Bergumul dengan ratusan buku tebal yang berantakan di lemari jati yang menjulang tinggi membuat Yo kliyengan. Ini kali pertama ia harus meletakkan kembali buku-buku itu di raknya sesuai daftar buku yang telah dibuat Mama sebelumnya. Minggu lalu, beberapa mahasiswa Mama datang untuk mencari referensi buku ke sini, namun buku-buku yang mereka baca tidak dikembalikan pada tempatnya, melainkan di rak yang berbeda dari daftar yang ada.
Melihat tumpukan buku yang bejibun itu, rasanya Yo ingin leyeh-leyeh di kursi malas di pojok ruangan ini yang merupakan spot favorit Mama saat sedang ingin memanjakan diri dengan buku-buku pilihannya. Ada satu hal yang membuat Yo takjub saat berada di ruangan ini yaitu ada kata-kata motivasi yang ditempel di pintu lemari buku yang berbunyi buku akan membawamu terbang seperti elang, menyelam liar bagaikan raja lautan.
Papa dan Mama lebih senang kalau ruangan ini mereka sebut sebagai sudut baca keluarga. Meski kenyataannya sudut baca ini lebih didominasi oleh buku-buku Ny. Dina Mama Yo. Seharusnya ruangan ini tidak layak disebut sudut baca keluarga melainkan sudut baca spesial untuk Mama. Ruangan ini juga dijadikan sebagai ruang kerja Mama. Ia banyak menghabiskan waktu di ruangan ini untuk bekerja atau hanya sekedar santai menikmati aroma buku lama yang masih ia simpan dengan baik.
Kebiasaan Mama saat membaca buku membuat Yo tertawa geli. Sebelum Mama membuka buku yang hendak ia baca, Mama akan mencium aroma buku tersebut sambil mengelus sampul depan dan belakang perlahan. Bukan itu saja, sebelum hendak membaca Mama akan memeluk buku tersebut untuk beberapa saat dengan menempelkannya di dada seperti sedang mendengarkan detak jantung seseorang. Bahkan Mama akan berkomat-kamit sehingga mengeluarkan suara berisik saat membaca buku karena mama ingin membuat buku itu hidup dengan membaca lewat mulut bukan di dalam hati seperti kebanyakan orang. Beberapa buku favorit mama diberi pelindung berupa sampul perekat untuk menjaga supaya bukunya tetap awet. Saat membaca Mama akan berhenti sejenak untuk mencerna setiap kalimat yang tertulis di dalam buku dengan cara menghentakkan kakinya di lantai dan melayangkan pandangannya ke atas untuk beberapa saat. Setelah membaca, Mama akan mencium bukunya sebelum meletakkannya kembali ke rak buku.
Saking sayangnya dengan buku favoritnya, Mama tidak akan mau melipat bukunya sebagai pembatas. Ia akan menuliskan halaman terakhir yang ia baca di buku catatan harian atau menempel catatan kecil di sampul buku. Ya begitulah Mama dengan segala keunikannya. Mama benar-benar seorang book sniffer.
Yo jarang sekali masuk ke ruangan ini karena ia hanya memiliki koleksi buku yang sedikit, sehingga ia merasa lebih baik menyimpan buku-buku miliknya di lemari bukunya sendiri. Koleksi buku yang ada di sini beragam sekali, mulai dari buku ekonomi, politik, biografi dan kuliner. Koleksi buku Mama masih terlalu berat untuk bisa Yo pahami. Namun, berita baiknya adalah buku masa kecil milik Yo karya DR. Seuss The Cat in the Hat, Fox in Socks, Green Eggs and Ham masih bertengger menjadi buku pilihan Mama. Bukan itu saja buku karya Road Dahl Matilda dan BFG: Big Friendly Giant juga ikut berbaris rapi meramaikan isi lemari buku. Meski bahasa pengantar buku-buku itu berbahasa Inggris, Mama tidak mengalami kesulitan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Bukan hanya di pekerjaannya saja Mama menunjukkan totalitasnya tetapi juga saat memerankan setiap karakter dari buku cerita anak yang pernah Mama bacakan. Salah satu cerita yang membutuhkan totalitas saat menceritakannya adalah buku The Gruffalo. Buku yang menceritakan tentang makhluk buas dengan perawakan yang menakutkan. Makhluk itu bermata merah, garang, berbadan besar, bertanduk, berbulu kasar. Mama sangat piawai menceritakan isi buku itu. Bahkan ia juga berbicara layaknya seperti karakter utama dalam buku tersebut. Mama sangat hebat bermain peran. Hingga kini cerita itu menjadi cerita yang tidak bisa Yo lupakan. Buku itu menjadi buku pengantar tidur saat Yo kecil. Bahkan setelah buku itu dibacakan, biasanya Yo meminta Mama untuk tidak menyimpan buku itu melainkan buku itu ia peluk sebagai pengganti guling. Meskipun buku itu sudah disumbangkan, namun Yo masih ingat betul isi buku itu dengan baik. Yo merelakan buku masa kecilnya itu untuk digunakan anak-anak lain sebagai sarana pembelajaran awal untuk cinta baca. Salut sama Mama yang doyan mengoleksi buku yang bermutu, ujar Yo dalam hati.
