Yo sudah mulai masuk ke ketinggian yang sudah cukup jauh. Cahaya sudah mulai tidak tampak. Yo sangat kewalahan dengan aksi ini. Hanya dengan satu tangan ia berpegang, sementara tangan yang satu lagi harus terus mengikis kulit pohon yang tajam itu. Sejenak ia melihat ke bawah, mereka sudah tidak tampak lagi dari ketinggian ini. Yo harus terus naik sampai ke ketinggian yang tidak bisa diprediksi.
Astaga! Ratusan kelelawar beterbangan menghalangi pandangannya yang minim cahaya. Kelelawar-kelelawar itu hendak menyerang, namun Yo menepisnya dengan ujung tombak dan beberapa dari mereka berjatuhan. Jangan-jangan kelelawar ini koloninya Si Pak Tua dan Si Jubah Putih. Barangkali mereka diutus untuk menghabisi Yo. Semakin tinggi dan semakin tinggi Yo berada di atas, batang pohon ini semakin berguncang kencang. Padahal tidak ada angin atau badai sama sekali. Guncangan ini membuat Yo semakin tak berdaya. Yo tidak bisa bergerak lebih lama lagi untuk melanjutkan perjalanannya. Yo menengadah sejenak untuk melihat apakah pohon yang ia panjat ini masih jauh atau tidak.
Syukurnya, Yo melihat ada gubuk pemberhentian berwarna hijau tua. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi menuju ke sana. Gubuk itu cocok sekali dijadikan tempat untuk melepas lelah. Sebelum Yo masuk, ia ingin tahu apakah ada orang di dalam ruangan itu atau tidak. Yo berseru “Apa ada orang di dalam?” Namun tidak ada jawaban sama sekali. Yo masuk perlahan sambil mengarahkan tombak ke depan. Hal itu dilakukan untuk jaga-jaga, siapa tahu saja ada orang atau binatang buas yang bisa membahayakan.
Cuit! Cuit! Cuit! Seperti suara burung yang sedang bersenandung. Suara itu makin lama makin kuat. Yo tidak tahu sumber suara itu dari mana.
“Di sini! Aku di sini”
“Siapa itu?”
“Aku seekor burung yang baru saja bersenandung”
“Tak mungkin. Di mana dirimu?”
“Di sini!”
“Di sini mana? Aku tidak melihat apa-apa!”