama sebelum matahari terbenam sepenuhnya.
“Aku tidak bisa berbahasa Perancis,” ujar Flo, ia melompati sebuah batu besar. “Nilai ujianku kemarin saja B-. Kau bisa berbahasa Perancis?”
Meera menghembuskan napas. “Aku orang Asia bukan orang Eropa,” sahutnya. “Huh, kenapa Pak Tua Jenkins tidak memilih berbahasa Korea saja.”
“Menurutmu apa lebih baik kita mengunjunginya lalu bertanya dengan bahasa Inggris saja?"
“Jangan,” jawab Meera, keningnya berkerut. “Kau tidak dengar tadi Faris berkata beliau bukan orang yang ramah dan sering bermuka masam? Lagi pula, aku yakin dia tidak terlalu fasih berbahasa Inggris, mengingat dia jarang berinteraksi dengan orang-orang.”
Mereka berbelok ke kanan dan sampai di kaki lereng. Masih banyak orang-orang bermain di hamparan salju. Kedua lereng juga masih dipenuhi para wisatawan yang sedang bermain ski. Fabian, Owen, dan anak cowok yang lain juga masih di luar. Langit sudah mulai menggelap dan bulan muncul di langit.
Flo dan Meera sedang melewati halaman ketika seseorang memanggil mereka. “Flo! Meera!”
Mereka berdua menoleh ke asal suara. Sally yang memanggil. Ia berjalan mendekat setelah mengatakan sesuatu kepada dua orang temannya. Sally berbeda kelompok pertemanan dengan Flo dan Meera. Dulu mereka bertiga satu lingkaran yang sama, namun seiring berjalannya tahun senior ini mereka mulai menjauh. Hal baiknya adalah Sally orang yang ramah, jadi mereka masih saling menyapa jika bertemu di koridor sekolah dan mengobrol sesekali.
”Hai,” sapanya. “Kalian berdua dari mana saja? Aku tidak melihat kalian bermain ski atau snowboard di lereng,” tanyanya menatap mereka. Sally memakai celana ski dan topi rajut berwarna persik yang ada pom-pom di ujungnya.
“Kami baru kembali dari Desa Hudgemoors,” jawab Meera.
“Hudj apa?” kedua alis Sally bertemu.
“Hudgemoors. Di sana, tempatnya berada di balik lereng barat.” Flo membenarkan sambil menunjuk kaki lereng di dekat tebing.
“Aku tidak pernah mendengarnya.”
“Tentu saja. Tidak banyak wisatawan yang tahu tentang desa itu,” kata Flo. “Kami minum butterbeer dan mengobrol dengan dua anak muda lokal. Asyik sekali. Kami juga membeli roti dan keju di toko roti.” Flo mengangkat kantung kertas berisi belanjaannya dari Smooth Willow Bakery.
“Wah, sepertinya kalian bersenang-senang di sana,” sahut Sally lagi.
“Memang.” Meera mengangguk, dan tiba-tiba ia berseru. “Tunggu sebentar!”
Flo dan Sally menatapnya heran. Flo mengerutkan kening. “Apa?”
Meera menghadapkan tubuhnya kepada Sally, “Kau bisa berbahasa Perancis, kan? Aku ingat kau pernah bilang nenekmu keturunan Perancis.” Air mukanya terlihat sangat serius.
Mata Flo melebar, tentu saja gadis itu mengerti maksud perkataan Meera.
“I... ya.” Sally menjawab ragu, tidak yakin melihat ekspresi kedua temannya.
“Bagus sekali!” seru Meera. “Kami berencana mau pergi ke Hudgemoors lagi besok pagi. Apa kau mau ikut? Desanya kecil tapi nyaman. Oh, dan mereka menjual roti-roti paling harum yang pernah kucium.”
Sally tampak senang. “Mau, dong!” jawabnya langsung. “Tapi, apa hubungannya dengan aku yang bisa berbahasa Perancis?”
“Sebenarnya kami sedang menyelidiki sesuatu.” Flo menjelaskan. Mereka mulai berjalan beriringan menuju penginapan karena matahari sudah terbenam. “Courtney Woods semacam menyimpan banyak cerita, dan pembicaraan itu sangat populer di kalangan penduduk Hudgemoors. Aku dan Meera sangat tertarik. Kenalan baruku bilang kalau kami ingin mengetahuinya lebih dalam kami bisa bertanya pada seorang pak tua yang tinggal di sana. Tapi sayangnya beliau tidak suka menggunakan bahasa Inggris, dan katanya orangnya tidak ramah.”
Sally menatap salju di bawah kakinya. “Jadi, kalian mengajakku agar bisa mengobrol dengan pak tua itu?”
“Yap, benar,” jawab Flo sambil manggut-manggut. “Lagi pula, kalau ternyata beliau tidak terlalu pandai berbahasa Inggris percuma saja. Kami jadi tidak begitu mengerti keseluruhan ceritanya.”
“Oke, oke. Aku ikut.”
Mereka berganti pakaian dan membersihkan diri setelah sampai di penginapan. Flo menghabiskan waktu setengah jam duduk di dekat perapian untuk menghangatkan diri akibat terlalu lama berada di luar. Meera tidur di kamar. Setelah bertemu Monroe sebentar di lantai bawah penginapan ia langsung ke kamar dan berkata ingin tidur sebentar sebelum makan malam.