Sambil beres-beres, Yo memperhatikan judul setiap buku yang ia rapikan. Yo mengambil salah satu buku yang terselip di antara dua buku besar favorit Mama. Kedua buku itu dikatakan favorit karena sering sekali dibaca Mama, terlebih saat sedang santai. Buku yang hendak Yo ambil itu berada di sebelah kanan lemari di rak nomor tiga. Wuihh buku itu seakan terjepit, Yo sampai kewalahan untuk meraihnya. Meskipun demikian Yo tetap berusaha meraih buku yang sudah mulai usang itu. Sampul depan bagian kanan bawah buku itu sudah robek dan hampir setiap halaman dimakan rayap. Namun demikian buku itu masih dapat dibaca, meski gigitan rayap sudah mampir di setiap bagian ujung kiri atas buku itu.
Buku itu merupakan karangan R.L Stine Goosebumps berjudul tetangga hantu. Dari judulnya saja, buku ini bisa dipastikan adalah buku horror. Bagaimana mungkin Mama suka buku ini? Padahal Mama paling benci dengan film horror. Akan tetapi membenci film horror bukan berarti benci buku horror, ya kan? Yo berkomentar dalam hati. Sepertinya hanya satu buku ini saja yang bergenre horror selebihnya buku-buku berat, berat untuk dipahami terlebih untuk anak remaja seperti Yo. Mama memang cerdas, terlihat dari buku bacaan Mama yang banyak. Wajarlah, seorang pendidik harus kaya ilmu dan berwawasan luas, ujar Yo mengagumi Mamanya.
Awalnya Yo mulai sedikit parno dengan judul buku itu. Namun rasa penasarannya jauh lebih unggul daripada rasa takutnya akan judul buku kecil itu. Yo membaca empat halaman depan dengan perlahan sambil mencerna setiap kalimat yang tertulis di buku itu.
Ohh tidak, seakan buku itu mengingatkanku bahwa ada tetangga baru yang menempati rumah yang sudah lama kosong yang berada tepat di depan rumah kami. Gumam Yo dalam hati dengan tangan gemetar. Orang baru itu masih dua minggu yang lalu menjadi warga komplek perumahan. Memiliki tetangga baru yang belum pernah dilihat menjadi ketakutan baru buat Yo. Barangkali penghuni baru itu sibuk setengah mati hingga tidak pernah kelihatan. Pergi subuh pulang tengah malam. Atau memang tidak suka bersosialisasi dengan tetangga baru. Atau jangan-jangan karena kegantengan atau kecantikan si penghuni baru itu sehingga enggan bergaul dengan orang baru takut ketularan jelek, miskin atau alergi. Yo membatin, aku harap yang kupikirkan itu benar adanya. Makin ke dalam buku itu dibaca hingga halaman dua puluh ceritanya semakin membuat takut sehingga tanpa sengaja Yo menjatuhkan buku itu. Bukan itu saja, Yo merasakan ada hawa panas dari dalam buku itu hingga ia berkeringat saat membacanya. Namun ia mengambilnya kembali untuk meletakkannya ke rak semula.
“Yo, sudah selesai merapikan buku Mama?” Mama menepuk bahu Yo dari belakang.
Yo terkejut sampai terbentur pintu lemari kaca tempat buku-buku Mama yang baru saja ia rapikan. “Eh, Ma” Yo mengelus dada sambil menarik nafas dalam berkali-kali.
“Ada apa? Kok kamu tampak ketakutan?” Tukas Mama tampak heran melihat tingkah Yo.
“Nggak, Ma…cuma kaget aja karena Mama datang tiba-tiba. Soalnya aku baru saja baca buku horror”
“Buku horror?” Mama mengernyitkan keningnya keheranan. Tambah Mama lagi sambil mikir dengan mulut manyun, “Buku horror yang mana? Seingat Mama…tak pernah punya buku horror.”
“Ya jelas Mama tak ingatlah, bukunya aja sesak nafas di dalam rak itu. Kejepit buku raksasa dan di anak tirikan,” keluh Yo sambil memegang dada berpura-pura mengeluarkan bunyi ngik ngik seperti suara yang sedang bengek.
“Hahaha, kamu memang bisa aja buat Mama ketawa.” Mama tertawa lepas sambil menutup mukanya.