Hampir satu jam lamanya Sally dan Meera menghabiskan waktu berdiam diri di dalam sauna. Mereka berdua mempunyai tujuan yang sama, mengecilkan anggota tubuh. Meera merasa perutnya buncit dan Sally merasa lengannya terlalu besar. Jadi itulah yang mereka lakukan sekarang, berusaha mengeluarkan lemak-lemak melalui keringat mereka yang bercucuran.
Wajah Sally sudah memerah dan ia mulai terengah-engah. Mungkin satu jam di dalam sauna di tengah dataran bersalju memang sedikit ekstrem. Ia bertanya pada Meera. “Apa kau sudah selesai?” temannya itu masih berusaha untuk duduk tengap, tapi wajahnya juga sudah penuh keringat.
“Sebentar lagi,” sahut Meera. “Aku merasa lemak di perutku mulai mengempis.”
Sally mengipas-ngipas lehernya, ia kepanasan.
Beberapa lama kemudian, saat Sally sudah lemas dan kegerahan, mereka akhirnya keluar dari sauna. Ia merasa tubuhnya menjadi ringan. Mereka mengambil baju di ruang loker yang masih termasuk area sauna dan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.
Tempat sauna itu berada di bagian belakang penginapan. Ada lima bilik sauna dan enam kamar mandi besar yang memiliki bak mandi di dalamnya. Meera dan Sally menghabiskan waktu untuk berendam air hangat menggunakan bathbomb yang telah disediakan. Tempat sauna itu cukup bagus, dengan ruang loker menggunakan tembok berkaca tepat mengarah ke hutan.
Sally dan Meera membereskan diri di ruang loker. Meera sedang merapikan pakaiannya sementara Sally mengusap-usap rambutnya, lalu ia membungkusnya dengan handuk. Mereka hanya berdua saja di ruang loker ketika menyadari kabut muncul di sekitar hutan.
Sally yang pertama kali menyadarinya. “Meera, coba lihat itu,” panggil Sally, ia berjalan mendekat ke tembok kaca. “Hutannya berkabut. Memangnya pukul berapa sekarang?” tanyanya sambil menoleh ke jam tangan yang ia kenakan. “Pukul empat lewat empat puluh menit.”
Meera mendekat pada Sally.
“Wow, suhunya turun delapan derajat,” gumam Sally, ia melihat temperatur di ponselnya. “Ini bukan pertanda baik.”
“Sekarang sudah hampir gelap. Bukankah wajar suhunya turun?” tanya Meera sambil mengamati hutan melalui kaca yang berembun. Tidak banyak yang bisa dilihat, sebagian besar kaca tertutup uap dingin.
“Tidak. Biasanya hanya turun empat sampai lima derajat pada malam hari. Aku pernah mengecek rata-rata suhu udara di sini,” jawab Sally. “Nah lihat, suhunya turun lagi.”
Meera melangkah di sekitar tembok kaca itu. Ia mencari bagian kaca yang belum banyak tertutup uap dan kabut. Gadis itu mengelap kaca yang berembun dengan telapak tangannya dan mengintip keluar. Kabut agak menipis di bagian sini. Monroe benar, pohon-pohon di Hutan Courtney memang rapat. Selain mendengar cerita dari pacarnya, ia belum pernah melihat hutan itu secara langsung dari dekat. Hanya pernah melihat dari jauh ketika dirinya dan Flo berada di atas gondola.
“Kau ingat apa yang Pak Tua Jenkins katakan tentang hutan ini?” Sally muncul di sebelah Meera, memandang lurus melewati kaca. Meera menunggu ucapan Sally, merasa bahwa mereka memikirkan hal yang sama.
“Aku ingin melihat kelinci salju.”
Meera serasa terjatuh dari kursi. “Kukira kau berpikir tentang misteri cerita hutan ini,” tukasnya. “Aku penasaran tentang Hutan Courtney. Dan, aku juga ingin melihat kelinci salju. Kalau kita beruntung mungkin kita juga bisa melihat rusa.”
Seperti mendengar ucapan mereka, seekor kelinci keluar dengan was-was dari balik salah satu pohon. Kelinci itu melompat-lompat kecil di hamparan salju yang memisahkan bangunan penginapan dengan hutan sejauh dua meter. Hewan itu berdiri dengan kaki belakangnya, lalu mengendus-endus udara dengan hidung mungil yang kembang kempis.