Sally tampaknya masih bersemangat larut malam ini. Ia tidak tidur atau hanya berleha-leha saja, alih-alih gadis itu mengajak orang-orang mengobrol. Sally bertanya pada Flo dan Meera tentang pendapat mereka mengenai kegiatan-kegiatan hari ini, sampai dengan insiden Pak Gertix, salah satu guru koordinator karyawisata, terpeleset saat makan malam. Flo dan Meera menjadi tidak bosan dan dengan senang hati terus ikut mengobrol. Dina lebih banyak diam karena ia sangat mengantuk.
“Flo, kau masih ingat Derek, pacarku?” tanya Sally. “Aku serasa ingin putus saja darinya.”
Sally terkadang suka bercerita pada Flo. Mereka punya tiga kelas yang sama setiap hari di sekolah yang membuat keduanya cukup sering mengobrol. Derek adalah cowok yang sudah lima bulan ini dipacari Sally. Seorang anak kuliah yang belajar di sekolah semi-militer. Sally kenal Derek dari kakak laki-lakinya.
“Cowok anak kuliahan yang pernah kau ceritakan padaku itu?” Flo memastikan.
Sesaat kemudian beberapa cowok masuk ke ruang duduk. Mereka adalah para cowok. Fabian bersalto dan menjatuhkan dirinya di sofa di sebelah Sally, disusul oleh Alan, Landon, dan Raul. Raul duduk di sebelah Flo, sedangkan Eagle duduk di seberangnya.
“Apa kau benar-benar perlu melakukan salto saat ini juga?” tanya Sally pada Fabian.
Cowok itu menjawab santai. “Aku melakukannya karena aku bisa.”
Mereka mengobrol ringan dan sesekali tertawa. Obrolan didominasi oleh Fabian dengan segala macam tingkahnya. Dina meminjam bahu Alan untuk bersandar. Gadis itu walaupun dari tadi sudah sangat mengantuk, tidak kunjung bisa tidur juga. Landon dan Eagle bermain game di ponsel mereka. Meera bertanya Monroe ke mana, Fabian berkata dia sudah terlelap duluan. Karena bosan, Sally mengambil kartu UNO yang dibawanya lalu mengajak semua orang untuk bermain.
Fabian sedang memilah-milah kartunya ketika ia tiba-tiba mendongak. “Hawanya mulai berubah.” Ia berkata dengan nada serius dan tenang, tapi cukup membuat bulu kuduk meremang.
Semua orang menoleh padanya. Tertegun.
Sally yang pertama memecah keheningan. “Apaan, sih, Fabian,” sergahnya. Ia meneruskan permainan dengan menaruh dua kartu kuning nomor lima di atas kartu sebelumnya. Mereka semua duduk di lantai melingkari meja. Kecuali Dina, ia sudah terlelap di sofa.
“Kau kebiasaan menyeram-nyeramkan suasana,” timpal Flo sambil menaruh kartu biru nomor tiga dengan tidak acuh, walau sebenarnya dirinya agak terpengaruh oleh perkataan Fabian.
“Aku serius,” ujar Fabian dengan tampang terserius yang pernah ia tunjukkan. Cowok itu mengangkat tubuhnya melihat sekeliling. Lantai dua ini sepi, hanya ada mereka di ruang duduk. Ia mendongak ke atas melirik jam dinding, diikuti oleh anak-anak yang lain. Pukul satu lewat empat puluh delapan menit.
“Kau sebenarnya sedang apa?” tanya Landon pada Fabian, sebelum menaruh kartu plus empat di tengah meja.
Raul mengerang dan mengambil empat kartu baru karena ia tidak punya kartu plus.
Landon berkata, “Warna biru.”
Eagle melempar kartu biru skip, yang berarti melewatkan Fabian dan langsung giliran Sally.
Perhatian Fabian kembali pada teman-temannya. “Hampir pukul dua ternyata,” gumamnya.
