Yggdrasil

Rahmat Abdurrahman
Chapter #3

Bulan Merah

Yang tersayang, butiran saljuku Yelena, sesuatu yang tidak pernah aku harapkan selama hidupku terjadi hari ini. Aku tidak tahu reaksi apa yang aku harus tunjukan untuk peristiwa menyayat hati ini. Andaikan kau bisa melihat ekspresiku sekarang di tengah kabinku yang gelap dan hanya ditemani lampu kecil. Disisi lain aku merasa takjub dan terpukau dengan dunia baru yang baru pertama kali aku tapaki ini. Namun, ketakjuban itu seketika sirna ditelan bumi yang baru ini. Aku menemukan sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan selain dirimu dan Revekka. Aku ingin mengatakannya secara gamblang, namun aku takut kau tidak akan sanggup membacanya. Maka dari itu, jika kau ingin tahu dengan jelas, kau bisa pergi ke komandan karena aku menuliskan semuanya dengan lengkap disana. Intinya, aku hanya ingin memberitahu, mungkin aku akan pulang terlambat karena kejadian ini atau hal terburuknya, aku tidak akan pernah kembali. Entahlah, aku masih belum memutuskan hal itu. Setidaknya, aku ingin menuliskan ini untukmu terlebih dulu jika ini memang akan menjadi pesan terakhirku. Aku menitipkan permata bulan kita yang menerangi malam setiap harinya kepadamu. Dan ceritakanlah kisah ini ketika dia dewasa nanti.

Peluk hangat, Alexei

Pikiranku terasa benar-benar ingin pergi dari tempatnya saat ini. Aku bahkan tidak tahu apa yang tengah kutulis ini. Pada kebenarannya aku sangat bingung kata-kata apa yang ingin aku sampaikan, namun aku merasa ingin mengungkapkannya dan hanya Yelena yang bisa mengerti untuk saat ini. Setelah menulis surat ini aku pun terdiam cukup lama menatap kembali tulisan menyedihkan yang baru tercetak oleh pena-ku. Aku baru saja mengirimkan laporan yang terjadi hari ini kepada komandan dan akhirnya kembali ke kabinku dengan tatapan kosong lalu berpikir untuk menuliskan sesuatu kepada Yelena. Tetapi, kenapa tulisan bodoh ini yang keluar dari batinku? Akhirnya, aku memutuskan untuk menyimpan kertas ini dan tidak akan mengirimkannya kepada Yelena untuk sementara ini. Aku tidak ingin wajahnya yang lugu berubah seketika dipenuhi oleh lautan kecemasan. Biarkan ia hidup tenang disana, bermain bersama Revekka, berbincang dengan tetangga kami seperti biasanya.

Aku pun keluar dari kabin setelah menghabiskan satu jam di dalam sana hanya untuk menulis hal konyol seperti ini. Para awak kapal tengah memeriksakan diri mereka, apakah terjadi sesuatu yang aneh pada tubuh mereka setelah berhadapan dengan manusia lumut sebelumnya. Ah, aku harus berhenti memanggilnya manusia lumut. Setiap kali kata itu keluar, aku merasakan hawa dingin yang membuat juntaian bulu tanganku berdiri. Untungnya, keadaan mereka semua baik-baik saja, mereka tidak mengalami luka segores pun. Karena, sebelum makhluk itu menyerang mereka, mereka sudah memberondonginya dengan puluhan peluru sehingga ia tidak sempat menyentuh siapapun lagi selain Daniel yang malang yang tidak tahu apa-apa soal ini. Bicara soal Daniel, aku pun teringat akan Olaf. Olaf tengah berada di kabinnya saat ini. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan, namun aku mengerti betul ia membutuhkan waktu sendiri mengingat semuanya terjadi dengan sangat cepat.

“Aku akan kembali ke kabinku kapten dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.”

Hanya itu yang ia katakan sebelum ia menghilang ke lorong dek awak kapal. Dan aku tidak menganggap ia benar-benar ingin mencari tahu segalanya soal ini, karena kami tidak memiliki petunjuk apapun soal ini, bahkan sehelai bulu pun tidak.

