***
“Halo, kau di sana?” panggil Yona setengah berbisik.
Ke mana paus bungkuk yang barusan dilihatnya? Semakin besar harapannya, semakin sunyi ruangan itu. Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Tidak apa-apa. Suara itu pasti akan muncul lagi. Yang perlu dia lakukan hanyalah menunggu.
Tiga puluh menit kemudian, si pegawai tadi berjalan masuk bersama seorang pria yang berpakaian lusuh dengan potongan rambut tipis di tengah. Pria itu menjemput Yona dan membawanya ke dunia arsip.
Sehabis turun dari delman, dengan tega dia diminta masuk sendirian, sedangkan pria itu mau parkir delman. Setiap arwah yang berlalu-lalang tiada satu pun yang memandangnya. Tanpa dia sadari perlahan-lahan dia mengamati bayangannya sendiri yang terpantul di ujung pintu kaca. Entah gadis siapa yang berpakaian lusuh seperti itu. Celananya yang kotor. Bahkan, hanya bertelanjang kaki. Bekas kuteknya yang merah delima pun hanya tinggal delima karena merahnya terkelupas entah ke mana. Oh, malangnya diriku...
Maksing berjalan keluar sambil membawa sepasang sandal. “Ayo, Nak!” sapa Maksing. Dia menggandeng tangan Yona. “Eh.” Dia berhenti lagi dan lupa memakaikan sandal tersebut ke kaki Yona. “Nah! Maaf ya, Nak,” tuturnya yang kemudian tersenyum.
“Terima kasih, Kak,” balas Yona.
Seraya menggandeng Yona, Maksing berkata, “Jangan panggil aku kakak. Panggil nama saja. Maksing.”
“Baik, Maksing,” kata Yona, “Terima kasih... Tapi, bolehkah aku bertanya, Maksing?”
“Silakan.”
“Bagaimana Maksing bisa tahu itu aku?” tanya Yona inga.
Sembari menaiki tangga, Maksing menjawab, “Tadi pihak bandara ada yang menelepon. Terus, Tuan sendiri yang meminta orang menjemputmu, dan memintaku juga buat menunggumu di bawah. Jadi, kalau ada yang turun dari delman Tuan, sudah pasti kau orangnya. Sekarang Tuan sendiri masih di atas. Nanti ketika dia turun, kau jangan gugup. Tuan tidak akan memakanmu. Siap, Nak?”
Begitu pintu terbuka, Yona dikejutkan dengan dirinya sendiri. Untung sebuah cermin lagi, pikirnya sembari mengelus dada. Sejalan-jalan tadi beberapa arwah yang berpapasan dengan mereka satu per satu menyapa Maksing.
“Maksing,” panggil Yona sembari berdiri di depan cermin.
“Iya?” jawab Maksing dari luar pintu, menanti seseorang.
“Mereka-mereka tadi siapa?” tanya Yona sambil menatap matanya sendiri.
“Mereka?” Maksing terdiam sejenak. “Oh, mereka... Mereka semua adalah pegawai di departemen ini. Tugas mereka hanya mengurus arsip. Itu saja. Hanya karena Tuan Musa sering kemari mereka jadi mengenalku. Padahal, Maksing denganmu sebenarnya sama. Kita hanya arwah asing di luar sana.”
Tuan Musa...