“Kita harus segera keluar dari sini,” ujar Meera seraya berjalan menuju terowongan. “Siapapun orang-orang yang mencuri harta-harta ini pastilah perampok andal. Lihat saja dari banyaknya barang tambang dan perhiasan yang ada di ruangan ini.”
“Kau mau ke mana?” tanya Sally.
“Tentu saja kembali ke penginapan,” jawab Meera tidak sabar. “Kita harus melaporkan penemuan ini.”
“Melalui terowongan lagi dan sampai di atas lereng? Tidak, tidak.” Sally menggelengkan kepala. Ia berjalan ke sana kemari sambil melihat langit-langit. “Di tempat ini pasti ada pintu keluar dan aku merasa yakin pernah melihatnya.” Ia menengadahkan kepala tinggi-tinggi.
Flo juga ikut mencari. Ia mendongak mengamati langit-langit dan mencari di antara tembok-tembok bata itu. Meera menunggu mereka dengan tidak sabar.
“Di sana!” tunjuk Sally. Ia bergegas menuju bagian ruangan yang berlangit-langit miring yang dipenuhi sulur dan ranting, serta akar-akar pohon. Pintu itu tidak memiliki gagang atau apapun, mirip seperti pintu loteng. Sally mencoba mendorong pintu itu, tetapi tidak berhasil. “Aku tidak dapat meraihnya.”
“Coba pakai peti itu.” Flo bergegas mendorong peti dan Sally langsung membantunya. Mereka berdua menempatkan peti harta itu tepat di bawah pintu.
Sally naik ke atas peti dan berusaha menjangkau pintu. Ia mendorong pintu itu berlahan dan salju berjatuhan di sekelilingnya. Ia juga bisa merasakan hembusan angin dari luar. Sally mendorong pintu itu sampai terbuka sepenuhnya.
Sally menoleh ke bawah. “Kita bisa keluar!” serunya. Ia meletakkan kedua lengannya di atas salju dan berusaha mengangkat seluruh berat badannya naik. Agak sulit karena pintu langit-langit itu termasuk tinggi, ditambah kedua kakinya yang masih sakit akibat jatuh.
Akhirnya, Sally berhasil keluar dengan susah payah, disusul oleh Flo, dan yang terakhir Meera. Sally dan Flo menarik Meera bersamaan karena badannya yang lebih berisi. Setelah mereka bertiga keluar, mereka menatap sekitar. Pepohonan.
Mereka berada di dalam hutan.
Flo melihat ke belakang. “Kita keluar dari dalam pohon,” ujarnya sambil melihat sebuah pintu tempat mereka keluar, dan pohon besar di mana pintu itu berada.
“Pantas saja di ruang harta tadi ada beberapa lubang besar di langir-langit seperti cerobong asap, jangan-jangan itu pohon,’’ gumam Sally.
Suasana di sekitar mereka tidak terang. Matahari sudah terbit tetapi keadaan langit berwarna biru tua, seperti langit pada detik-detik matahari akan terbit. Di beberapa sisi hutan, banyak dipenuhi tanaman belukar dan pohonnya yang besar dan rapat.
“Pukul berapa sekarang?” tanya Flo. Ia lupa tentang hal itu dan berapa lama waktu yang sudah berlalu. Gadis itu mengeluarkan ponsel untuk mengecek waktu, tetapi ponselnya malah mendadak mati.
Baterai ponsel Sally hanya tersisa 2% dan Meera baru menghidupkan miliknya.
Meera menjawab, “Pukul sepuluh.”
“Kukira kita sudah menghabiskan waktu seharian di dalam tanah,” ucap Flo, ia menghembuskan napas. “Pasti karena sehabis badai langit masih lebih gelap dari biasanya.”
“Lebih baik kita pergi sekarang,” Meera berkata.
“Aku tidak tahu harus ke arah mana.” Flo hanya mengangkat bahu, lalu tiba-tiba air mukanya berubah serius dan kedua alisnya terangkat. Ia akan membuka mulutnya untuk berbicara ketika Sally menjejali salju ke wajahnya.
“Jangan berani-berani kau berkata ngawur,” ancam Sally.
Flo langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia nyengir.
Meera melangkah ke depan sambil melihat kompas di ponselnya. “Kita ikuti saja arah utara. Hutan ini tidak besar, seharusnya kita bisa melihat bagian belakang penginapan.”
“Bagaimana dengan pintu pohon ini?” tunjuk Sally. “Kita mungkin saja tidak akan menemukannya lagi kalau kita tidak memberikan tanda. Lagi pula, sebutannya adalah pintu rahasia. Haruskah kita membiarkannya tetap terbuka?”
Flo mengambil sebuah ranting panjang. “Kita sangga saja dengan ranting.” Ia meletakkan ranting itu di atas ambang pintu, lalu menutupnya. “Kalau begini pintu ini akan tetap terlihat."
“Kita juga harus menandai pohon ini.” Sally melepaskan syal merah marun yang dikenakannya dan mengikatkannya pada salah satu cabang pohon itu.
“Kau merelakan syal merah marunmu itu untuk sang pohon?” tanya Flo.
“Syal ini mudah terlihat.”
Mereka bertiga melangkah menuju arah penginapan. Flo dan Sally beberapa kali menoleh ke belakang, memastikan mereka tidak kehilangan pohon itu. Meera berjalan di depan kedua temannya sambil memerhatikan kompas, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari jalan yang tepat. Gadis itu tidak sabar untuk memberitahukan penemuan mereka pada manajer penginapan, atau orang yang berwenang.
Meera melihat melalui celah-celah antar pohon, lalu melihat kanopi bagian belakang penginapan. Mereka segera berlari melewati akar-akar pohon dan keluar dari dalam hutan.
“Kita masuk lewat pintu koridor di dekat ruang sauna. Pasti akan ada banyak orang kalau kita masuk lewat pintu belakang di lobi,” intruksi Meera sambil berjalan cepat. Ia memasukkan ponselnya dan bergegas menuju pintu belakang koridor.
“Tunggu sebentar!” seru Sally, menghentikan pergerakan mereka. Ia memandang Meera dan Flo. “Apa tepatnya rencananya?”