Sekitar pukul 8 malam angin terus berhembus kencang sampai salju turun dengan lebatnya. Badai salju melanda Courtney Woods. Orang-orang yang sedang menghabiskan waktu di luar terburu-buru masuk ke dalam dan para pegawai menutup pintu penginapan. Salju menampar-nampar jendela dan pintu kaca. Menurut berita yang disiarkan, badai salju melanda hampir seluruh wilayah barat Colorado. Suhu udara semakin menurun semenjak senja dan angin terus berhembus kencang. Sally benar mengenai perkiraan cuaca ini.
“Untungnya kita sudah kembali ke penginapan sore tadi,” gumam Flo. Ia menggerakkan pion merahnya melewati lima kotak. Nuna mengulurkan tangan untuk mengambil dadu di tengah papan permainan.
Flo, Meera, Karin, dan Nuna sedang duduk bersila di lantai kamar mereka sambil bermain ludo. Nuna melempar dadu dan mendapat angka enam. Ia mengeluarkan satu pion hijau. “Padahal dari pagi sampai siang langit berwarna cerah,” katanya sambil melempar dadu lagi.
Malam mulai larut dan mereka satu persatu naik ke tempat tidur. Karin berbaring di kasurnya sambil mendengarkan lagu, sementara Flo dan Nuna duduk berhadapan bermain ular tangga. Meera turun ke lantai bawah untuk menemui Monroe, mungkin ingin mengucapkan selamat malam.
Flo mengocok dadu dan menjatuhkannya, angka satu. “Ah, kenapa aku dari tadi mendapat angka yang kecil-kecil terus,” keluhnya, ia menggerakkan pion. Ini gilirannya yang kelima dan gadis itu masih berada di kotak nomor dua belas.
Nuna memungut dadu. “Perhatikan dan pelajari.” Ia mengocok dan melemparkannya ke tengah papan permainan, angka enam. Nuna menggerakkan pionnya ke kotak nomor tiga puluh enam, lalu menaiki tangga ke kotak nomor lima puluh lima.
“Kenapa kau selalu mendapatkan angka enam.” Flo mendengus. Ia meraih dadu dan melemparnya lagi, angka dua.
“Itu yang dinamakan seorang ahli,” sahut Nuna sambil nyengir.
“Ya, ya, ya.” Flo menggerakkan pionnya ke kotak nomor empat belas dan naik ke kotak nomor dua puluh delapan. “Paling tidak akhirnya aku mendapat tangga. Ini namanya kemajuan.”
Flo kalah dua kotak dari Nuna. Saat Nuna melempar dadu dan mendapat angka lima, Flo sudah berada di kotak nomor sembilan puluh delapan. Nuna memang cukup beruntung dalam permainan ular tangga. Flo mendengus, ia memanyunkan bibirnya.
“Kau mirip sekali dengan Alan,” ujar Nuna sambil terkekeh. “Dia selalu tidak terima kalau aku menang dan akhirnya merajuk.” Nuna dan Alan sebagai saudara kembar tidak identik cukup dekat saat berada di rumah. Walaupun saat di sekolah mereka tidak mengobrol terlalu sering.
Flo melipat papan permainan sembari Nuna membereskan pion-pion dan dadu. “Kau lihat tadi aku tinggal dua kotak lagi. Dua kotak lagi. Mengetahui keberuntunganku dalam permainan ini, aku mungkin akan mendapat angka satu atau dua.” Ia melompat berdiri, dan melihat Karin masih memakai earphonenya sambil bersenandung pelan.
Nuna naik ke tempat tidur di sebelah tempat tidur Flo dan Karin, lalu menarik selimut sampai menutupi hidungnya.
“Nuna, kau sudah mau tidur?” tanya Flo yang masih berdiri di tempatnya, sama sekali belum merasa ngantuk.
Nuna menjawab dari balik selimutnya. “Iya, aku sudah mengantuk.” Ia merapatkan selimut di sekeliling tubuhnya. “Malam ini dingin sekali. Kurasa aku akan menghabiskan sisa hari karyawisata sambil bergumul dalam selimut.” Kemudian gadis itu memejamkan mata.
Flo melihat seisi kamar dengan bibir mengerucut. Nuna sudah tidur dan Karin sibuk dengan ponselnya dan apapun lagu yang sedang ia dengar. Badai salju terus berlangsung di luar, membuat suasana kamar mereka semakin membeku. Mengenakan dua lapis kaos kaki dan pakaian tebal tidak cukup membuatnya hangat. Flo meraih tas ranselnya, mengeluarkan satu bungkus besar Hot Cheetos yang ia bawa untuk cemilan.
Flo naik ke tempat tidur dan memutuskan menonton video di ponselnya sembari berbagi Hot Cheetos dengan Karin. Ia membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal, sementara Karin hanya memakai kaos panjang.
“Apa kau tidak merasa kedinginan?” Flo heran dengan orang-orang yang tidak merasa dingin. Kemarin Landon hanya mengenakan celana pendek, dan sekarang Karin hanya memakai kaos panjang saat badai salju.
Karin menjawab sambil mengunyah Cheetos. “Aku dari Alaska, kau ingat? Dingin sudah menjadi bagian dari diriku.” Ia mengetik di ponselnya. Karin akhir-akhir ini sering mengobrol dengan seorang cowok dari sekolah lain yang ia temui saat mengikuti dasalomba akademi sebagai anggota cadangan di awal musim dingin.
“Kau masih sering berkirim pesan dengan cowok dari dasalomba itu?” tanya Flo, ia meraih beberapa Cheetos.
Karin mengangguk. “Ya, kurasa dia cukup baik.” Karin bergelut menyamankan posisinya. “Dan ternyata dia sangat pintar. Kau tahu, dia sudah mengikuti lomba karya ilmiah sejak SMP."
“Siapa namanya lagi? Aku lupa. Zane atau Seth?”