Yggdrasil

Rahmat Abdurrahman
Chapter #2

Dunia Baru II

Kilauan cahaya datang mengetuk pintu cakrawala. Saat-saat yang kami nantikan pun tiba. Gemerlap takdir baru kami menampakan wajahnya dengan jelas pagi itu. Berlayar ke arah Barat Daya menciptakan kisah sendiri bagi kehidupan kami, dan sekarang kebenaran sejati yang tidak kami dapatkan selama 3 tahun terakhir ini akan terbuka dari dalam peti keputusasaan.

Para awak kapal tengah mempersiapkan berbagai perlengkapan dan perbekalan untuk kami di daratan utama. Sebagian juga ada menyiapkan sekoci untuk kita bisa mendekat ke wilayah pantai, karena sepertinya daratan yang kami datangi ini tidak memiliki pelabuhan yang cukup untuk melabuhkan kapal seukuran ini. Aku mengambil keputusan itu karena sudah melihatnya terlebih dahulu sebelum yang lain dengan lensa binokular teropong digenggamanku hanya untuk memastikan keadaan di depan. Namun, ada hal yang lebih aneh lagi dan juga salah satu faktor kenapa aku menggunakan teropong untuk memastikan keadaan di depan sana. Meskipun menggunakan kapal tua, namun kapal kami sudah dilengkapi sistem komunikasi radio untuk menjangkau dunia luar. Mungkin menjadi satu-satunya benda tercanggih di kapal ini. Sesuai standar yang berlaku, setiap kapal baru yang hendak berlabuh ke negara lain, kami harus melaporkan dan “memperkenalkan” kami dahulu. Kami sudah melakukan itu sejak 3 jam yang lalu, namun tidak ada seorangpun yang menjawabnya, atau minimal mengirimkan sinyal apakah kami diperbolehkan memasuki rumah mereka atau tidak. Setidaknya kami sudah mengetuk terlebih dahulu sebelum beranjak masuk, tetapi sama sekali tidak ada yang mengembalikan frekuensi radio kami dengan balasan. Keanehan pun semakin terlihat dikala aku meneropong ke arah pelabuhan kecil itu. Aku tahu betul itu adalah pelabuhan kecil dan kegiatannya tidak akan seramai pelabuhan besar, namun setidaknya ada satu atau dua kepala orang yang berada disana, karena kemungkinan itu adalah pelabuhan nelayan kecil, para nelayan seharusnya mulai berdatangan dari arah laut kembali ke rumah mereka. Akan tetapi, selama kami mendekat ke area itu, sama sekali tidak ada kegiatan apapun, bahkan seorang anak yang mencari kerang dipinggir pantai sekalipun. Aku tidak tahu pasti apakah mereka melakukannya atau tidak, tapi itu yang berada dibayanganku tentang daratan utama dipagi hari.

Kapal kami pun terhenti di batas aman kapal untuk mendekat ke pantai dan menjatuhkan jangkarnya. Lebih satu meter saja, mungkin bagian depan kapal sudah menyentuh daratan yang masih tertutup air laut. Pagi ini, air laut pun cukup stabil tidak sedang pasang ataupun surut, karena itu cukup ideal untuk bisa melabuhkan kapal kami di wilayah ini. Kami pun bersiap untuk menurunkan sekoci yang sudah disiapkan satu per satu ke permukaan air laut berwarna hijau dan terlihat jelas alga dan rumput laut di dalamnya. Seketika ketika hendak menaiki sekoci dan sambil menunggu awak kapal lain bersiap di masing-masing sekoci mereka, aku melihat sekelibat sebuah tanaman aneh yang belum pernah aku lihat sebelum ini mengambang terbawa arus pantai ke tengah laut tepat melewati sekoci kami. Awalnya aku beranggapan itu adalah rumput laut yang terpisah dari kelompoknya, tapi aku tidak pernah melihat jenis rumput laut apa itu. Ah, mungkin saja itu adalah tanaman dari daratan utama yang memang belum pernah aku lihat. Tahu apa aku soal tanaman, aku bukan seorang botanis, selama di sekolah aku juga sering tertidur dipelajaran biologi. Tanaman itu pun akhirnya menghilang ke tengah laut, mungkin saja ia juga ingin menemukan rumah baru di luar sana atau sama seperti kami, ia ingin mencari tahu soal dunia luar karena terkekang di rumah asalnya sendiri.