Badai salju masih berlangsung di luar, tetapi keadaan di lantai dua sepi. Suara-suara pegawai atau wisatawan juga tidak terdengar dari lantai bawah. Anak-anak menunggu cowok itu melanjutkan.
“Hei, kalian ingat ketika kita berkemah di hutan musim panas lalu?” Fabian bertanya pada anak-anak cowok.
Para cowok terdiam. Alan menaruh kartu merah nomor tujuhnya dengan perlahan, ia sepertinya mengingat sesuatu.
Lagi, seseorang memecah keheningan. Landon berseru, “Ah, kau hanya terlalu banyak berimajinasi saja.” Ia melempar dua kartu nomor dua berwarna hijau dan merah. Tersisa tiga kartu di tangannya.
“Jelas-jelas beliau hanya orang lewat saja. Tidak jauh dari tempat kita berkemah, masih ada beberapa vila untuk menginap,” kata Eagle sambil menaruh kartunya.
“Kalian sedang membicarakan apa, sih?” tanya Flo.
“Seorang nenek-nenek tua lewat di depan tenda kami saat kami sedang menyalakan api unggun. Beliau menanyakan arah,” jawab Eagle. “Dia membawa keranjang buah, atau biji-bijian besar, aku tidak tahu. Nenek itu menawarkannya pada kami tapi kami menolak, lalu menghilang begitu saja.”
“Apa maksudmu menghilang begitu saja?” tanya Sally dengan mata membulat. Ia jelas tertarik.
“Maksudku dia pergi begitu saja. Kami, kan, sedang berada di hutan.”
“Dan Fabian bilang dia merasakan hawa aneh ketika nenek-nenek itu lewat,” timpal Raul yang duduk di sebelah Eagle sambil tersenyum iseng.
Flo langsung berbalik menatap Fabian. Ia bergidik. “Kau mengerikan.”
Fabian menghempaskan empat kartu dari keempat warna bernomor sembilan ke atas meja. Tidak tersisa satu pun kartu di tangannya. “Kita menyalakan api unggun pukul dua pagi, woi. Untuk apa seorang nenek-nenek berkeliaran di hutan selarut itu?”
“Mungkin dia baru kembali setelah memetik buah,” sahut Alan polos, ia mengangkat bahu. Cowok itu mengambil kartu baru dari tumpukan kartu.
Meera dari tadi hanya diam saja. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Sebenarnya dirinya juga merasakan hal yang sama dengan Fabian. Tepat saat Fabian mengatakan hawanya mulai berubah, Meera juga merasakannya. Gadis itu melirik ke arah kaca pintu balkon, lalu kembali pada teman-temannya.
Fabian tiba-tiba terkesiap. “Di sana. Aku melihatnya. Melewati kaca pintu balkon.” Ia menunjuk-nunjuk pintu balkon dengan mata membelalak.
“Ah, jangan bercanda, dong.” Flo mengangkat tubuhnya dan mendorong wajah Fabian. Ia menoleh ke kaca pintu. Tidak ada apa-apa.
“Apa, apa, ada apa?” tanya Raul dengan nada heboh. Ia celingak-celinguk. Raul cukup penakut jika sudah menyangkut hal-hal seperti ini. Ia merapatkan diri pada Landon, yang langsung didorong menjauh oleh cowok itu.
Fabian mengusap kedua matanya dengan telapak tangan. Ia bergumam. “Ya, ampun, seram sekali.”
Anak-anak bertanya apa maksud dari aksi Fabian tadi. Mereka mulai ribut, berspekulasi tentang berbagai kemungkinan.
Meera berbisik pada Flo. ”Itu benar,” ucapnya. “Aku juga melihatnya. Sesosok bayangan putih beberapa kali melewati pintu itu.”
Flo menatap Meera dengan pandangan horror.
Sally memajukan wajahnya pada kedua temannya. “Apa yang kalian bicarakan?”