Malam ini benar-benar berbeda dari yang sebelumnya. Hawanya kembali terasa dingin padahal kita berada di wilayah iklim hangat, namun situasi mencekam inilah yang membuatnya menjadi begini. Setelah meninjau seluruh awak kapal, aku memutuskan untuk kembali keluar dan menetap di haluan seperti biasa. Dengan penerangan seadanya, aku kembali ke posisiku seperti biasa, menatap dunia yang benar-benar baru aku kenali. Aku tahu daratan utama bisa menjadi sangat keras, namun aku tidak menyangka akan seburuk ini. Kejadian pagi tadi mengaburkan semua pandanganku akan dunia ini. Kekuatan apa yang tersembuyi di balik ini semua? Apakah ada sesuatu yang kami lewatkan? Dan kenapa hanya kami yang tidak tahu? Bebagai pertanyaan pelik mulai menyambangiku. Aku sangat ingin sekali kembali kesana lalu memuaskan rasa lapar akan ketidaktahuan ini. Namun, keraguan tengah menempaku saat ini dengan palu ketakutan. Jujur saja, aku juga takut hal yang terjadi pada Daniel juga terjadi padaku, namun yang paling aku takutkan adalah nasib awak kapal yang tengah terombang-ambing oleh gelombang perasaan mereka sendiri. Jika aku memberikan perintah untuk kembali melanjutkan ekspedisi ini, aku harus siap melihat yang terjadi hari ini akan terulang kembali dan mungkin akan lebih buruk. Namun, jika kami tidak kembali, kami tidak akan tahu apa yang terjadi selamanya. Kami akan mendekam di penjara beku bersama para beruang kutub dan berharap mendapat sisa makanan dari mereka. Pada akhirnya keputusan akan berakhir kembali kepadaku. Kami juga kekurangan senjata yang diperlukan untuk melindungi diri kami sendiri, jadi aku tidak yakin kami mampu bertahan meskipun untuk satu hari. Perbekalan makanan dan sebagainya juga semakin terbatas, karena aku pikir kami bisa mengisi kembali setelah sampai di daratan utama, tetapi satu biji pun tidak bisa kami bawa dari sini. Ah, andai saja Yupik bersama kami saat ini, aku pasti sudah mendapat wejangan berharga yang bisa mendorongku untuk kembali memasuki “neraka hijau” di depan sana. Namun, aku juga tidak yakin Yupik bisa menyaksikan ini semua. Meskipun ia memiliki segudang pengalaman melebihiku, namun aku tidak bisa bersangka ia sudah melihat yang satu ini.

***

Pembicaraan kami pun dimulai kembali setelah semua awak kapal memeriksakan keadaan mereka masing-masing. Topik utamanya tentu mengenai kelanjutan ekspedisi ini, apakah kita harus melanjutkannya atau tidak? Sebagai kapten tentunya keputusanku akan menentukan kelanjutan perjalanan kami ini. Ada dua pilihan yang dilayangkan. Jika kami meneruskannya akan kemungkinan nasib seperti Daniel akan terjadi pada awak kapal lainnya dan ya, jujur saja aku tidak bisa menyaksikan hal itu terjadi kembali. Aku lebih suka menyaksikan perburuan paus orca di musim panas ketika mereka memburu sekumpulan penguin atau anjing laut lalu melemparkan tubuh tidak berdaya tersebut ke permukaan air dengan sirip belakang mereka, memainkan korbannya sebelum akhirnya disantap secara beramai-ramai. Namun, jika kami tidak kembali ke daratan itu, kami tidak bisa mendapatkan apapun termasuk perbekalan yang dibutuhkan. Setidaknya untuk modal kami kembali ke rumah kami. Kalaupun kami memutuskan kembali tanpa mengambil apapun untuk perbekalan, pada akhirnya kami akan berakhir secara perlahan di tengah lautan dingin lalu membeku tanpa membawa cinderamata apapun ke rumah. Pilihan ini memang mengarah ke sesuatu yang tidak mengenakan sejak awal. Ya, terkadang pilihan tersulitlah yang harus ditempuh hanya untuk melanjutkan kehidupan. Pilihan untuk kembali ke daratan itu dan melakukan apa yang harus kami lakukan.

Para awak kapal lain pun mulai merasakan keresahan yang sama. Disinilah tingkat kinerja pemikiranku diuji secara besar-besaran. Disamping memikirkan mereka, aku juga harus memikirkan keadaan kita juga disini. Pada intinya, aku harus menyiapkan strategi yang matang untuk bisa bertahan di tempat ini. Memang, aku dididik dan dilatih secara khusus dalam pelatihan bertahan hidup di pelatihan militer dulu. Meskipun sudah berlalu cukup lama, namun beberapa ilmu dan gerakan yang diperlukan untuk menghadapi situasi genting ditengah alam liar masih cukup segar berada di kepalaku. Tetapi, situasi kali ini sangatlah berbeda, karena tidak hanya alamnya saja yang menjadi lawan kita, namun juga makhluk berbentuk manusia dengan lumut yang tumbuh disekujur tubuh mereka dan memiliki sifat layaknya hewan buas penuh dengan rasa lapar. Sepertinya aku harus mengkaji kembali ilmu bertahan hidupku lalu memperbaharuinya dengan informasi yang sejauh ini kami dapatkan perihal daratan hijau ini. Dan akhirnya aku teringat Olaf karena dia yang paling bisa diandalkan untuk menganalisis dan mendapatkan informasi yang kami butuhkan. Namun, ketika aku melayangkan penglihatanku ke segala arah untuk mencarinya, aku baru sadar dia tidak ada disini. Padahal sudah satu jam lamanya kami membicarakan soal ini di kabin utama. Aku pun meminta salah satu awak kapal untuk menyusulnya hanya untuk memastikan keadaannya.

Lihat selengkapnya