Camp Pengungsian Vietnam
Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan untuk melewati 5 jembatan lagi menuju camp pengungsian Vietnam. Panjang setiap jembatan yang dilalui berbeda-beda dan jembatan I merupakan yang terpanjang di antara yang lain. Konon, ada perang saudara di Vietnam hingga sebagian rakyatnya harus mengungsi untuk mencari suaka untuk kehidupan yang lebih baik. Sebagian pengungsi terdampar di wilayah ini (Galang) dan menetap di sini. Dulunya Galang tidak berpenghuni hingga pada akhirnya para pengungsi itu menetap di sini bertahun-tahun lamanya. Tempat ini dinamai sesuai dengan kejadian yang terjadi di masa lampau. Tempat ini sangat asri dan jauh dari hiruk pikuk kota. Tempat ini juga dijadikan sebagai sahabat fauna terutama monyet, atau mungkin juga ada hewan lainnya yang masih belum terlihat.
“Ini pasti kapal peninggalannya kan, Yo?” Tanya Hanny sambil berjalan mengelilingi kapal tersebut dan mengamatinya dengan cermat seperti seorang peneliti.
“Sepertinya” jawab Yo singkat.
“Kok sepertinya,” balas Hanny mengerutkan dahi.
“Ya sepertinya, bisa ia dan bisa saja tidak”
“Ah kamu tidak tahu sejarah tempat ini ternyata. Percuma sudah lama tinggal disini. Tak ada bedanya samaku dan Bona.” Tukas Hanny kesal sambil menyalakan kamera sakunya.
“Nikmati aja yang ada, Han. Tapi, kalau mau tahu lebih banyak tanya tuh penjaganya, biar lebih akurat informasinya.” Tukas Yo sambil menunjuk ke arah seorang penjaga yang sedang berdiri di depan pintu masuk.
“Tapi aku yakin pasti ini kapal peninggalan, kalau nggak ya tak mungkin kapal nyasar ke daratan. Ya kan?” Sambung Hanny penuh percaya diri.
“Serem ahhh …. Aku tak mau masuk ke kapal itu, Han” Ujar Bona sambil memegang tangan Hanny erat.
“Ah kamu Bon, apanya yang seram?” Hanny melepas genggaman Bona dan menepuk jidatnya.
“Warna kapalnya kusam dan ada bau yang aneh,” Balas Bona sambil menutup hidungnya.
“Ya jelas-jelas kusamlah Bon. Wong ini kan kapal lama dan tak pernah dipakai lagi. Trus maksud kamu warnanya harus jreng gitu? Emang siapa yang mau ngecatnya Bon. Emang kamu mau? Lagian ini kan barang peninggalan, harus dilestarikan bukan di otak-atik untuk mempertahankan ke otentikannya, Bon. Paham?” Ujar Yo menggeleng dan melebarkan bibirnya.
“Terserah kamu mau bilang apa, Yo. Tapi menurutku semua ini kurang menarik,” balas Bona kesal.
“Ayo naik! Atau kau mau kuseret? Atau aku dan Yo gendongin kamu?” Tukas Hanny melotot dan merapatkan giginya.
“Ya…. deh” jawab Bona ragu.
Bona, Hanny dan Yo menyempatkan untuk berfoto dan membuat video singkat tentang kapal usang ini.
Bona mengendus tajam “Aduh! Benaran Yo aku tak kuat bau apek kapal ini, lagian lihat tuh debunya tebal amat, alergiku bisa kumat.” Suara bersin Bona terdengar “Hatci, hatci!”
Aduh payah nih anak dibawa kemana-mana jadi merepotkan. Gimana lagi kalau dibawa ke padang pasir, jangan-jangan bisa tegang dan tak bisa bernafas. Keluh Yo dalam hati sambil menepuk jidatnya. Bona memang bermasalah dengan debu, air laut dan ketinggian. Mama pernah cerita waktu Bona berumur empat tahun pernah datang ke sini juga. Yo juga kurang ingat kalau tak diingatin Mama. Bona menangis sejadi-jadinya saat pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam air laut yang cuma semata kaki. Mama sampai tertawa terpingkal-pingkal saat menceritakan kejadian itu. Bagaimana mungkin anak kecil tidak suka air!
Ada dua dayung lapuk yang tergeletak di dalam kapal. Yo mengambil salah satunya dan memperhatikan bahwa di ujung dayung itu terdapat simbol mata yang diukir dengan sangat rapi. Satu di antaranya terbelalak dengan tatapan sinis. Ada amarah yang sangat dalam yang ingin diceritakan di simbol itu. Sementara simbol mata yang satu lagi kelihatan sendu dan ada kesedihan yang dipancarkan.