Tatapanku pun kembali menuju arah garis pantai di depan dan aku masih belum menemukan apapun disana, orang atau bahkan hewan pun tidak. Pikirku, mungkin saja mereka masih menikmati daging beacon dan scotch mereka di rumah. Anak-anak kapal lain pun sudah bersiap di sekoci mereka masing-masing dan menunggu arahan dariku untuk mendayung ke depan. Aku pun menyuruh salah satu anak kapal untuk berjaga di kapal dan mengawasi kapal kami, kalau-kalau tiba-tiba ada gelombang pasang, ia bisa mempertahankannya, sekaligus ia juga yang akan bersiaga untuk mempersiapkan kapal jika terjadi sesuatu. Arahan dayung pun aku berikan kepada yang lain dan kami pun semakin mendekat ke arah pantai dari sebelumnya. Secara perlahan desiran ombak yang menabrak bibir pantai dan membawa cinderamata dari laut juga menuntun kami untuk mendekat. Hanya perlu menyeimbangkan sekoci ini dan sedikit tenaga dayungan, kami akan segera menapaki “dunia baru” bagi kami ini. Dan masih sama, sampai kami mendekat pun masih belum ada yang bisa kita temui selain cangkang kerang dan bintang laut yang terbawa dari tempat asalnya ke “dunia baru” ini.

Dengan mulus, haluan sekoci pun menempel ke daratan penuh pasir berwarna kecoklatan ini. Untuk sekian lama, sepatu kami pun akhirnya menginjak sesuatu selain es di bibir pantai ini. Kesan pertamaku ketika menapakan kaki disini adalah “hangat” bahkan terlalu hangat. Ya, aku tau karena saat ini musim panas tengah melanda daratan utama menurut perhitunganku sejak terakhir kali kami mendapat informasi tentang musim yang mendatangi daratan utama. Dalam keadaan lain, ini akan menjadi saat menyenangkan. Di tengah terik matahari, berjemur dihamparan permadani pasir nan hangat, berharap mendapat warna kulit yang diinginkan dan sejenak melupakan gletser es dengan ribuan hingga milyaran es batu di dalamnya dan cukup untuk memenuhi minuman dingin separuh benua. Sangat jarang sekali kami merasakan hal seperti ini. Tidak bisakah kita berdiam saja disini lalu menggelar perayaan penuh kesenangan diiringi lagu ombak yang dibawakan oleh penyanyinya dari tengah laut? Mungkin jika kami tidak mempedulikan orang-orang yang menitip harapan mereka kepada kami, kami akan melakukan hal itu sejak awal. Namun, benang harus dijahitkan pada baju yang sobek. Kami harus membawa asa itu bersama kami dan terus bergerak maju tidak peduli apapun yang akan kami hadapi. Tunggulah, Yelena dan Revecca, aku akan melaksanakan surai kewajibanku terlebih dahulu, lalu akan kembali dengan peti harapan sebagai cinderamata.

