Sally, Meera, dan Flo sampai di penginapan hampir pukul satu saat orang-orang sedang makan siang. Di lantai bawah meja-meja sudah penuh. Mereka bertiga celingak-celinguk mencari meja teman-teman yang lain. Meera melihat Monroe berjalan menghampiri mereka.
Cowok itu memberi pelukan singkat pada Meera. “Baru kembali dari Hudgemoors?” tanyanya.
“Ya, tempat itu semacam sangat menarik untuk dilewatkan,” jawab Meera.
“Kurasa kalian sangat tertarik dengan cerita yang kuceritakan kemarin.”
“Benar sekali!” seru Flo sambil menjentikkan jari.
Sally mengelus-elus perutnya. “Hei, aku lapar. Bisakah kita mengambil makan siang sekarang?” matanya menelusuri makanan-makanan yang sudah tersaji di area makan.
“Sally, kau baru saja makan sup labu dengan tomat dua jam yang lalu,” komentar Flo.
“Kalian bertiga ambillah makan siang. Meja kami ada di sebelah sana.” Monroe menunjuk meja panjang di mana teman-teman seangkatan mereka sedang menikmati makan siang. Ia melirik kalung yang dipakai Meera. “Kau terlihat cantik memakainya.” Kemudian ia berlalu. “Aku ke sana dulu.”
“Jadi,” Sally berbicara dengan nada seperti ia baru saja mengetahui sesuatu yang besar. “Kau baru dihadiahi kalung oleh Monroe?”
“Aku juga merasa sebelumnya kau tidak pernah memakai kalung itu,” timpal Flo.
Meera tersenyum salah tingkah. Serahkan pada Monroe untuk membuat wajahnya memerah.
“Kapan dia memberikan kalung itu padamu?” tanya Sally saat mereka berjalan mengambil makan siang.
“Tadi malam.”
“Apa? Jadi tadi malam kau menyelinap keluar dari kamar?” serahkan pada Flo untuk berbicara lebih keras dari yang ia kehendaki.
“Apa yang kalian lakukan?” Sally ikut-ikutan, matanya membulat penasaran.
"Jam berapa kalian keluar?” Flo menambahkan, yang sudah pasti niatnya untuk menggoda Meera.
Meera memutar bola matanya. Ia mendorong Sally dan Flo. “Kami tidak melakukan apa-apa!” serunya. “Hari ini adalah hari jadi kami yang kedelapan bulan, dan dia memberikanku kalung. Itu saja. Dan bisakah kalian berhenti menatapku seperti aku habis melakukan perampokan pasar?"
***
Flo memutuskan untuk bermain ski setelah makan siang bersama Karin, Nuna, dan Zizzy. Dengan sedikit paksaan Zizzy akhirnya mau ikut bersama mereka ke lereng. Sayang sekali bukan, gadis itu jauh-jauh datang kemari hanya untuk duduk-duduk saja di depan perapian sambil makan kue? Maka dari itu Flo memaksanya untuk ikut serta. Zizzy tidak membawa perlengkapan bermain ski atau snowboard, jadi ia meminjam milik Meera. Sementara Meera dan Sally berniat untuk pergi ke sauna.
Ketika mereka sedang mengobrol santai, Meera melihat pegawai yang tadi malam tidak sengaja Monroe tabrak, atau tepatnya pagi tadi, karena mereka bertemu sekitar pukul dua pagi. Meera mengamatinya. Pegawai itu bolak-balik bersama pegawai yang lain. Dia mengangkat barang, berjalan, lalu keluar melalui pintu depan, kemudian kembali lagi.
“Omong-omong, tadi pagi sebelum fajar aku sempat melihat pegawai itu.”
Meera menoleh, mendapati Flo berdiri di sebelahnya sambil meminum kopi moka dengan krim di atasnya. Flo memperhatikan pegawai itu juga, sebelum dia keluar melalui pintu depan lagi.
“Aku turun ke bawah untuk mengambil air. Lalu aku melihat pegawai itu masuk dari pintu belakang, seperti mengendap-endap. Dia langsung naik ke atas tetapi tidak sengaja menjatuhkan sesuatu, jadi aku memungut barang itu dan memanggilnya,” cerita Flo.
