Desiran ombak terus menabrakan tubuhnya ke lambung kapal yang tengah kami naiki. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh kami sebelumnya, pada akhirnya kami lakukan. Perjalanan ini, dengan penuh hasrat dan lonjakan pikiran tanda tanya menjadi pendorong kami untuk bergerak ke cakrawala menembus kilatan cahaya dan gemuruh angin sang penguasa lautan. Dengan sedikit keyakinan dan kenekatan yang membludak, kami putuskan untuk bergerak di atas geladak terbuat dari besi dan dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk rangkaian bertingkat serta atas bantuan mesin uap raksasa dengan tenaga batu bara tersisa yang kami miliki, mampu membawa kami melesat di atas jahatnya air asin yang terhampar luas nan dingin, serta dipenuhi misteri yang belum dikisahkan.
Kekuatan kami sebagai orang yang telah lama tinggal di lembah bongkahan es pun diuji disini. Selama bertahun-tahun, kami memang sering berlayar mengitari rumah kami hanya sekedar mencari bahan untuk menuntaskan rasa lapar kami, atau sekedar melihat keadaan sekitar dan berhubungan dengan dunia luar. Peradaban kami mungkin sangatlah jauh dan sukar direngkuh oleh dunia luar, namun, bukan berarti kami menutup diri dan pasrah pada takdir kami. Kami pun membangun hubungan dengan dunia luar dan mencoba melahirkan sendiri tatanan rumah kami dengan segenap kuasa. Tak tanggung-tanggung, daerah yang sering disebut oleh khalayak umum sebagai “padang es,” seketika berubah menjadi tempat yang kami sebut “rumah.” Kehidupan pun membaik, kami berevolusi dari sistem masyarakat suku menjadi nasionalisme kenegaraan, terbentuk dari berbagai suku yang menyingkirkan pikiran pengganggu nan penghancur hubungan yang sudah kolot dan menggantinya dengan gaya baru yang lebih modern dan bersahaja. Selama bertahun-tahun, kehidupan kami cukup damai, anak-anak merasakan bermain di taman sekolah berdampingan dengan nafas dingin. Orang tua mereka menyematkan pakaian hangat terbuat dari bulu domba kualitas terbaik di tubuh mereka. Makanan pun tidak sukar dicari, ada begitu banyak pilihan yang bisa kami ambil. Dan impor dari negeri lain juga menjadi salah satu pilihannya ketika ada makanan yang tidak dapat tumbuh disini seperti sayuran dan tanaman hijau lainya.
Semuanya berjalan pada alurnya dan kami tidak pernah menemukan masalah-masalah berarti disamping cuaca dan iklim yang terkadang tidak mau bekerja sama, namun pada akhirnya, semua itu teratasi dengan cemerlang. Hingga akhirnya, selama 13 tahun terakhir ini, ada hal yang “tak masuk akal” seketika menyambangi kami. Awalnya dimulai ketika kami hendak memasok bahan baku dari luar untuk negeri kami, karena semakin banyaknya penduduk. Pemasokan berjalan seperti biasanya di tahun-tahun pertama, tetapi, bahan-bahan yang diimpor dari negeri lain pun mulai berkurang ditahun berikutnya dengan dalih sang pengekspor mengatakan, “bahan-bahan ini semakin sulit didapatkan akhir-akhir ini.” Kami memaklumi hal itu, karena tidak setiap saat bahan-bahan ini mudah didapatkan. Semakin bertambahnya masa, sang pengekspor pun tidak pernah terdengar lagi kabarnya atau bahkan terlihat haluan kapalnya sekalipun sejak 3 tahun terakhir. Kami juga tidak mendapat informasi apapun dari luar karena kami tidak mengembangkan jaringan internet ataupun alat komunikasi lainnya untuk menjangkau dunia luar. Kami bisa saja membuat semua itu, namun kami memilih untuk tidak melakukannya agar penduduk disini lebih fokus untuk mengurusi kehidupan lokal mereka dibanding mencampuri urusan dunia luar, mengingat kami tinggal di tengah ganasnya nafas beku yang menusuk. Ini menjadi salah satu kebijakan negeri kami dan negeri lain pun menyetujuinya, terbukti dari coretan tinta di lembaran perjanjian dan pengakuan mereka terhadap rumah kami. Meskipun begitu hubungan kami dengan negara lain cukup menjanjikan dan tidak terputus begitu saja hanya karena kami tidak memasang “wi-fi” di rumah. Kami mengirim anak-anak muda berpotensi kami ke negeri lain untuk turut memetik buah pengetahuan yang mereka tawarkan kepada kami. Selama beberapa tahun, para pemuda itu pun kembali dan menanam kembali buah yang mereka dapatkan di rumah mereka sendiri. Satu-satunya yang menjadi sumber informasi kami dari dunia luar hanyalah para pengekspor bahan baku yang tidak bisa kami dapatkan dari daratan tundra ini. Sebagai gantinya, mereka pun meminta jatah cairan pekat yang sering mereka gunakan sebagai penghidup kendaraan mereka, tentunya dengan bayaran yang sepadan sesuai dengan isi perjanjian tadi. Dan hanya ini komoditas yang telah menghidupi ribuan keluarga di negeri beku ini.
