Yeti.
Besar. Berbulu putih. Berjalan di sekitar lereng barat.
Meera berlari sekuat tenaga melewati koridor kamar perempuan. Ia melihat Flo dan Sally di dekat pintu kamar mereka dan langsung berteriak memanggil kedua gadis itu. Ia menubruk Flo karena tidak bisa menghentikan larinya. Dina sudah masuk ke kamarnya dan Sally akan membuka pintu, ketika Meera langsung menarik lengannya.
“Aku melihatnya! Aku melihatnya!” seru Meera dengan panik dan bersemangat. Keringat hangat membanjiri dahinya. “Aku bisa melihatnya dari pintu balkon.”
“Kenapa, apa yang kau lihat?” tanya Sally di antara kehebohan Meera.
Meera sudah berlari duluan menuju ruang duduk dan menyuruh mereka untuk mengikutinya. “Kalian harus melihatnya sendiri!” ia melompat-lompat penuh energi.
“Kalau itu hantu yang kau lihat di luar pintu balkon aku tidak mau ikut!” seru Flo di belakangnya. Ia dan Sally tertinggal di belakang Meera, mereka berdua berjalan lambat.
“Tidak, bukan itu, konyol!” teriak Meera, antara ingin kembali dan menarik Sally dan Flo atau ingin segera sampai di balkon untuk melihat makhluk itu. “Yeti! Makhluk itu ada di sana!” setelah kalimat itu keluar Meera berlari meninggalkan kedua temannya. Tidak, ia tidak boleh kehilangan yeti itu.
Flo dan Sally serentak saling berpandangan. Mata mereka melebar dan jantung mereka berdegup kencang. Keduanya langsung berlari secepat mungkin menyusul Meera.
Meera sampai di depan pintu balkon sambil terengah-engah. Ia mendekatkan wajahnya ke kaca pintu dan mengelap uap-uap air yang menutupinya. Sambil memicingkan mata, ia mengamati di mana dirinya melihat yeti itu. Beruntungnya badai salju sudah mereda. Yeti itu masih ada di sana. Berjalan dengan langkah berat ke belakang bagian lereng barat.
Flo dan Sally sampai dan mereka langsung buru-buru melihat keluar dengan mata memicing.
Flo berseru. “Ya Tuhan! Itukah yang sedang berjalan di lereng barat?!” ia melekatkan wajahnya pada kaca.
Sally mencondongkan kepala mengikuti arah pandangan Flo, lalu ia terbelakak. “Aku tidak menyangka akan bisa melihat yeti itu!” Sally bergerak dengan rusuh, berusaha mencari tempat untuk melihat yeti itu dengan baik. “Flo, minggir sebentar, aku ingin membuka balkon ini.”
Flo bergeser dan Sally dibantu oleh Meera membuka pintu itu. Agak macet. Mereka mendorong lebih keras sambil menekan gagangnya. Pasti akibat badai salju yang menyebabkan engselnya macet karena membeku. Meera menghentakkan pintu itu selagi Flo dan Sally mendorongnya. Akhirnya pintu itu terbuka dengan bunyi dobrakan dan angin bersalju langsung menyambut mereka.
Mereka bertiga melangkah ke luar pintu balkon dan berdiri berjejer di tepi pagar. Karena sisa-sisa badai masih berhembus dan fajar belum menyingsing, mereka tidak bisa melihat yeti itu dengan lebih jelas. Langit berwarna hitam kebiruan dan bintang-bintang masih terlihat. Yeti itu besar, ketiga gadis itu bisa melihat angin menghembuskan bulu-bulunya. Mereka tidak bisa melihat bagian depan tubuh yeti itu, hanya punggung belakangnya saja. Walaupun dengan pencahayaan yang minim, yeti itu masih mancolok dari sini. Dia berjalan di bagian atas lereng barat, mengitarinya, menuju bagian belakang lereng itu. Ke arah Hudgemoors.
“Ayo kita ikuti dia!” Flo memperhatikan makhluk itu sekali lagi sebelum berbalik. “Selagi yeti itu masih tampak, kita bisa mengikutinya dan mengetahui kemana dia pergi.” Flo berdiri tidak bisa diam, ia berdebar-debar. “Aku sangat bersemangat!”
Meera menunjukkan antusiasme yang sama. Ia menghampiri Flo sembari memperhatikan yeti itu yang semakin menjauh. “Firasatku dia melangkah ke arah Hudgemoors,” ujarnya, mengamati. “Kita sudah pernah ke sana. Ini berita bagus karena kita sudah tahu daerah itu!” ia berbelok masuk ke ruang duduk. “Kita harus cepat-cepat sebelum yeti itu menghilang.”
Sally menatap kedua temannya dengan tercengang. “Kalian serius?” ia berbalik meninggalkan pagar balkon. “Sekarang baru pukul enam dan fajar baru muncul satu jam lagi! Ditambah sedang badai salju dan suhu udara di luar di bawah minus rata-rata!” Sally mengecek ponselnya sambil berjalan menyusul Flo dan Meera. “Apa kalian sudah melupakan cerita Pak Tua Jenkins?”
“Badai salju sudah mereda.” Meera berjalan cepat melewati koridor kamar perempuan. “Kita dari awal sampai detik ini selalu membicarakan dan mencari tahu tentang yeti dan cerita lainnya. Sekarang yeti itu muncul di hadapan kita! Apa kau pikir akan melewatkannya begitu saja?”
“Masa bodoh dengan ucapan Pak Tua Jenkins!” Flo melesat melewati Meera menuju kamarnya. Gadis itu walaupun agak penakut dengan hantu, tetapi selalu bersemangat.
Meera langsung mengikutinya dan segera mendahului Flo. Sally terhenyak sebentar lalu berlari menyusul mereka.
Sebelum masuk ke kamarnya, Flo berseru dengan cengiran lebar, “Siapa yang siap untuk berpetualang?”
***
Flo dengan cepat menyambar jaket tebalnya dan beanie sebelum melesat ke luar lagi. Meera mengganti celana tidur lusuhnya dengan jins lalu langsung ke luar dari kamar dan hampir membangunkan Nuna dan Karin ketika ia menutup pintu terlalu keras. Sally, yang masih ragu, mau tidak mau ikut bersama mereka dan ia membawa senter. Ia kurang suka melakukan sesuatu dengan pencahayaan minim, karena dirinya tidak bisa melihat dengan jelas.
Setelah melihat sekali lagi dari balkon, menentukan posisi dari mana mereka harus berjalan dan ke mana mereka harus pergi, ketiga gadis itu cepat-cepat berlari ke lantai bawah karena yeti tersebut sudah semakin menjauh dan terlihat semakin kecil dari penglihatan. Di lantai bawah beberapa lampu sudah dinyalakan dan aroma makanan yang sedang dimasak tercium tepat ketika mereka menginjak anak tangga terakhir. Sepertinya para koki sudah mulai menyiapkan sarapan. Mereka berlari kecil melewati lobi, berharap-harap cemas tidak ada pegawai yang memergoki mereka menyelinap keluar saat pagi-pagi mendung.