Bukan itu saja, ada simbol lain yang terukir di dayung itu yaitu simbol hati yang terletak di antara kedua mata tersebut. Simbol ini seperti menceritakan sesuatu yang mistis. Meskipun demikian, Yo tetap mengambil foto dari dayung itu. Simbol mata itu seperti berkedip dan mengeluarkan airmata. Sontak Yo menjatuhkannya dan mengenai kaki Hanny. Hanny hanya melihat dan menggesernya saja. Yo terdiam sejenak dan menarik nafas sedalam-dalamnya. Ia berharap itu hanya halusinasinya saja. Yo menarik lengan Hanny dengan alasan agar segera turun dari kapal itu. Yo merasakan sesuatu yang tidak enak. Yo berpikir sejenak, sepertinya simbol itu sama persis seperti simbol yang ia lihat di rumah tetangganya.
“Kok buru-buru turunnya, Yo! Masih asik nih,” seru Hanny melangkah turun dari kapal.
Jawab Yo tegang, “Udah ah! Aku … aku merasa tak nyaman lama-lama di sini Han. Aku merasa ada yang aneh di kapal ini. Bulu kudukku merinding nih, Han”
“Ah, itu cuma perasaanmu aja, Yo. Kamu sih kebanyakan nonton film misteri, jadinya ya kayak gini. Apapun dikaitkan dengan kecurigaan. Hmmm, ya udah, kita ke mana lagi nih?”
Mereka memasuki ruangan khusus (museum) tempat penyimpanan perkakas yang pernah digunakan para pengungsi berupa piring kaleng, cangkir dan pisau tumpul. Selain itu, ada perlengkapan berkebun berupa alat penyiram bunga, parang, cangkul dan caping. Ada foto-foto seribu wajah pengungsi Vietnam terpampang di dinding ruangan ini. Meskipun foto itu mulai buram seiring waktu.
Ada makam bercat putih yang terawat dengan baik. Makam ini adalah makam untuk para pengungsi yang meninggal kala itu. Konon, masih ada sanak saudara para pengungsi yang masih hidup dan tinggal di tempat ini meski tidak banyak. Namun sebagian besar keturunan para pengungsi itu memutuskan untuk kembali ke negara asal mereka. Sesekali mereka datang berziarah ke makam pendahulunya ini.
“Ayo kita lihat lebih dekat makam nya Bon, Yo!” Pinta Hanny memaksa.
“Lihat yang lain aja Han! Masa makam juga dilihatin. Dari jauh aja, tak mesti dekat-dekat” Ujar Bona dengan nada gamblang seraya menunjukkan rasa takutnya.
“Ahh kamu tak seru Bon. Selagi di sini ya mesti dilihat semua dong. Kita tak tahu kapan lagi mau ke sini, ya kan?” Seru Hanny sambil menjentik telinga Bona dengan jari telunjuk dan jempolnya.
Keluh Bona kesal memegang telinganya “Ihhh …. Lebih baik tadi aku tinggal di rumah aja nonton TV daripada ikut sama kalian.”
Hanny membalas ketus “Ya udah pulang sana duluan”
Bona terdiam dan ikut melangkah bersama Yo dan Hanny. Keanehan yang lain juga Yo rasaka selama berada di sini, seperti ada mata yang memperhatikan gerak-gerik mereka setiap melangkah hingga ingin menerkam. Tetapi Yo tidak ingin mengutarakannya kepada Hanny dan Bona. Wajar saja Bona merasa tidak nyaman. Barangkali Bona juga merasakan sesuatu seperti yang Yo rasakan. Atau Bona bisa melihat sesuatu yang tidak bisa Yo dan Hanny lihat, hingga dia tampak ketakutan.
“Disitu bagus kayaknya, Yo. Fotoin aku ya!” Hanny menunjuk salah satu posisi yang tepat untuk mengambil fotonya dan berlari kecil menuju spot itu. Memang anak zaman sekarang terutama Hanny menghalalkan setiap tempat untuk dijadikan spot untuk selfie, bahkan di kuburan sekalipun.
Bona berteriak dan berujar “Han, ka … kamu ceroboh. Apa kamu tak pernah dengar kalau menunjuk kuburan itu akan membuat jarimu bengkok?”
“Ah! Mitos aja kamu percayai, Bon. Nih buktinya, nggak bengkok. Udah ah Bon mau gaya dulu nih.” Sanggah Hanny geram menggoyangkan jemari lentiknya.
“Apa udah selesai, Han? Merinding nih lama-lama disini. Kamu juga Yo mau aja disuruh Hanny ngambilin foto di situ. Tak baik ngambil foto di makam, orang-orang bilang pamali” Bona berkomentar sambil menggosok ke dua tangannya yang gemetar.