Mata Meera langsung terbuka lebar. Mata hitamnya berkilau seperti baru menemukan kepingan puzzle. “Aku juga melihatnya,” sahut Meera. “Monroe tidak sengaja menabraknya saat kami akan kembali ke kamar. Dia tampak terkejut, lantas buru-buru keluar melalui pintu belakang.”
Flo hanya manggut-manggut sambil menikmati kopinya.
“Apakah menurutmu orang itu sedikit aneh?” tanya Meera.
Flo mengerutkan bibirnya secara miring. “Lumayan,” katanya. “Dia menjatuhkan sesuatu, semacam cincin yang terbuat dari kayu tapi jauh lebih besar dan tebal. Seperti donat kecil. Ada ukiran di sana tapi aku tidak sempat membacanya.”
“Aku sudah merasa aneh saat pertama kali melihatnya saat pukul dua pagi,” ujar Meera. “Untuk apa coba dia pergi ke hutan pada pukul itu?”
“Dia, kan, pegawai penginapan. Mungkin ada hal yang harus dikerjakannya, atau ada pipa bocor. Lagi pula, di balik pintu belakang penginapan ini tidak langsung terdapat pohon-pohon yang rapat.”
“Aku tetap merasa dia sedikit aneh dan mencurigakan.”
Flo menyesap kopinya sekali lagi. “Pegawai Berkumis,” gumamnya. “Mari kita sebut dia dengan nama itu. Dia punya kumis yang cukup lebat.”
“Baiklah. Pegawai Berkumis.” Meera mengarahkan dua jari ke matanya lalu ke arah pintu depan. “Aku mengawasimu.”
Sally datang beberapa saat kemudian sambil membawa handuk, lalu ia dan Meera pergi bersama ke sauna. Flo naik ke kamarnya untuk memanggil Karin, Nuna, dan Zizzy. Gadis itu memakai perlengkapan skinya. Ia baru membeli kacamata ski baru, omong-omong. Keempat remaja itu segera bergegas menuju lereng. Karin dan Flo ingin langsung naik gondola agar lebih cepat sampai di atas lereng, namun Nuna ingin berseluncur santai-santai dulu sebelum naik ke atas. Mereka bertiga berniat bermain di lereng barat, walau Zizzy bersikeras untuk bermain di lereng timur.
“Ayolah, Zee,” gerutu Karin, ia menunjuk lereng timur dengan tongkat skinya. “Tidak seru berseluncur di sana. Itu daerah hijau dan lebih banyak anak-anak dan orang dewasa pemula yang bermain di sana.”
“Aku memang pemula,” sahut Zizzy, berusaha membuat dirinya nyaman mengenakan papan ski. “Kan, kalian yang memaksaku untuk datang ke sini. Aku tidak pandai bermain ski, jadi aku ingin bermain di lereng timur saja.”
“Kau bisa bermain di lereng barat bagian bawahnya. Teman-teman kita juga banyak bermain di sana,” kata Nuna.
“Sudah kubilang aku tidak mau,” balas Zizzy masih teguh pendirian. “Kalau begini lebih baik aku di penginapan saja.”
Ketiga temannya menghela napas. Zizzy memang susah sekali diajak bersenang-senang. Niat mereka pun mengajak gadis itu agar dirinya lebih bersenang-senang, karena mereka sedang dalam karyawisata. Sekarang libur musim dingin dan mereka berada di lereng salju, kenapa hanya mengurung diri di dalam rumah saja?
Mereka bertiga akhirnya mengajari Zizzy cara bermain ski di lereng timur. Nuna memberitahu bagaimana cara menggunakan tongkat ski dan Flo mendemonstrasikan cara meluncur yang benar. Karin lebih banyak bicara daripada bertindak, ia bosan. Zizzy tidak bohong ketika ia bilang dirinya tidak suka olahraga, karena gadis itu benar-benar tidak tahu cara bermain ski. Setelah hampir satu jam diajari dan terjatuh dan guling-gulingan di salju, Zizzy akhirnya mampu meluncur dengan seimbang dan percaya diri. Flo dan Karin sudah sibuk sendiri membuat boneka salju.