Ketiga gadis itu mampir ke Hudge’s untuk minum butterbeer, dengan tambahan ekstra krim untuk Flo. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit, mengingat mereka berangkat dari penginapan pagi-pagi sekali. Suasana di Hudge’s masih sama seperti pertama kali Flo dan Meera datang kemari. Ramai dan berbau krim kocok. Sally meminum butterbeernya lamat-lamat, merasakan kelezatannya.
Flo berkata dari seberang meja. “Enak, kan? Sudah kubilang buttebeer di sini termasuk butterbeer terenak yang pernah kau coba.” Ia meminum miliknya sendiri. “Kau harus mencoba memakai krim banyak-banyak, rasanya lebih nikmat.”
“Lama-lama kau nanti mabuk krim kocok, Flo,” komentar Meera di sebelahnya.
“Aku akan mengambil resiko itu,” jawab Flo tetap riang. Gadis berambut pendek cokelat sebahu itu meminum kembali minumannya.
Sally menaruh gelasnya. Ia mengetuk-ngetuk meja. “Aku lapar,” ujarnya. “Apa kalian tidak ingin makan sesuatu?”
“Aku mau,” jawab Flo. Ia mengambil daftar menu. “Mari kita lihat. Sepertinya kue pumpkin spice ini enak.”
Mereka memesan makanan berbahan dasar labu dengan jenis yang berbeda. Flo memesan kue pumpkin spice, Meera memesan pai labu berlapis karamel, sedangkan Sally memesan sup labu dengan tomat. Gadis itu berkata ia masih lapar walau sudah sarapan di penginapan.
Meera membuka topik obrolan di sela-sela sesi makan mereka. “Jadi,” mulainya. “Bagaimana sejauh ini pendapat kalian mengenai ini semua?"
Flo dan Sally tidak langsung menjawab. Mereka berpikir sebentar.
Flo yang pertama kali membuka suara. “Setelah mendengar cerita-cerita itu dari Pak Tua Jenkins secara langsung, aku merasa cerita itu benar-benar nyata.” Ia menyendok kuenya. “Terutama tentang yeti. Siapa yang menyangka ternyata beliau punya bekas luka sebesar itu? Aku saja rada ngilu membayangkan lengan bagian bawahnya.” Flo berkata pada Meera. “Hei, Meera, boleh kucicipi pai labumu? Karamelnya terlihat menggiurkan sekali.”
Meera menyodorkan pai labunya pada Flo, yang langsung ditusuk oleh garpu gadis berambut cokelat itu. “Tapi aku juga ingin mencoba kue pumpkin spicemu.”
“Silakan saja.” Flo mempersilakan sambil mengunyah pai labu.
“Menurutku,” buka Sally, ia terdiam sebentar. “Aku masih kurang bisa mempercayainya. Maksudku, bukankah kalau di daerah ini ada yeti berkeliaran seseorang seharusnya sudah menghubungi pihak berwenang? Janggal sekali rasanya.”
“Aku juga berpikiran begitu,” timpal Flo dengan mulut penuh kue. “Mitosnya, yeti itu primata raksasa penghuni pegunungan Himalaya dan daerah sekitar Nepal. Daerah itu jauh sekali dari Courtney Woods dan Hudgemoors. Sepertinya yeti itu nyasar sampai kemari.”
“Ditambah Courtney Woods adalah daerah wisata. Kemungkinannya kecil tidak ada wisatawan yang tidak pernah melihat makhluk itu atau mendengar tentang ceritanya. Hudgemoors tidak begitu jauh dari penginapan, dan Courtney Woods bukan semacam daerah bebas yang hanya sedikit orang tahu,” kata Sally.
“Tapi, Sally, kalau dipikir lagi Courtney Woods terpisah cukup jauh dari kota. Dan di daerah ini hanya ada penginapan dan tempat bermain ski,” Meera beropini. “Monroe mengetahui tentang Hudgemoors karena dia mengikuti survei menyeluruh tentang daerah ini, lengkap dengan hutan dan pegunungan di belakangnya. Dan Faris bilang Hudgemoors sudah terpisah dari penginapan Courtney Woods. Para pegawai penginapan juga bermain aman dengan tutup mulut tentang hal-hal yang berhubungan dengan Hudgemoors. Kurasa para wisatawan juga tidak ambil pusing tentang keberadaan desa ini. Hudgemoors bukan desa unik atau besar seperti yang kita lihat di internet. Hanya desa kecil biasa di dataran bersalju.” Ia berhenti sebentar untuk memotong painya. “Aku rasa itu semua masuk akal.”