Hal pertama yang ketiga gadis itu sadari adalah ruang utama rumah Pak Tua Jenkins hangat. Perapiannya terbuat dari batu bata, dengan api menyala. Di atas perapian ada kepala patung rusa besar terpasang di tembok. Ruang utama itu besar, ada karpet beludru terhampar di bawah salah satu sofa dan kursi malas empuk untuk satu orang yang mereka asumsikan adalah tempat Pak Tua Jenkins duduk setiap hari. Beberapa foto terpajang di atas laci meja yang kebanyakan berwarna hitam putih.
Pak Tua Jenkins meletakkan koran di atas meja dan menaruh cerutunya ke dalam asbak. Ia menghilang sebentar ke sisi lain rumah sambil membawa cangkir kopinya, lalu kembali lagi dan duduk di kursi malas itu.
“Asseyez-vous s'il vous plait,” kata Pak Tua Jenkins menunjuk sofa di seberangnya.
Sally segera mengisyaratkan kedua temannya untuk duduk.
“Anggap saja rumah sendiri,” tambah pak tua itu sambil tersenyum.
Flo dan Meera tertegun.
“Kami pikir Anda tidak suka berbahasa Inggris,” ujar Flo, yang duduk berdempetan dengan Sally dan Meera di sofa.
“Il est vrai,” jawab Pak Tua Jenkins. “Tetapi bukan berarti aku tidak bisa berbahasa Inggris. Aku hanya tidak suka berinteraksi dengan orang-orang, dan memang lebih suka menggunakan bahasa negaraku sendiri.”
“Kami minta maaf kalau kedatangan kami mengganggu Anda,” tutur Sally segera.
“Tidak apa-apa,” balas Pak Tua Jenkins, suaranya serak. “Jarang-jarang ada anak muda di luar Hudgemoors yang mendatangiku. Aku juga senang karena sebelumnya kau menyapaku dengan bahasa Perancis.” Ia melihat Sally, tersenyum. “Nah, des enfants, apa yang ingin kalian tanyakan padaku?”
Flo, Sally, dan Meera segera duduk tegak, bersiap-siap menanyakan hal-hal yang sudah memenuhi otak mereka sejak kemarin. Sebelum mereka sempat membuka suara, Pak Tua Jenkins menyela, “Apa ini semacam tugas sekolah untuk liburan atau semacamnya?”
“Tidak,” jawab Meera. “Kami meyukai cerita misteri. Saat kemarin berkunjung kemari banyak sekali penduduk yang berbicara tentang cerita-cerita Hugdemoors, dan kami mendengar bahwa Anda tahu banyak tentang itu.”
“Ah, gadis-gadis yang penuh rasa ingin tahu,” guman Pak Tua Jenkins. Ia rileks di kursi malasnya seraya menyatukan kedua jari tangan. “Jadi, cerita yang mana dulu yang ingin kalian ketahui?”
“Yeti!” seru Flo langsung. Ia memang sudah penasaran sejak pertama kali Monroe menceritakan tentang itu. Di bayangan Flo, akan sangat keren kalau makhluk mitos itu ternyata benar-benar ada. “Itu cerita pertama yang kami dengar sejak tiba di Courtney Woods.”
“Ah, cerita yeti itu.” Pak Tua Jenkins berdecak. “Cerita paling populer di sekitar sini."
“Apakah makhluk itu benar-benar terlihat di lereng ini?” tanya Meera.
Pak Tua Jenkins menautkan kedua jari tangannya, ia terdiam sebentar. “Benar,” jawabnya. Flo dan Meera sudah membuka mulut tapi kemudian pak tua itu melanjutkan, “Itukah yang dibicarakan orang-orang saat ini?”
“Bukankah Anda yang menyebarkan cerita-cerita itu pertama kali?” tanya Flo, yang langsung disikut oleh Sally.
“Oui,” jawab pak tua itu lagi, ia berdiri untuk memasukkan beberapa batang kayu ke dalam perapian. “Aku sudah tinggal di desa ini lebih lama daripada sebagian besar penduduk. Awalnya aku hanya menceritakan hal-hal yang kualami kepada teman-temanku, dan sejak saat itu cerita-cerita itu menyebar seperti angin.” Ia kembali duduk, matanya yang keriput menatap satu persatu ketiga gadis yang duduk di hadapannya.
“Aku masih sangat muda saat pertama kali melihat yeti itu. Sangat besar dengan bulu putih yang lebat. Wajahnya seperti primata, tapi dengan taring yang panjang. Matanya berwarna merah. Di suatu malam ketika badai salju, aku terpaksa harus pulang dari hutan mendaki lereng karena jalan yang ada di bawah tebing tertimbun salju. Saat itulah aku melihatnya.” Pak Tua Jenkins terdiam sesaat.
Ia melanjutkan. “Makhluk itu sedang berjalan di bagian atas lereng. Awalnya aku mengira itu adalah sejenis beruang, tetapi ternyata jauh lebih besar dan makhluk itu berjalan dengan dua kaki. Aku penasaran, aku berjalan mendekatinya. Ketika diriku sudah semakin dekat, tiba-tiba makhluk itu berbalik. Dia menatapku dengan kedua matanya yang merah. Dia meraung padaku.”
“Lalu apa yang terjadi?” tanya Flo tidak sabar.
“Aku segera berlari. Makhluk itu mengejar tepat di belakangku. Saat itu aku benar-benar panik dan tidak tahu harus bagaimana. Pandanganku kabur karena badai salju. Aku masih mendengar makhluk itu meraung di belakangku. Dan tiba-tiba, dia menangkapku.”
Flo, Meera, dan Sally menahan napas.
“Yeti itu mencakar-cakar tubuhku. Aku berusaha melepaskan diri, tapi dia meraung tepat di depan wajahku. Teringat aku masih memegang kayu runcing yang kugunakan untuk berburu, kuhantamkan kayu itu ke wajahnya. Yeti itu meraung, dan aku melepaskan diri dan kembali berlari. Karena lelah dan tidak sanggup berlari lagi, aku jatuh terguling ke kaki lereng,” cerita Pak Tua Jenkins.
“Aku terbangun saat matahari sudah bersinar dan dalam keadaan tertimbum salju. Tuhan masih menyelamatkanku,” sambung pak tua itu, ia meluruskan kedua kakinya di depan kursi. “Itu adalah pertemuanku yang pertama dan terakhir dengan yeti itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas walau sudah bertahun-tahun yang lalu.”