Di bawah laut, tempat semua rahasia tertidur, seekor ikan torpedo berenang sana-sini sendirian. Tidak meminta siapapun menemaninya. Mungkin bagi ikan itu, semua lautan adalah miliknya. Hanya saja, tetap terlihat ada yang kurang. Alih-alih berenang sendirian, bukankah lebih baik sepasang sirip itu bergabung dengan sirip lainnya? Seketika aurora keperakan pasti menghiasi dasar laut. Barulah keheningan akan terasa terbayar tuntas begitu menyaksikan aurora tersebut dari bawah. Melihat berjam-jam pun tidak akan berasa. Bagi mereka yang menjadi diorama di dasar laut, itulah pelipur lara.
Dulu-dulu sekali manusia-manusia itu adalah ikan-ikan yang terlahir dari air mata kosmos. Bisa dibayangkan sebuah tangisan yang memohon untuk ditemani? Jangan jauh-jauh, tetap di sini. Dari sanalah semuanya bermula. Mereka, manusia, membaur ke dalam masyarakat, menjelma sebagai penghidupan, lalu ketika trompet bertiup, mereka akan berbondong-bondong kembali lagi ke dasar laut.
Mereka, manusia, sebenarnya adalah ikan yang berenang di dalam air tanpa tahu adanya air. Alam telah menciptakan sekelompok angsa dan tugas mereka adalah mengawasi setiap langkah manusia. Mereka terbang seperti awan, bernapas seperti angin. Angsa dalam Aves terbagi lagi menjadi puluhan macam. Masing-masing membawa satu kutukan. Kutukan cinta, kutukan karma, dan kutukan takdir menjadi tiga kelompok utama. Siapapun manusia itu, apapun identitasnya, tiada yang sanggup menghindari taburan benih angsa-angsa tersebut.
Mereka boleh mengira sudah berhasil menjelajahi palung Mariana yang paling dalam seantero samudra, tapi dasar laut yang sesungguhnya tiada yang tahu seperti apa warnanya. Seperti apa suaranya. Seperti apa pula wajah yang tinggal di bawah sana. Bila ada yang diam-diam pernah kembali ke permukaan dan membocorkan betapa ramainya pasar di bawah sana, tabir itu akan tersingkap dan mengejutkan angsa-angsa tersebut. Mereka akan terbang tunggang-langgang bila mereka, manusia, juga percaya akan cerita itu. Beruntungnya, tidak ada yang percaya.
“Kenapa tidak percaya?”
Bila mereka percaya, cerita itu akan terhenti karena mereka akan berlomba-lomba mencari pintu keluarnya. Layaknya legenda nabi Nuh, mereka akan membuat bahtera raksasa agar bisa membawa mereka selamat ketika mengarungi lautan luas. Puluhan sekoci mereka sediakan agar bila saatnya karam, mereka masih bisa mendayung ke seberang daratan. Ribuan pelampung mereka bawa agar bila saatnya badai dan sekoci mereka terbalik, mereka masih bisa berenang mencari daratan.
Sebenarnya, tiada yang salah bila tenggelam ke dasar laut. Mungkin karena terlalu lelah atau musibah yang membuat kita ada baiknya melepas pegangan. Tenggelam ke dasar laut tidak berarti mereka mati. Tenggelam ke dasar laut justru memberi mereka napas yang baru. Ini bukan soal bunuh diri bagi mereka-mereka yang terpeleset ke dalam jurang depresi. Lautan yang mereka tuju lebih gelap dari lautan yang dimaksudkan. Makanya berbeda dan takut disalahpahami juga.
“Jadi, mereka tidak percaya karena mereka takut?”
Mereka, manusia, memang makhluk yang penakut. Mereka takut akan sendirian, takut akan kemiskinan, dan takut akan penderitaan. Sesak hati mereka! Bila membayangkan diri mereka sendiri tenggelam di dasar laut dengan tangan yang meraih-raih. Gelap fobia mereka. Sempit rasanya!
Mulut Yona terjahit seketika, seperti mendengar suara mamanya yang telah pergi sejak lama. Dia seperti itu karena mendengar hal tersebut. Berminggu-minggu yang lalu, dia masih berjalan-jalan di atas aspal hitam di antara lautan makhluk berkepala, berkaki, dan bertangan, yaitu arwah manusia. Gadis yang malang itu baru berumur 20 tahun. Saat dia terbangun di dasar laut, dia telah lupa siapa namanya, siapa papanya, bahkan siapa mamanya. Satu-satunya hal yang dia ingat darinya hanyalah sebuah fakta kalau dia berkelamin perempuan dan menyukai seorang pria.