***

Langkah kami terus bertambah seiring tapak kaki yang terus bergerak. Kami berjalan secara beriringan dengan alunan angin yang memberikan kesempatan pohon-pohon dan tanaman untuk menari-nari, seakan sang angin adalah instruktur menari bagi mereka. Bicara tentang tanaman, mengingatkan kami pada satu hal yang baru saja kami jumpai beberapa jam yang lalu. Hal ini jugalah yang membuat otak kami kebingungan dan dipenuhi pertanyaan layaknya lumbung yang dipenuhi gandum di bulan April. Sesaat setelah meninggalkan wilayah pantai, kami langsung disambut oleh pemukiman warga setempat dan secara harfiah, kami memang benar-benar hanya disambut oleh pemukimannya saja. Selain itu, tidak ada satu pun tengkuk atau batang hidung seseorang yang terlihat. Tidak hanya itu, rumah-rumah itu juga dirambati oleh tanaman-tanaman aneh yang entah kenapa aku merasa baru saja melihatnya. Benar saja, ketika aku mendekati tanaman rambat tersebut, tanaman itu mirip dengan tanaman yang aku lihat mengambang di laut sebelumnya. Ya, aku tahu pasti dan cukup yakin karena aku tidak memiliki gangguan ingatan jangka pendek. Seperti baru beberapa menit berlalu semenjak aku melihat tanaman ini untuk pertama kali. Aku dan para kru lain pun masih menerka-nerka tanaman jenis apa ini. Daunnya yang terlihat sangat hijau, bahkan lebih hijau dari tanaman Ficus, namun ukurannya lebih kecil. Dengan tangkainya yang berwarna hijau tua dengan gradasi biru muda, terlihat sangat kontras dengan daunnya yang berwarna hijau pekat. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh salah satu kru kami yang cukup ahli dalam meneliti tanaman, Olaf. Ketika menempel di satu bangunan, tanaman ini terlihat seperti tanaman rambat biasa, dengan batang dan daun-daunnya yang menutupi seluruh bangunan atau apapun yang menjadi media pertumbuhannya. Namun, hal yang mengaburkan pandangan Olaf terhadap semua tanaman yang pernah ia teliti adalah bagaimana bisa sebuah tanaman dapat tumbuh dengan baik dibeton tembok rumah? Sedangkan akar dari tanaman ini tidak menyentuh tanah sama sekali. Bahkan Olaf tidak bisa menemukan dimana akarnya. Seakan tanaman ini benar-benar tumbuh dari dalam beton rumah dan merusak struktur di dalamnya lalu dijadikan tanah dan pupuk untuknya.

Tidak hanya di tembok bangunan, tanaman ini juga tumbuh dengan sangat subur seperti ada seseorang yang merawatnya di segala tempat di wilayah tersebut. Di sebuah pondok kecil, bangku taman begitu juga di tamannya, pintu gerbang desa, pagar besi, bahkan jaring nelayan yang tengah digantung di tiang penggantungnya. Kami benar-benar dibuat terpukau oleh kekuatan tanaman ini yang mampu menaklukan segala hal di depannya. Olaf mengatakan memang ada banyak spesies tanaman rambat yang bersifat invasif, namun ia baru melihat kasus se-dahsyat ini, apalagi sampai mengambil alih satu pemukiman. Tidak hanya itu, kami juga menemukan bekas pembakaran pada beberapa titik tumbuhnya tanaman ini dan sepertinya semua yang dilakukan orang-orang disini sia-sia, karena kami masih melihat tanaman ini tumbuh dengan subur di atas benda-benda gosong bekas pembakaran, yang artinya tanaman ini tidak mempan dibakar. Olaf pun turut penasaran dan hendak membakar salah satu tanaman tersebut, namun aku melarangnya karena kami masih tidak tahu “benda” apa ini dan bahaya yang bisa saja muncul jika kita berani bermacam-macam dengannya, meskipun bagian terkecilnya sekalipun. Pada intinya, aku dapat menyimpulkan tidak wujudnya para warga dipemukiman ini diakibatkan oleh penjajah yang menyerang seluruh infrastruktur mereka yaitu tanaman rambat ini.

Hampir 3 jam lamanya kami berjalan menyusuri jalan setapak kecil yang juga tidak luput dari serangan si tanaman, namun aku masih bisa melihatnya dengan jelas jalan tersebut sehingga mengarahkan yang lain untuk mengikuti jalan ini. Satu hal pasti dalam pemikiranku, jalan ini pasti dibuat oleh warga desa sebelumnya untuk memudahkan mereka menuju peradaban yang lebih besar dari mereka. Jadi, jika kami mengikutinya maka akan segera menemukan peradaban tersebut. Seketika Olaf bergerak lebih cepat dan mencoba mengejar posisiku yang berada di depan, lalu bertanya apakah ia bisa beristirahat sejenak.

Lihat selengkapnya