Namun, selama 3 tahun terakhir ini, kami sama sekali terisolasi dari dunia luar. Kami tidak memiliki pengetahuan atau bayangan sekalipun tentang dunia luar. Hari demi hari penduduk kami mulai resah dan gundah. Bahan baku dari luar semakin menipis dan hampir tidak bisa mencukupi separuh kebutuhan penduduk. Pemimpin kami pun mengumpulkan keresahan tersebut ke dalam lemari arsipnya, lalu mencecerkannya di hadapan para petinggi lain sembari membicarakan kemungkinan yang tengah terjadi pada dunia saat ini. Seperti biasa ada yang berpikiran positif, ada pula sebaliknya. Grup positivisme beranggapan, mungkin saja dunia sedang mengalami krisis yang selalu mereka alami dalam beberapa periode sebelumnya, sehingga mereka membutuhkan waktu untuk memperbaikinya kembali dan akhirnya kembali menjalin hubungan dengan negara ini. Namun, grup lainnya memiliki sangka yang lebih ekstrim, dimana dunia sudah tidak membutuhkan kami lagi dan membiarkan kami mengurus diri sendiri. Konspirasi liar dari para cocoklogisme pun bertebaran dan mengatakan bahwa dunia sengaja membiarkan kami mati membeku secara perlahan agar penduduk kami benar-benar terhapus dari daratan tundra ini, sehingga dengan bebasnya mereka bisa menjarah sumber daya berharga dari negeri ini tanpa terikat perjanjian manapun. Mengingat ada beberapa negara yang memang sudah melakukan hal itu dan secara perlahan berhasil menggeser para pribumi dan menghakmilikan dataran tersebut.
***
Alunan pikiran ini terus mendesir di kepalaku beriringan dengan ombak dan angin laut yang menerpa kapal kami. Aku berdiri di ujung paling depan haluan kapal sembari memandangi cakrawala dan cahaya yang mulai meredup. Jujur saja, pikiran para cocoklogisme terkadang menghantuiku dan bisa saja membuatku gila hanya dengan membayangkannya saja. Namun, aku menepis pikiran gila itu dengan kata-kata terakhir yang aku dengar dari “Yupik,” sebutan untuk pemimpin kami, sebelum kami memulai petualangan beku yang cukup panjang.
“Pimpinlah ekspedisi ini kapten, aku tau kau tidak berpengalaman dalam melakukan ekspedisi jauh seperti ini, tetapi kita semua kehabisan pilihan. Aku tidak mau racun menyebar lebih jauh ke dalam masyarakat kita dan menghadirkan “Abaddon” dari kalangan kita sendiri. Carilah kebenarannya dan gunakan informasi terakhir yang kita dapatkan sebagai tumpuan.”
Kata-kata beliau membuat hatiku terenyuh, memudarkan pikiran tak bermoral sebelumnya. Barisan kalimat itulah yang membuatku bertahan bersama para kru lainnya di tengah gempuran takdir yang bisa aja membalikan kapal penjelajah tua yang satu-satunya kami miliki, inipun hasil pemberian negeri lain sebagai kado atas kelahiran negara kami. Sungguh aneh memang, manusia sangatlah lemah, namun hanya dengan rangkaian huruf, mereka dapat memperoleh kekuatan sejati yang bahkan melampaui ukuran paus biru yang selalu mampir di perairan kami setiap bulan Juni hingga Agustus.